Jakarta (ANTARA) - Keuangan BPJS Kesehatan berpotensi kembali tekor di 2024 bila manajemen pendapatan dan pengeluaran tidak dikelola secara optimal, kata seorang pejabat BPJS Kesehatan.

"Dari perspektif kecukupan iuran, biaya manfaat untuk membayar fasilitas kesehatan rata-rata, lebih tinggi dari iuran yang diterima," kata Direktur Perencanaan, Pengembangan, dan Manajemen Risiko BPJS Kesehatan Mahlil Ruby saat menjadi pembicara dalam acara Outlook 2023, Diskusi Publik 10 Tahun Program JKN di Jakarta, Senin.

Sementara pada 2022, penyesuaian tarif semakin menurun, dan diprediksi pada 2024 akan terjadi persilangan kembali antara pengeluaran per peserta dan premi per peserta.

"Kalau terjadi persilangan, BPJS Kesehatan menuju defisit pada iuran tahun berjalan," katanya.

Ia mengatakan, Universal Health Coverage (UHC) bukan hanya terkait cakupan peserta, ada elemen lain seperti pelayanan bermutu, dan kemampuan pembiayaan untuk keberlanjutan program.

Hal yang terpenting untuk pelayanan UHC adalah keberlanjutan program, sebagai keseimbangan antara revenue atau pendapatan yang diperoleh penyelenggara dengan expenditure atau beban pengeluaran.

Mahlil mengatakan, BPJS Kesehatan pernah mengalami defisit pada kurun 2020 dan beberapa tahun sebelumnya, karena revenue dan exependiture tidak terkelola optimal.

"Revenue ditentukan oleh peserta, dari peserta ditentukan iuran yang diperoleh, dari iuran yang ada kira-kira berapa yang bisa diinvestasi dan berapa yang dibayarkan," katanya.

Ia mengatakan, selama ini BPJS hanya mengandalkan revenue dari iuran peserta dan hasil investasi iuran. Sementara aturan mengatakan bisa dikembangkan dari sumber lain.

Salah satu faktor penyebab defisit anggaran BPJS Kesehatan di masa depan berasal dari karakteristik peserta yang kini didominasi Penerima Bantuan Iuran (PBI) dengan jumlah pemanfaatan layanan lebih dari 31 juta orang.

Biaya layanan kesehatan bagi PBI hingga saat ini telah terserap lebih dari Rp27,5 triliun untuk perawatan penyakit jantung 4,2 juta kasus berbiaya Rp3,2 triliun.

"PBI ini ancaman di masa depan. Saya sepakat jika keuangan BPJS Kesehatan saat ini surplus, tapi itu diselamatkan oleh COVID-19. Pengguna layanan menurun pas kenaikan iuran," katanya.

Mahlil mengatakan, sumber pendapatan BPJS Kesehatan bisa dikembangkan dengan menyasar sektor lain, salah satunya didapatkan dari cukai rokok yang saat ini mencapai Rp200 triliun lebih.

"Bisa disisipkan 10 persen (cukai rokok) atau sekitar Rp20 triliun dan pendapatan itu bisa terus berakumulasi," katanya.

Sektor pengeluaran juga bisa dijaga dengan baik, salah satunya dengan menguatkan program promotif dan preventif agar pengeluaran tidak banyak di rumah sakit.

"Sekitar 80 persen lebih pengeluaran BPJS di RS. Sebesar 85 persen rawat inap dan rawat lanjut di layanan kelas 3," katanya.

Mahlil mengatakan, BPJS Kesehatan juga perlu membangun perspektif masyarakat bahwa JKN merupakan sedekah bagi orang sakit dalam mengembangkan sikap kegotongroyongan.

"Itu akan membangun loyalitas peserta dari selama ini ditentukan oleh PBI yang direkrut negara. Pelan-pelan kami arahkan bagaimana peserta tidak bergantung pada negara seiring perbaikan ekonomi negara," katanya.

Sebelumnya, Dirut BPJS Kesehatan Ghufron Mukti mengatakan penerimaan iuran JKN saat ini mengalami peningkatan menjadi lebih dari Rp100 triliun dalam kurun waktu hampir 10 tahun, dari 2014 sebesar Rp40,7 triliun menjadi Rp144 triliun pada 2022.

"Kesehatan keuangan DJS per 31 Desember 2022 tercatat sebesar 5,98 bulan estimasi pembayaran klaim ke depan, sesuai ketentuan yang berlaku," katanya.


Baca juga: BPJS Kesehatan: 10 tahun JKN merevolusi layanan kesehatan Indonesia
Baca juga: BPJS Kesehatan sebut PBI paling banyak manfaatkan layanan kesehatan

Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2023