Jakarta (ANTARA News) - Koalisi Indonesia Bebas TAR (KABAR) menilai imbauan pelarangan peredaran rokok elektrik di Tanah Air harus melalui kajian ilmiah terlebih dahulu.

"Rekomendasi untuk pelarangan vape dari beberapa pihak hendaknya berkaca pada negara-negara yang akhirnya mendukung vape hingga dibuatkan suatu regulasi karena potensi manfaat yang dimilikinya," ujar Perwakilan KABAR yang juga merupakan pembina Asosiasi Vaper Indonesia Indonesia dan pendiri Tar Free Foundation, Dimasz Jeremia, di Jakarta, Kamis.

Dia melanjutkan, Pemerintah Inggris dan Jepang misalnya, justru menerapkan aturan yang lebih lunak pada vape dan produk tembakau alternatif lainnya. Di Inggris, lebih dari 2.2 juta perokok telah berhasil berhenti total setelah beralih mengonsumsi rokok elektrik selama lima tahun.

"Sedangkan di Jepang, rokok elektrik dapat memberikan dampak pada turunnya prevalensi merokok secara drastis dalam dua tahun terakhir. Sayangnya, fakta ini tampak tidak digubris oleh beberapa pihak," sambung Dimasz.

Melihat potensi yang dimiliki, kedua negara tersebut menerapkan kebijakan yang sangat hati-hati kepada produk tembakau alternatif dan bentuk kebijakan yang diambil lebih cenderung menuju arah pengawasan bukan pelarangan.

Selain itu, bentuk peraturan lain seputar vape juga dikeluarkan oleh Food and Drug Administration (FDA) di Amerika Serikat pada Agustus 2017 dimana disebutkan peraturan antitembakau akan difokuskan pada strategi pengurangan risiko, salah satunya melalui produk tembakau alternatif seperti vape, nikotin tempel, snus, serta produk tembakau yang dipanaskan bukan dibakar.

Dua negara maju lainnya seperti Selandia Baru dan Kanada juga sedang merumuskan regulasi baru yang lebih lunak dalam mengatur produksi dan peredaran vape di negara masing-masing.

Peneliti dari Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP) Indonesia, Dr Amaliya, mengharapkan agar semua hasil penelitian terkait vape yang sudah terbit sampai saat ini di kalangan peneliti dapat dijadikan bahan acuan perumusan regulasi, agar regulasi yang dikeluarkan tidak berujung kontraproduktif.

"Jika landasan argumen pelarangannya adalah bahwa vape sama berbahayanya dengan rokok yang dikonsumi dengan cara dibakar, maka alangkah baiknya jika YLKI melakukan evaluasi menyeluruh pada penelitian soal produk ini," ujar Dr. Amaliya yang juga dosen di Universitas Padjajaran Bandung.

Amaliya menjelaskan bahwa beberapa hasil penelitian yang dapat dijadikan bahan acuan bisa dilihat dalam data yang diumumkan Agensi kesehatan di bawah Kementerian Kesehatan Inggris Raya, Public Health England (PHE) yang menunjukkan bahwa produk nikotin yang dipanaskan menurunkan risiko kesehatan hingga 95 persen dibanding rokok yang dikonsumsi dengan cara dibakar.

"Produk tembakau alternatif seperti vape, nikotin tempel, snus, dan produk tembakau yang dipanaskan dan bukan dibakar ini adalah sebuah hasil inovasi yang berpotensi mendisrupsi rokok yang dikonsumsi dengan cara dibakar dan menghadirkan dampak positif yang luar biasa masif. Sifatnya sama dengan teknologi dan inovasi disruptif lain yang mendorong dampak sosial. Kami merasa sedih bila ada pihak-pihak yang sembarangan berbicara tanpa menggunakan data dan riset yang jelas, dan mengorbankan kesehatan jutaan rakyat Indonesia," kata Amaliya.

Pewarta: Indriani
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017