Surabaya (ANTARA News) - Menteri Sosial (Mensos) Khofifah Indar Parawansa menilai riset dan pengembangan (development) hasil riset peneliti Indonesia belum dihargai bangsa sendiri yang terbukti dari kecilnya anggaran pemerintah dan swasta untuk mengapresiasi penelitian anak negeri.

"Riset dan pengembangan hasil riset peneliti Indonesia masih belum dihargai bangsa sendiri, hasilnya penelitian yang strategis itu dibeli oleh negara lain," katanya ketika menjadi pembicara utama dalam wisuda ke-85 Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Minggu.

Ia mengatakan dana riset dan pengembangan di Indonesia belum sampai 1 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia yang membutuhkan dana sekitar Rp110 triliun, karena dana riset di Indonesia hanya mencapai 0,08 persen.

Khofifah mengatakan, penghargaan terhadap hasil riset tidak hanya mengandalkan dana APBN, tetapi dibutuhkan peran serta sektor privat. Di Tiongkok, Malaysia, maupun beberapa negara lain, mewajibkan sektor privat menyediakan anggaran tertentu untuk penguatan penelitian.

"Sektor privat masih terus kami dorong karena mereka yang bisa memberikan perbaikan dari seluruh produk-produk kita ketika berkompetisi di lini manapun. Kondisi ini, berbeda jauh dari capaian Pemerintah Malaysia yang sudah mengalokasikan dana riset 5 persen dari PDB yang tidak hanya dari pemerintah, namun juga banyak perusahaan," tuturnya.

Menurut dia, sekitar 16 tahun lalu, Tiongkok sudah mencapai 10 persen pendapatan dari produk hasil penelitian dan pengembangan anak negerinya. Ia sering menemukan banyak elemen bangsa ini belum siap berkompetisi, ketika produk penelitian ditawarkan ke instansi tidak ada respons.

Ia mengungkapkan produk riset itu akhirnya dibeli luar negeri, karena penghargaan Indonesia pada keilmuan, sains murni maupun terapan masih belum ada, sehingga riset belum menjadi referensi berbagai kebijakan. Seluruh kementerian, lembaga, privat sektor harus didorong memberi apresiasi produk keilmuan.

Dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), ia menuturkan jarang sekali menyebut "Trans Pacific Partnership Agreement" (TPPA), padahal hal itu lebih luas lagi dibandingkan dengan MEA. Indonesia harus berpikir bagaimana menjadi bagian penguatan dari seluruh proses interaksi yang tidak hanya melingkupi ASEAN.

"Hal ini mengharuskan bangsa Indonesia melakukan persiapan terus-menerus. Tidak hanya secara kualitas sumber daya manusia (SDM), namun dari investasi yang masuk. Kita harus berpikir bagaimana menjadi bagian penguatan dari seluruh proses interaksi tidak hanya lingkup ASEAN maupun pasifik, melainkan ke tingkat global," tandasnya.

Pewarta: Indra Setiawan/Laily Widya
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2016