Pontianak (ANTARA News) - Seorang perempuan menunggang kuda menuju kantor polisi. Di atas pelana kuda terikat kepala seorang gembong perampok yang berhasil ia bunuh. Namun, kepala itu ia bawa pulang kembali, setelah membuat laporan di kantor polisi.

Pada adegan lain ada pernyataan "Kalau Markus kurus, kenapa tak kau lawan?"

Ini adalah cuplikan dari film "Marlina si pembunuh dalam empat babak".

Film itu mengisahkan perjalanan sekaligus perjuangan seorang janda bernama Marlina untuk mendapatkan keadilan. Keadilan hukum ketika harta berupa hewan ternak dan kehormatannya (diperkosa) dirampas oleh para penjahat yang singgah di rumahnya di pedalaman Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur.

Kini banyak perempuan Indonesia seperti tokoh dalam film tersebut, apalagi jika tinggal di daerah terpencil. Korban tidak ditangani sebagaimana mestinya, dipindahkan dari satu meja ke meja lain, seperti permainan ping pong.

Direktur LBH APIK Pontianak, Tuti Suprihatin menyatakan banyak kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, diawali karena ketidaktahuan korban ketika harus melaporkan kasus yang dialami ke aparat kepolisian.

Selain itu, ketika melapor sendiri, korban tidak tahu bahwa setelah itu akan mendapatkan Surat pemberitahuan perkembangan hasil penyidikan (SP2HP) dari polisi.

"Korban pada akhirnya malas melaporkan, karena polisi terlihat tidak menangani kasus mereka. Korban tak mendapatkan SP2HP. Padahal surat itu harus diserahkan ke pelapor, untuk mengetahui setiap perkembangan penyidikan," kata Tuti lagi.

Kondisi berbeda jika korban mendapatkan pendampingan. Lembaga pendamping akan memantau terus perkembangan penanganan kasus. Polisi pun akan menyerahkan SP2HP setiap perkembangan penyidikan mereka.

Film yang disutradarai Mouly Surya tersebut menyadarkan kita bahwa kasus kekerasan seksual terhadap perempuan selalu terjadi dan berulang sepanjang tahun. Kecenderungannya setiap tahun selalu ada peningkatan, bagai pekerjaan rumah yang tak pernah tuntas.

Menurut catatan tahunan Komnas Perempuan yang dipublikasikan Maret 2018, secara nasional jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan pada setiap tahun selalu bertambah. Misalnya, pada 2017 jumlah kasus yang dilaporkan meningkat sebesar 74 persen dari tahun 2016. Jumlah kasus pada 2017 mencapai 348.446, sementara pada 2016 mencapai 259.150 kasus.

Dari data tersebut jenis kekerasan terhadap perempuan paling menonjol sama seperti tahun sebelumnya adalah kekerasan dalam rumah tangga atau ranah personal 71 persen atau 9.609 kasus.

Komnas Perempuan mendata ranah pribadi paling banyak dilaporkan dan tidak sedikit di antaranya mengalami kekerasan seksual. Posisi kedua pada ranah komunitas atau publik dengan persentase 26 persen atau 3.528 kasus dan pada ranah negara dengan persentase 1,8 persen atau 217 kasus.

Pada ranah KDRT atau ruang publik kekerasan yang paling menonjol adalah kekerasan fisik 3.982 kasus, menempati peringkat pertama disusul kekerasan seksual 2.979 kasus, psikis 1.404 dan ekonomi 1.244 kasus.

Pada ranah publik dan komunitas, kekerasan terhadap perempuan tercatat 3,528 kasus. Sebesar 76 persen kekerasan terhadap perempuan di ranah publik atau komunitas adalah kekerasan seksual yaitu pencabulan sebanyak 911 kasus, pelecehan seksual sebanyak 704 kasus dan perkosaan sebanyak 699 kasus. Sementara itu persetubuhan sebanyak 343 kasus.

Kasus perkosaan mahasiswa UGM dan Baiq Nuril, adalah sedikit kasus yang terungkap secara nasional pada tahun 2018.

Sementara di tingkat lokal seperti di Pontianak, Kepala Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Kepolisian Resor Kota Pontianak, Iptu Inayatun Nurhasanah mengatakan, selama kurun waktu Januari hingga November 2018, ada 123 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang sudah ditangani.

Kasus itu didominasi KDRT sebanyak 44 kasus dan pencabulan terhadap anak sebanyak 37 kasus.

Menurut Iptu Inayatun, faktor pemicu dari kasus KDRT, pencabulan, kekerasan terhadap anak dan perempuan biasanya karena faktor ekonomi, lingkungan keluarga, salah dalam memilih pergaulan, dan faktor yang bisa mempengaruhi anak-anak seperti kemajuan teknologi yang bisa berdampak positif dan negatif.

Kasus pelecehan seksual seorang jaksa kepada anak kandungnya dan pelecehan seksual tiga paman terhadap ketiga keponakan mereka di kawasan Siantan, Kota Pontianak, adalah bagian kecil dari kasus yang terungkap di tingkat lokal di Kalbar pada tahun 2018.



"Melek" hukum

Bercermin dari kasus yang terus menumpuk sepanjang tahun, maka diperlukan peran serta dan kesadaran masyarakat umum untuk lebih peduli terhadap pencegahan dan penanganan kasus tersebut.

Upaya yang dapat dilakukan, salah satu di antaranya adalah dengan "melek" (mengerti) hukum.

Masyarakat umum terutama kelompok perempuan, harus banyak membaca dan belajar mengenai peraturan hukum dalam penanganan kasus-kasus kekerasan, sehingga mengerti bagaimana hukum itu dapat diterapkan.

Pendiri Yayasan Suar Asa Khatulistiwa (SAKA) Pontianak, Andy Yentriyani, senada dengan itu, menyatakan perempuan hendaknya selalu memperbarui pengetahuan di bidang hukum. Terutama terhadap penanganan kasus kekerasan. Pengetahuan di bidang hukum diperlukan, agar dapat bermanfaat bagi dirinya maupun para korban tindak kekerasan yang tak tahu harus mengadu kemana.

"Saya anjurkan untuk selalu update. Sehari-hari menggunakan telepon genggam, silakan membuka situs hukum yang berisi banyak informasi baru dan penting mengenai penanganan hukum suatu kasus," kata Andy Yentriyani beberapa waktu lalu.

Ia mengatakan, setiap perempuan kini terbiasa menggunakan telepon genggam. Maka dari itu, hendaknya dapat memanfaatkan sedikit waktu untuk mengakses situs hukum.

"Baca sekali-kali hukum `online` (daring) untuk menambah wawasan, dan bagikan ke yang lainnya," katanya.

Dengan mengakses hukum daring, kaum perempuan memperbarui pengetahuan, menjadi mengerti dan bisa membantu orang-orang yang mengalami masalah hukum, terutama terkait kasus kekerasan seksual terhadap perempuan.

"Kedua membantu yang lain, ketiga membuat lingkar diskusi, dan keempat membuat orang yang mengalami kekerasan mau bicara. Ajak bicara, tetapi tidak dengan paksaan," ujarnya lagi.

Namun di sisi lain, ia menyatakan banyak ruang "abu-abu" dalam aturan hukum dalam penanganan kasus kekerasan seksual di Indonesia selama ini. Karena penegak hukum hanya berpatokan pada KUHP dan KUHAP. Ada banyak kasus yang sulit untuk ditangani. Seperti jika korban adalah seorang penyandang memiliki gangguan kejiwaan dan disabilitas.

Aktivis perempuan ini mengibaratkan seorang laki-laki di masyarakat Indonesia itu seperti uang kertas meski lusuh tetapi masih laku dipakai, berbeda dengan perempuan ibarat guci yang jika pecah nilainya akan berkurang.

"Jika menjadi korban, seperti perkosaan, seorang perempuan akan mendapatkan cemoohan di masyarakat," kata dia.

Sementara Direktur LBH APIK Pontianak, Tuti Suprihatin menyatakan perempuan tidak harus menjadi pintar untuk tahu semuanya. Tetapi bagaimana dia bisa mengatasi dirinya sendiri.

"Membuka wawasan dengan mengecek via online, yang ada kaitan dengan dirinya yang menjadi korban kekerasan. Itu selalu disampaikan kepada korban-korban yang melapor," katanya.

Dia mengingatkan agar para korban, setiap ada masalah jangan takut untuk bersuara.

"Apalagi sekarang banyak sekali peraturan yang berkaitan untuk perempuan dan dan anak-anak," katanya.

Selain harus mengerti hukum, baik Andy maupun Tuti mengajak kaum perempuan untuk mendukung dipercepatnya pengesahan Rancangan Undang-undang penghapusan kekerasan seksual.

Pada kampanye 16 hari antikekerasan terhadap perempuan sejak 25 November hingga 10 Desember 2018, aktivis perempuan di Indonesia berupaya memperjuangkan agar RUU Penghapusan kekerasan seksual segera disahkan.

Komnas Perempuan dalam rilis menyatakan korban kekerasan seksual di Indonesia terus berjatuhan, sementara legislatif dan eksekutif belum mengesahkan RUU penghapusan kekerasan seksual yang sudah dalam pembahasan sejak 2016, bahkan draf sudah ada sejak 2014.

Komnas Perempuan telah mendorong percepatan pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang Undang (RUU) penghapusan kekerasan seksual, untuk memutus mata rantai kekerasan seksual dan menghadirkan pemulihan korban. Namun, Panitia kerja Komisi 8 RUU Penghapusan Kekerasan Seksual DPR RI terkesan memperlambat pembahasan dan pengesahan di DPR.

Kondisi ini menjadi hambatan bagi akses keadilan korban, di tengah terus meningkatnya kasus-kasus kekerasan seksual yang dilaporkan, demikian menurut Komnas Perempuan.

Karena itu, Undang-undang penghapusan kekerasan seksual merupakan payung hukum yang harus ada dan mendesak, agar tak ada ruang "abu-abu" lagi dan para korban dapat perlindungan secara utuh. Semoga.*


Baca juga: Menteri Yohana ajak perempuan Timur bergerak atasi masalah kekerasan

Baca juga: Kekerasan dan pernikahan semakin mengkhawatirkan

Baca juga: Hukum adat dinilai gagal berikan keadilan pada perempuan korban kekerasan


 

Pewarta: Nurul Hayat
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018