Independent melaporkan penelitian yang menunjukkan bahwa serangan teror akan diberitakan lima kali lebih sering jika para pelakunya adalah Muslim
Jakarta  (ANTARA News) - Peristiwa penabrakan dua pesawat komersial pada menara kembar World Trade Cente (WTC) di New York, Amerika Serikat pada 11 September 2001 adalah titik balik beralihnya perhatian dunia pada dunia Islam.

Sejumlah label bagi Islam dan Muslim muncul menyusul peristiwa yang hingga kini masih dianggap memiliki banyak kejanggalan tersebut.

Islam dianggap dan disebut sebagai agama yang mengajarkan terorisme, mendorong praktik-praktik radikal, ekstrem dan kekerasan, sementara Umat Islam dipandang sebagai entitas yang mengancam kehidupan sosial, barbarik dan terbelakang.

Tiga belas tahun setelah peristiwa yang dikenal dengan 911 itu, muncul gerakan kekerasan yang mengatasnamakan Islam dengan nama ISIS (the Islamic State of Iraq and Syria) atau Negara Islam Irak dan Suriah yang mendapat perhatian global setelah merebut pemerintahan di Irak.

Jihadis

Mengaitkan Islam dengan terorisme berarti menciptakan permusuhan dengan sekitar 1,7 miliar Muslim di seluruh dunia.

Pada September 2016, Presiden Amerika Serikat ke-44 Barack Obama mengatakan bahwa dia tidak akan menggunakan istilah Islamic terrorism atau "terorisme Islami" untuk merujuk tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok yang mengidentifikasi diri mereka sebagai Muslim dan mengaku melakukan kejahatan semacam itu atas nama Islam.

Politisi demokrat Hillary Clinton juga menolak menggunakan istilah radical Islamic terrorist atau "teroris Islam radikal" dengan menyatakan bahwa Amerika Serikat tidak berperang melawan Islam.

Namun, dia menggunakan istilah violent jihadist terrorists atau "teroris jihadis" yang masih mengaitkan terorisme dengan Islam, khususnya jihad yang merupakan salah satu ajaran dalam agama tersebut.

ISIS menyatakan kelompok mereka sebagai "jihadist" atau "jihadi" yang berarti orang yang melakukan jihad atau menurut mereka juga bermakna "perang suci".

Pengakuan para teroris itu ditelan mentah-mentah oleh para politisi dan media yang turut menyebut para teroris yang berlatar belakang Muslim sebagai jihadi atau jihadis.

Sementara banyak pihak masih belum bersepakat untuk mendefinisikan terorisme, jihad disebutkan dalam Al Quran dan dijabarkan secara jelas oleh para ahli fikih sejak berabad lalu.

Arti harfiah jihad berasal dari kata Arab yang berarti berjuang atau bekerja dengan penuh semangat, bersusah payah, tekun, rajin, dan bersungguh-sungguh.

Dengan makna ini setiap upaya untuk mencapai tujuan hidup adalah jihad, seperti belajar untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dan gelar pendidikan, melahirkan bayi, membela diri dan mempertahankan harta benda dari penjahat dan pencuri, dan bekerja untuk mendapatkan uang.

Sepanjang sejarah Islam, para sarjana Muslim telah mengembangkan makna jihad yang telah menghasilkan berbagai pandangan, terutama tentang bagaimana mempraktikkan jihad dalam kehidupan kontemporer oleh seorang Muslim.

Interpretasi yang berbeda tentang jihad tidak bisa dihindari, tetapi pendapat yang tak sama tersebut dapat diterima selama didasarkan pada dua sumber utama Islam yakni Al Quran dan hadis.

Karenanya, versi jihad menurut kelompok Al Qaeda dan ISIS/ ISIL (the Islamic State of Iraq and the Levant --Syam yang meliputi wilayah Lebanon, Suriah, Yordania, Israel dan Palestina) tidak dapat diterima karena tindakan mereka yang dianggap jihad dilakukan dalam bentuk kejahatan yang memakan banyak korban jiwa dan menebar ketakutan di tengah masyarakat.

Fuqaha atau ahli hukum Islam praktis memang menjelaskan makna jihad dari suatu kondisi peperangan atau perlawanan terhadap sesuatu yang dapat membahayakan wilayah Islam serta Muslim dan non-Muslim yang tinggal di wilayah itu.

Bentuk jihad ini juga disebutkan dalam Al Quran dalam surat Al Baqarah ayat 190-191 yang karena ayat-ayat itu mengandung perintah, jihad untuk Muslim adalah sebuah kewajiban.

Namun, jihad sebagai tindakan militer hanya dapat dilakukan dalam keadaan tertentu dan harus memenuhi sejumlah syarat, di antaranya adalah diserukan oleh pemimpin Islam yang satu, tidak merusak alam, dan tidak memerangi mereka yang lemah, seperti kaum perempuan, anak-anak, orangtua bahkan para pemuka agama.

Menyederhanakan

Ketimbang harus menjelaskan panjang-lebar tentang apa itu jihad dan terorisme, serta bagaimana kedua hal tersebut sangat bertentangan, media arus utama, terutama dari Barat, lebih menyukai menyederhanakan tindakan kekerasan oleh kelompok teroris yang mengatasnamakan Islam atau yang berlatar belakang Islam itu sebagai "jihadist terrorist" atau "jihadist terrorism".

Mereka juga membuat istilah "jihadism" atau "jihadisme" yang merujuk pada ajaran jihad yang dianggap mendorong tindakan kekerasan atas nama agama.

Selain motif penyederhanaan itu, media massa Barat juga terbukti lebih bersemangat memberitakan peristiwa serangan teror jika pelakunya merupakan Muslim.

Pada Juli 2017, media massa dalam jaringan asal Inggris, Independent melaporkan penelitian yang menunjukkan bahwa serangan teror akan diberitakan lima kali lebih sering jika para pelakunya adalah Muslim.

Penelitian itu juga menemukan bahwa dari jumlah total serangan kekerasan di Amerika Serikat, 12,4 persen dilakukan oleh mereka yang berlatar belakang Muslim, namun mendapat 41,4 persen dari liputan media massa.

Kekuatan media dalam menyebarkan pesan kepada publik tidak saja membangun persepsi akan adanya kaitan antara jihad dan terorisme, tapi juga menciptakan prasangka negatif terhadap Islam dan Muslim.

Pada tingkat yang parah, media menjadi katalis dalam menciptakan rasa ketakutan terhadap Islam atau Islamofobia.

Padahal, wartawan dan media massa diharapkan bekerja dengan mengamalkan etika jurnalistik yang di antaranya adalah mengutamakan kebenaran dan tidak berpihak pada kepentingan tertentu.

Wartawan Amerika Bill Kovach dan Tom Rosenstiel yang juga penulis buku "the Ten Elements of Journalism" menyatakan bahwa jurnalis tak bisa lepas dari sudut pandang subjektif, namun laporan mereka dituntut untuk seimbang dalam melayani kebutuhan publik akan informasi yang benar di atas kepentingan mereka sendiri dan korporasi.

Untuk menghindari prasangka anti Islam dalam laporan media dan mengurangi dampak buruk yang lebih besar dari bias media, wartawan harus memahami arti sebenarnya dari Islam dan jihad dari sumber-sumber yang dapat dipercaya dan objektif.

Insan media juga harus memahami definisi harfiah dan kontekstual dari setiap kata yang mereka gunakan dalam laporan mereka, seperti terorisme, radikalisme, dan jihad.

Dengan sepenuhnya memahami kata-kata kunci itu, para jurnalis diharapkan tidak menyandingkan Islam dan jihad dengan istilah yang bermakna negatif sehingga menimbulkan prasangka terhadap Islam dan Muslim.

Tidak menyandingkan kata jihad dan terorisme dalam satu frasa berarti media mampu membedakan antara Muslim yang hidup berdampingan dengan komunitas lain yang berbeda keyakinan, dan orang-orang yang mengklaim diri mereka sebagai Muslim tetapi gagal menunjukkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan.

Mereka yang mengklaim melakukan jihad dalam bentuk kekerasan telah salah menafsirkan konsep-konsep agama Islam untuk membenarkan tindakan yang mereka lakukan.

Baca juga: Kapolri: Perkembangan terorisme global ada dua gelombang
Baca juga: Pemerintah dan perusahaan media sosial harus berbagi tanggung jawab melawan terorisme
 

Pewarta: Bambang Purwanto
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2018