Jakarta (ANTARA News) - Tiga pasal revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, dan DPD (UU MD3), yaitu Pasal 73, Pasal 122, dan Pasal 245, secara substantif sebetulnya tidak ada yang berubah, kata pengamat.

"Tiga pasal revisi undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, dan DPD (UU MD3), yaitu Pasal 73, Pasal 122, dan Pasal 245 yang menuai sorotan publik penting diteliti agar masyarakat dapat memahami persoalan secara lebih jernih dan tidak gegabah dalam merespons isu tersebut," ujar Pengamat Politik Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin di Jakarta, Rabu.

Pertama, lanjut Said, terkait revisi Pasal 73. Pasal ini sebelumnya terdiri dari 5 (lima) ayat dan setelah direvisi jumlahnya bertambah menjadi 7 (tujuh) ayat. Jika diperinci, revisi itu meliputi pengubahan bunyi dua ayat, yaitu ayat (5) dan ayat (6), serta penambahan satu ayat baru, yaitu ayat (7).

"Kalau kita periksa secara lebih teliti revisi atas Pasal 73 ini, secara substantif sebetulnya tidak ada yang berubah," kata dia.

Substansinya tetap sama dengan bunyi norma sebelum ayat ini direvisi. Yang baru muncul dari revisi hanyalah terkait adanya penegasan atas ketentuan yang belum jelas pengaturannya.

Pada ketentuan ayat (5), misalnya, revisi sebetulnya hanya terkait dengan prosedur atau tata cara pemanggilan paksa terhadap badan hukum dan/atau masyarakat yang tetap tidak mau hadir ketika DPR sudah melayangkan panggilan sebanyak lebih dari tiga kali.

Sebelum revisi, tidak diatur bagaimana cara bagi DPR untuk meminta Polri memanggil paksa badan hukum dan/atau masyarakat yang mangkir dari panggilan Dewan.

"Nah, setelah direvisi, barulah diatur cara pemanggilan paksa itu, yakni DPR harus terlebih dahulu mengirimkan surat tertulis kepada Kapolri dan Kapolri diminta memerintahkan Kapolda untuk melaksanakan pemanggilan dimaksud. Jadi soal "pemanggilan paksa" yang diributkan orang sekarang ini sebetulnya bukan barang baru, sebab ketentuan itu sudah ada sejak UU MD3 disahkan pada tanggal 5 Agustus 2014," kata dia.

Artinya ketentuan itu sudah berlaku sejak 3,5 tahun lalu. Demikian pula dengan revisi ketentuan ayat (6) soal sanksi penyanderaan bagi badan hukum dan/atau masyarakat yang tetap tidak mau hadir ketika DPR sudah melakukan panggilan paksa.

"Ini pun bukan norma baru. Sudah 3,5 tahun ketentuan itu berlaku sebagai hukum positif. Cuma bedanya, setelah direvisi, ketentuan itu berubah tempat. Sebelumnya masuk dalam ayat (5) dan pascarevisi dimasukkan ke dalam ayat (6)," kata dia.

Sedangkan terkait penambahan ayat baru, yaitu ayat (7), norma itu sekedar memberi penegasan kepada Kapolri agar memasukan klausul tentang "pemanggilan paksa" dan "sanksi penyanderaan" itu ke dalam Peraturan Kapolri atau Perkap yang selama ini belum ada hukum acaranya di institusi Kepolisian.

"Nah, jadi dari sisi kepastian hukum, revisi Pasal 73 UU MD3 sebetulnya bagus, sebab DPR telah memberikan kepastian kepada badan hukum dan/atau masyarakat yang akan dipanggil paksa atau diberikan sanksi penyanderaan. Mereka jadi tahu prosedur hukumnya dan diharapkan dapat terhindar dari perlakuan sewenang-wenang DPR dan Kepolisian yang hendak memanggil paksa dan memberi sanksi penyanderaan kepada mereka," kata dia.

Namun demikian, walaupun ketentuan tentang pemanggilan paksa dan sanksi penyanderaan terhadap badan hukum dan/atau masyarakat yang diatur dalam revisi Pasal 73 UU MD3 bukanlah ketentuan baru, tetapi tetap saja norma itu mengusik kehidupan masyarakat, sehingga wajar dipersoalkan.

"Hanya saja agak telat mempersoalkannya sebab aturan itu sudah berlaku sejak 3,5 tahun lalu. Saya sendiri berpendapat memang sebaiknya Pasal 73 UU MD3 itu diuji ke Mahkamah Konstitusi agar diperoleh kepastian apakah DPR memiliki wewenang untuk memanggil paksa dan bahkan menyandera masyarakat yang telah memilihnya di Pemilu," kata dia.

Pewarta: Azis Kurmala
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018