Jakarta (ANTARA News) - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers mencatat kasus kekerasan terhadap jurnalis selama tahun 2011 mencapai 61 kasus, meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 66 kasus.

"Sejak Januari hingga Juli 2011 jumlah kasus kekerasan terhadap jurnalis mencapai 61 kasus. Kasus kekerasan terhadap jurnalis akan terus meningkat," kata Direktur Eksekutif LBH Pers, Hendrayana di Jakarta, Senin.

Disebutkan, sejak 2003 hingga 2011 ini, LBH Pers mencatat kasus kekerasan terhadap jurnalis sebanyak 344 kasus kekerasan, baik fisik maupun nonfisik.

Dengan jumlah per tahunnya sebagai berikut, 2003 tercatat 54 kasus, 2004 sebanyak 26 kasus, 2005 sebanyak 34 kasus, tahun 2006 sebanyak 23 kasus, 2007 sebanyak 37 kasus, 2008 sebanyak 17 kasus, 2009 sebanyak 69 kasus, 2010 sebanyak 66 kasus, 2011 sebanyak 61 kasus hingga bulan Juli.

Tak hanya kasus kekerasan yang dialami oleh jurnalis saat melaksanakan profesinya di lapangan, tetapi juga pembunuhan.

"Banyak kasus pembunuhan yang menimpa jurnalis belum berhasil diungkap oleh penegak hukum, seperti kasus Syarifuddin (Udin), Jurnalis Sun TV Ridwan Salamun, Jurnalis Merauke TV Ardiansyah Matra`is, Jurnalis Mingguan Pelangi Alfretz Mirulewan dan lainnya," katanya.

Para pelaku kekerasan terhadap jurnalis, paling banyak dilakukan oleh aparat kepolisian, masyarakat, preman, TNI, dan ormas.

Menurut Hendrayana, selain pembunuhan wartawan sudah banyak juga upaya membungkam dan mencoba memberangus pers.

Upaya pembungkaman misalnya melalui suatu gugatan hukum, kriminalisasi pers yang bertujuan bukan untuk mendidik media akan tetapi memang sengaja untuk membungkam kebebasan pers, berekspresi, dan kebebasan menyatakan pendapat di media massa bahkan sampai pada upaya membangkrutkan media dengan tuntutan ganti rugi yang tidak proposional dan memiskinan.

"Pembunuhan adalah satu bentuk aksi premanisme hal ini biasanya diakibatkan engganya pihak yang bertikai untuk menyelesaikannya lewat dewan pers atau di media itu sendiri, selama ini mekanismenya sudah jelas, ada hak jawab, ralat berita, klarifikasi atau mediasi di Dewan Pers," katanya.

Menurut dia, kasus yang menimpa jurnalis dan pers saat ini mulai bergeser, yakni pencabutan izin SIUP (jaman Presiden Soeharto) dan saat ini kriminalisasi pers melalui proses hukum dan gugatan perdata.

Hendrayana mengatakan, kendati Pasal 8 UU Pers menjamin profesi wartawan mendapat perlindungan hukum, tetapi tidak menjadikan Pers sebagai profesi yang mulia.

"Peningkatan kekerasan tersebut sepertinya sejalan dengan peningkatnya ancaman negara terhadap kebebasan pers," ujarnya.(*)
(T.S037/D009)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011