Untuk kelas II saja memiliki margin Rp12.000 dan Rp7.500 untuk kelas III. Jika selisih ini dikalikan dengan jumlah peserta, sudah berapa rupiah yang harus dikeluarkan untuk menambal kekurangan iuran ini.
Jakarta (ANTARA News) - Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute (TII) Umi Lutfiah menyoroti peningkatan defisit yang dialami BPJS Kesehatan yang mencapai Rp16,5 triliun di tahun keempat pemerintahan Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla.

"Dari segi cakupan kepesertaan memang meningkat tapi pembiayaan defisit," kata Umi saat dihubungi dari Jakarta, Selasa.

Dia mengatakan dalam laporan empat tahun pemerintahan Jokowi-JK, diketahui anggaran perlindungan sosial meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan anggaran ini juga diimbangi dengan peningkatan cakupan kepesertaan dan jumlah fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) serta fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut (FKRTL) yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.

Namun, kata dia, sampai saat ini pemerintah belum mau ketok palu untuk menaikkan iuran bulanan peserta BPJS Kesehatan. Saat ini, peserta mandiri kelas I harus membayar Rp80.000, kelas II Rp51.000 dan kelas III Rp25.500.

Padahal, lanjut dia, sejak 2015 Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) telah memberikan rekomendasi terkait besarnya iuran bulanan BPJS Kesehatan agar disesuaikan sehingga tidak terjadi defisit. Untuk peserta mandiri kelas I, DJSN merekomendasikan Rp80.000, kelas II Rp63.000 dan kelas III Rp33.000.

"Fakta ini menunjukkan bahwa iuran BPJS yang saat ini belum sesuai dengan perhitungan iuran minimal yang sudah dihitung DJSN. Untuk kelas II saja memiliki margin Rp12.000 dan Rp7.500 untuk kelas III. Jika selisih ini dikalikan dengan jumlah peserta, sudah berapa rupiah yang harus dikeluarkan untuk menambal kekurangan iuran ini," kata dia.

Dia mengatakan jika pemerintah masih enggan menaikkan besarnya iuran bulanan, maka defisit yang dialami BPJS Kesehatan semakin lama semakin meningkat. Hal ini sejalan dengan meningkatnya jumlah peserta dari tahun ke tahun.

Sementara itu, dia mengatakan dana cukai rokok memang bisa menambal defisit BPJS Kesehatan. Tetapi masih kurang seimbang dan sesungguhnya rokok bertentangan dengan prinsip pelayanan kesehatan yang promotif dan preventif.

Meski cukai memberi subsidi untuk BPJS Kesehatan tetapi bisnis rokok ternyata memicu masyarakat menjadi mudah terjangkiti penyakit.

Umi mengatakan upaya promotif dan preventif akan bisa mengajak masyarakat bergaya hidup sehat dan mencegah terkena penyakit tertentu. Jangan sampai kesehatan justru berkutat pada wacana penyembuhan penyakit yang kuratif dan rehabilitatif.

Kuratif dan rehabilitatif, kata dia, memerlukan biaya lebih mahal jika dibandingkan dengan alokasi dana untuk program promotif-preventif. Ingat bahwa penyakit akibat gaya hidup yang tidak sehat seperti jantung dan stroke merupakan penyakit yang menyedot dana BPJS Kesehatan terbanyak.

"Salah satu upaya menekan angka penyakit akibat gaya hidup adalah dengan gencar membumikan program promotif-preventif," katanya.*

Baca juga: RSUD Mataram akan kurangi pegawai dampak rujukan berjenjang

Baca juga: Peserta BPJS Kesehatan baru 64 persen


 

 

Pewarta: Anom Prihantoro
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018