Jakarta (ANTARA News) - "Pengertian kami, hutan adalah mama kita yang harus kita jaga baik, merawat dia, sehingga kemudian memberikan kehidupan dari generasi ke generasi," kata Ketua Dewan Adat Suku Maya Kristian Thebu.

"Tapi laut, kita menghormatinya sebagai seperti ayah kita. Memberikan kelimpahan berkat untuk hidup terus menerus sampai Tuhan datang," tambah dia disela acara penyambutan kedatangan Kapal Rainbow Warrior milik Greenpeace di Pelabuhan Waisai, Raja Ampat, Minggu.

Suku Maya merupakan penghuni mula-mula wilayah Raja Ampat yang mencakup 20 subsuku lebih.

Masyarakat adat di Raja Ampat, kata Kristian sudah melakukan konservasi bahkan sebelum penetapan Kawasan Konservasi Perairan Kabupaten Kepulauan Raja Ampat (Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No 36 Tahun 2014, Peraturan Bupati Raja Ampat No 66 tahun 2007 Tgl 14 Juni 2007, dan Peraturan Bupati Raja Ampat no 05 tahun 2009 tgl 16 April 2009).

"Jadi dulu orang tua kita sudah protect daerah-daerah yang penting untuk dilindungi. Tapi zaman berubah, masuk ilmu baru yaitu konservasi. Yang artinya sebenarnya kita sampaikan pada masyarakat adat bahwa konservarsi artinya mengatur," jelas Kristian.

Baca juga: Jangkar kapal wisata bahayakan terumbu karang Raja Ampat
 
Kampanye Greenpeace di Perairan Raja Ampat bersamaan dengan kedatangan Kapal Rainbow Warrior. (Greenpeace/Awaluddinoer)


Berdasarkan penelitian dari Monitoring Ekologi Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat di Universitas Papua, kondisi kesehatan karang dan ikan di Raja Ampat dalam rentang tahun 2010-2016 stabil, tidak ada penurunan.

"Bisa kita bilang, tutupan keras hidupnya stabil tidak ada penurunan, sedikit meningkat. Kondisi ikannya kita bisa bilang stabil tapi ada sedikit penurunan walaupun tidak signifikan," kata Purwanto, Koordinator Monitoring Ekologi Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat di Universitas Papua.

Penelitian dilakukan dengan mengukur kesehatan karang dari kondisi tutupan karang keras hidupnya serta kondisi biomassa dan kepadatan ikannya dari sebelum Raja Ampat ditetapkan sebagai kawasan konservasi sebagai data dasarnya.

"Ikannya kita bagi menjadi dua. Ikan-ikannya penting secara ekologis yaitu ikan hebivora, ikan-ikan yang makan algae. Karena kalau terumbu karang itu rusak atau mati, biasanya algae yang tumbuh. Kalau algae tumbuh, terumbu karang baru tidak bisa tumbuh. Makanya kalau masih banyak ikan pemakan algae, herbivor itu, dia kan makan akan makan algae sehingga karang bisa tumbuh," papar Purwanto.

Kawasan konservasi Raja Ampat antara lain Perairan Kepulauan Ayau-Asia, Kawe, Perairan Selat Dampier, Perairan Teluk Mayalibit, Taman Pulau Kecil Kofiau-Boo, dan Taman Pulau Kecil Misool.

"Di Ayau misalnya yang biomassa dan kepadatan ikannya sangat meningkat pesat, tapi di beberapa kawasan konservasi ada yang menurun. Ini yang mungkin perlu menjadi perhatian dari pemerintah dan masyarakat," ujar Purwanto.

"Mungkin penetapan kawasan konservasi dengan aturan-aturannya juga bagus, tetapi mungkin perlu tambahan aturan tentang pemanfaatan perikanan karena dengan tekanan dari nelayan dan pariwisata itu makin banyak yang diambil. Di samping tentu tekanan yang rutin, seperti perikanan-perikanan yang besar," lanjutnya.

Baca juga: Rainbow Warrior merapat di Raja Ampat

Ia mengimbau, terumbu karang di Raja Ampat harus selalu dijaga sebelum menjadi rusak, mengingat semakin banyak turis yang datang ke Raja Ampat.

"Sekarang Raja Ampat semakin banyak pengunjung, semakin banyak home stay. Walau pun kalau kita bandingkan dengan tempat lain di Indonesia atau bahkan dunia kondisi ini jauh sangat lebih baik, tetapi sebaiknya harus jaga dari sekarang karena akan sangat susah ketika karang itu hancur, kembalinya susah, lama sekali," katanya.

Purwanto menambahkan, sampah plastik juga menjadi potensi yang mengancam Perairan Raja Ampat. Ironisnya, sampah-sampah tersebut merupakan kiriman dari kawasan di luar Raja Ampat.

"Sampah ini akan menjadi masalah di sini ke depannya karena sampah tidak hanya dari internal Raja Ampat sendiri, tapi lebih banyak dari luar. Kalau hitungan secara scientific perlu dicek, tapi secara visual tekanan sampah dari Sorong yang lebih besar," jelas Purwanto.


Ancaman deforestasi
 
Menyusuri Hutan Desa Kampung Sira, Sorong Selatan. (ANTARA News/Monalisa)


Menurut Kristian, Raja Ampat yang dikenal menyimpan kecantikan bawah laut tidak melulu soal perairan.

"Karena dari laut lah kita hidup. Dan laut tidak terlepas dari hutan," ujar Kristian.

Ancaman penebangan liar di hutan-hutan Raja Ampat sudah membuat was-was masyarakat adat.

"Penebangan kayu yang ilegal, ya itu orang-orang luar, mungkin bekerjasama dengna orang-orang tertentu yang dalam pemilikan untuk mereka melakukan penebangan," kata Kristian.

"Tapi kita juga sudah takut, pada suatu saat generasi Raja Ampat akan membuat rumah semakin sulit karena kayu habis. Itu yang jangan kita abaikan. Untuk tebang tapi jangan tebang skala besar. Untuk kebutuhan rumah tangga silakan," tambahnya.

Masyarakat adat, lanjut Kristian berharap hutan-hutan adat yang selama ini menjadi sumber penghidupan mereka segera menjadi milik mereka seutuhnya dengan status Hutan Adat, sehingga orang-orang luar tidak bisa lagi mengambil hasil hutan mereka seperti yang terjadi saat ini.

Baca juga: Hutan Adat, keadilan untuk masyarakat Papua

Ia menambahkan, binatang-binatang endemik yang ada di hutan  bisa dijual dengan jasa wisatanya, sehingga selain dilindungi, hutan di Raja Ampat bisa memberi manfaat lebih secara ekonomibagi masyarakat adat.

"PR kita adalah hutan. Harapan kami dari Dewan Adat adalah hutan kami di protect sebagai kawasan adat. Kawasan perlindungan juga potensi yang ada di Hutan Raja Ampat.

Empat pulau di Raja Ampat, yakni Pulau Misool, Pulau Waigeo, Pulau Batanta, dan Pulau Salawati masing-masing memiliki hutan.

"Kami punya hutan, 20 persen adalah hutan dan 80 persen adalah laut," kata Kristian.

Dewan Adat, lanjut Kristian, mulai melakukan pemahaman kepada masyarakat. Sosialisasi sudah dimulai di Teluk Mayalibit untuk melindungi hutan adat di kawasan tersebut didampingi oleh Yayasan Flora dan Fauna Indonesia.

"Pemetaan sudah mulai dari Teluk Mayalibit, lalu lanjut ke Salawati, Misool Batanta," ujarnya.

Penggundulan hutan di Raja Ampat, menurut Kristian memberi dampak langsung terhadap laut.

"Ada, pernah di Raja Ampat, pernah masuk perusahaan Kailo, saya sendiri yang lawan. Mereka menebang hutan sehingga dulu arus yang segitu keras di teluk mayalibit, sekarang menjadi tidak ada arus. Karena membuat tanah menjadi naik, sehingga arus yang begitu kencang membawa ikan masuk, sekarang sudah jarang," ungkapnya.

"Yang pasti kami mau hutan selamat supaya laut selamat," kata Kristian.

Baca juga: Menengok Hutan Desa pertama di Papua

VIDEO:

Pewarta: Monalisa
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2018