Jakarta (ANTARA News) - Ketentuan Pasal 106 ayat (1) dan Pasal 283 Undang Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) terkait dengan larangan penggunaan telepon selular dalam saat berkendara kembali diperkarakan di Mahkamah Konstitusi (MK).

Permohonan untuk perkara ini diajukan oleh Komunitas Toyota Soluna dan seorang warga negara Indonesia bernama Irfan yang berprofesi sebagai pengemudi angkutan publik berbasis daring.

Dalam permohonannya, pemohon mengutip Putusan MK Nomor 005/PUU-III/2005 yang menyebutkan tentang ketidakjelasan pelaksanaan suatu undang-undang untuk memunculkan ketidakpastian hukum di kemudian hari.

Pemohon berpendapat bahwa apabila norma a quo yang mengandung frasa "menggunakan telepon" diberlakukan bagi pengemudi transportasi angkutan berbasis daring, maka pemohon akan berpotensi selalu terkena sanksi pidana.

Padahal GPS (global positioning system) pada telepon seluler, diakui pemohon sebagai sarana utama bagi pengemudi angkutan publik berbasis daring.

Ada pun Pasal 106 ayat (1) UU LLAJ menyebutkan, "Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mengemudikan kendaraannya dengan wajar dan penuh konsentrasi."

Sementara Pasal 283 UU LLAJ menyebutkan, "Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan secara tidak wajar dan melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi di jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah)."

Dalam sidang lanjutan perkara a quo dengan agenda mendengarkan keterangan DPR, Anggota Komisi III Arteria Dahlan selaku perwakilan DPR mengatakan larangan penggunaan telepon ketika berkendara karena mengganggu konsentrasi pengendara kendaraan bermotor bertujuan memberikan perlindungan dan jaminan keselamatan berlalulintas kepada setiap orang.

"Penggunaan telepon dapat mengalihkan fokus pengendara kendaraan bermotor, sehingga mengganggu konsentrasi," kata Arteria di Gedung MK Jakarta, Rabu.

Arteria mengatakan telah banyak kasus kecelakaan yang timbul akibat pengemudi menggunakan telepon seluler saat berkendara.

DPR melalui Arteria berpandangan, ketentuan a quo dibuat tidak hanya untuk menjamin kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan untuk satu pihak saja melainkan dibuat demi menjamin kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan untuk semua orang.

"Bahwa dalil para pemohon yang menyatakan ketentuan a quo tidak menjamin kepastian hukum untuk kepentingan pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum," kata Arteria.

Baca juga: Polisi larang penggunaan GPS saat berkendara

Hilang konsentrasi

Pakar hukum administrasi negara Universitas Indonesia Dian Puji N. Simatupang selaku ahli yang dihadirkan pemerintah dalam sidang lanjutan perkara pengujian norma a quo mengatakan bahwa larangan penggunaan telepon selama berkendara sebagaimana tercantum dalam Pasal 106 ayat (1) dan Pasal 283 UU LLAJ bukan ditujukan pada instrumennya, tetapi hilangnya konsentrasi pengendara. Hal ini memicu pelanggaran marka jalan bahkan menyebabkan kecelakaan.

Dian menjabarkan rumusan ketentuan pasal a quo menggunakan teori relevansi untuk menentukan dahulu akibat yang terjadi, kemudian ditentukan sebabnya.

Hal ini menunjukkan penggunaan telepon dan fiturnya termasuk penggunaan GPS bukan syarat pelanggaran yang dituju dalam UU tersebut, melainkan terganggunya perhatian yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi di jalan.

Dengan demikian, lanjutnya, norma tersebut mengatur segala kegiatan lain atau keadaan yang menyebabkan gangguan konsentrasi dalam menggunakan kendaraan sehingga terjadi pelanggaran merupakan syarat pelanggaran yang dapat memenuhi unsur pidana.

"Oleh sebab itu, penggunaan telepon dan fiturnya, misalnya GPS, sepanjang tidak memengaruhi kemampuan dalam mengemudi kendaraan di jalan dan tidak menjadi sebab terjadinya pelanggaran atau kecelakaan, maka tidak dapat dikenakan unsur Pasal 283 UU LLAJ karena tidak memenuhi syarat 'secara tidak wajar' dari UU a quo," jelas Dian.

Baca juga: Penggunaan GPS di kendaraan tidak langgar UU

Komunikasi dua arah

Dalam keterangannya, Arteria juga menyampaikan bahwa yang dimaksud dengan frasa 'menggunakan telepon' dalam penjelasan Pasal 106 ayat (1) dan frasa 'melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi' dalam ketentuan Pasal 283 UU LLAJ, adalah ketika pengguna secara aktif menggunakan telepon ketika sedang aktif mengendarai kendaraan.

"Karena aktivitas tersebut adalah komunikasi dua arah yang tentunya dapat menyebabkan terganggunya perhatian pengendara bermotor sehingga menjadi tidak konsentrasi," jelas Arteria.

Arteria melanjutkan, bila pengemudi kendaraan bermotor hanya menggunakan telepon untuk mengaktifkan aplikasi GPS dalam memandunya menuju lokasi yang telah ditentukan dan sepanjang tidak mengganggu konsentrasi dalam berkendara, maka penggunaan telepon diperbolehkan.

Arteria mengatakan tidak ada interaksi komunikasi dua arah yang dapat mengganggu konsentrasi pengemudi kendaraan, ketika pengemudia menggunakan telepon untuk mengaktifkan aplikasi GPS.

Para pemohon dalam dalilnya juga menyatakan ketika norma a quo dibentuk, belum terpikirkan oleh pembentuk UU bahwa GPS akan terintegrasi dengan telepon pintar sehingga menyebabkan norma a quo inkonstitusional.

Terhadap hal tersebut, Arteria berpendapat para pemohon perlu memahami ketika terjadi kekosongan hukum ketika perkembangan teknologi tersebut belum diatur dalam UU, bukan berarti norma a quo inkonstitusional.

"Apabila perkembangan teknologi tersebut dipandang perlu diatur, seharusnya para pemohon mengajukan legislative review kepada pembentuk undang-undang," jelas Arteria.

Terlepas permohonan uji materi ini salah alamat atau tidak, para pembentuk undang-undang sudah sepatutnya menyesuaikan peraturan yang berlaku dengan perkembangan teknologi dan informasi.
 

Pewarta: Maria Rosari Dwi Putri
Editor: Monalisa
Copyright © ANTARA 2018