Jakarta (ANTARA News) - Majelis Ulama Indonesia (MUI) bekerja sama dengan Muslim World League (Rabithah Alam Islami), Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dan MUI Provinsi NTB akan menyelenggarakan Konferensi Internasional Islam "Washatiyah" (moderat) di Lombok pada 29 Juli - 1 Agustus 2016.

Ketua Steering Comitte (SC) Konferensi, KH Muhyidin Junaidi MA, Minggu kepada pers di Jakarta menjelaskan, konferensi bertema "Meneguhkan Islam Washatiyah dalam rangka mencegah radikalisme, terorisme, dan sektarianisme di Dunia Islam" itu dijadwalkan dibuka Presiden Jokowi dan ditutup Wapres Jusuf Kalla.

Pejabat negara yang diagendakan memberikan ceramah antara lain Menag Lukman Hakim Saifuddin dengan makalah berjudul "Tanggungjawab pemerintah dalam memerangi paham terorisme" dan Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian dengan makalah "Perlunya kerjasama internasional dalam memerangi teroris".

Selain itu Ketua MPR Dr Zulkifli Hasan akan membawakan makalah dengan judul "Peran MPR dalam menghadapi teroris dan aliran radikalis" dan Menlu Retno Marsudi dengan judul "Peran Indonesia untuk menghadapi teroris dan pemahaman radikalis".

Selain dari Indonesia, beberapa pembicara asing dijadwalkan menyampaikan makalah, antara lain berasal dari Thailand, Filipina, Taiwan, Burma, Bangladesh, dan Arab Saudi.

Ketua SC menjelaskan, Indonesia bukan berteori tentang Islam Wasathiyah, tapi sudah berhasil secara empiris mengamalkannya sejak puluhan tahun lalu, sementara negara lain baru berteori dan masih coba-coba "meracik bumbunya".

Beberapa negara sudah mengirimkan delegasinya untuk berbagi dan belajar dari MUI dan Indonesia tentang keberhasilan memadukan antara Islam dan demokrasi di negara paling besar muslimnya ini.

Ketua MUI bidang internasional itu mengatakan, target utama konferensi tersebut adalah mempelopori Islam Wasathiyah sebagai "way of life" dalam menerjemahkan Islam dalam kehidupan nyata yang penuh tantangan dan kesempatan.

Menurut Kiai alumni Libya itu, konferensi tersebut merupakan kesempatan emas untuk Indonesia agar terus memainkan peran utama di tingkat global, di mana Indonesia harus menjadi "main player" (pemain utama) dan bukan sekadar penonton.

Konferensi itu diagendakan menghasilkan rumusan rekomendasi upaya mencegah radikalisme yang mengarah kepada tindakan terorisme serta menghasilkan kesepahaman melalui "Deklarasi Lombok" tentang pentingnya kerjasama dunia Islam.

Rekomendasi lain adalah pemetaan langkah-langkah strategis melalui ekonomi syariah untuk memberdayakan umat, sehingga ekonomi umat bangkit, dan rumusan tentang strategi dunia pendidikan dalam melahirkan anak didik yang berkarakter guna mewujudkan Islam yang "rahmatan lil alamin" (memberi rahmat bagi sekalian alam).

KH Muhyidin juga menjelaskan, Musyawarah Nasional (Munas) MUI pada Agustus 2015 menetapkan Islam Wasathiyah sebagai paradigma pengkhidmatan di lingkungan MUI.

Paradigma Islam Wasathiyah itu sangat penting seiring dengan semakin kuatnya indikasi bergesernya gerakan keislaman di negeri ini ke kutub ekstrem, baik yang ke kiri ataupun yang ke kanan.

"Pergeseran ke kutub kiri memunculkan gerakan liberalisme, pluralisme dan sekularisme dalam beragama, sedangkan pergeseran ke kutub kanan menumbuhkan radikalisme dan fanatisme sempit dalam beragama," kata KH Muhyidin mengutip Ketua Umum MUI, KH Dr Ma'ruf Amin.

Pergerakan kedua kutub itu, disadari atau tidak, merupakan gambaran pertarungan ideologi global yang menerjang Indonesia. Dampak pertarungan tersebut telah merusak bangunan keislaman yang selama ini telah dibangun oleh para ulama terdahulu di negeri ini.

Islam wasathiyah sebagai paradigma perkhidmatan di lingkungan MUI diharapkan bisa mengembalikan gerakan keislaman di Indonesia sebagaimana yang dibangun ulama terdahulu, yaitu keislaman yang mengambil jalan tengah (tawassuth), berkeseimbangan (tawazun), serta lurus dan tegas (iktidal).

Ciri lain adalah toleran (tasamuh), egaliter (musawah), mengedepankan musyawarah (syura), berjiwa reformasi (islah), mendahulukan yang prioritas (aulawiyah), dinamis dan inovatif (tathawwur wa ibtikar), dan berkeadaban (tahadhdhur).

Pewarta: Aat Surya Safaat
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016