Jakarta (ANTARA News) - Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan MPR RI Irgan Chairul Mahfiz menilai pelaksanaan jaminan kesehatan nasional oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan masih banyak kelemahan sehingga perlu perbaikan.

"Saya melihat banyak kelemahan BPJS Kesehatan yang beroperasi mulai 1 Januari 2014, sehingga perlu diperbaiki," kata Irgan Chairul Mahfiz pada diskusi "Implementasi BPJS Kesehatan" di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, awal pekan ini.

Irgan melihat, kelemahan itu antara lain anggaran yang dialokasikan Pemerintah pada APBN 2015 sebesar Rp41 triliun atau sekitar 2 persen dari APBN.

Berdasarkan amanah UU No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, anggaran kesehatan minimal lima persen dari APBN atau sekitar Rp100 triliun serta minimal 10 persen dari APBD.

Selain itu, Irgan juga melihat kelemahan lainnya pada ketersediaan obat-obatan, terbatasnya rumah sakit, sistem rujukan yang belum efektif, dan lain-lain.

"Waktu aktivasi bagi peserta BPJS juga harus diubah karena orang sakit itu tidak pasti waktunya sehingga tidak perlu ada batasan waktu berlakunya," katanya.

Anggota Komisi IX DPR RI ini mengingatkan, agar program jaminan kesehatan nasional (JKN) yang dikelola oleh BPJS sungguh-sungguh untuk memberikan kesejahteraan rakyat, bukan sebagai pencitraan dari kekuatan politik tertentu.

Irgan juga melihat, masih terjadi disharmonisasi antara payung hukum yang mengatur BPJS, contohnya Permenkes No.1 tahun 2012 tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan (Permenkes Rujukan Yankes Perorangan) tidak sejalan dengan dengan UU Rumah Sakit.

Permenkes Yankes Perorangan, kata dia, mengatur bahwa RS Pratama adalah pelayanan kesehatan dasar, seperi halnya Puskesmas atau klinik dokter keluarga.

Pasien peserta BPJS berobat di pelayanan kesehatan dasar dan setelah tidak mampu ditangani baru kemudian dirujuk secara berjenjang ke rumah sakit tipe C, tipe, B, hingga tipe A.

"Tapi pada praktiknya, ada pasien dari yankes dasar langsung dirujuk ke RS tipe A seperti RSCM di Jakarta," katanya.

Sebaliknya, UU Rumah Sakit menetapkan bahwa seluruh RS adalah fasilitas kesehatan tingkat sekunder dan tertier.

Rumah sakit, kata dia, menerima limpahan pasien dari Puskesmas atau klinik dokter keluarga karena keterbatasan kompetensi pelayanan Puskesmas atau klinik dokter keluarga.

"Hal ini membingungkan RS dan BPJS dalam melayani pasien," katanya.

Pewarta: Riza Harahap
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015