Jakarta (ANTARA) - Akademisi dan peneliti dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Abdillah Ahsan, menyatakan struktur cukai rokok di Indonesia yang rumit membuat selisih harga rokok lebar di dalam negeri.

"Ini membuat konsumsi rokok terus meningkat," kata Abdillah dalam keterangan yang diterima, Senin.

Saat ini, kata Abdillah, besaran tarif cukai yang dikenakan kepada pabrikan Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM) ditentukan dari volume produksinya.

Dia mencontohkan pabrikan yang memproduksi 3 miliar batang rokok per tahun dikenakan tarif cukai yang lebih tinggi ketimbang pabrikan dengan volume 2,9 miliar batang.

Menurut Abdillah, keringanan cukai seharusnya diberikan kepada pabrikan rokok kecil saja dan pabrikan rokok besar dengan produksi di atas 3 miliar batang tidak seharusnya menikmati cukai rendah.

"Pabrikan yang memproduksi rokok 2,99 miliar batang menerima keringanan cukai lebih murah. Jika dihitung per batang mungkin lebih rendah Rp50, tapi coba kalau dikalikan 3 miliar batang? Itu tidak ada rasionalitas. Jadi kebijakan itu tidak efisien dan memang harus disederhanakan,” tegas Abdillah.

Untuk itu, Abdillah meminta pemerintah tidak melindungi pabrikan SKM dan SPM yang mampu memproduksi 3 miliar batang rokok karena mereka tergolong pabrikan besar dengan omzet triliunan setiap tahunnya.

"Kalau harga rokok Rp500 dikalikan 3 miliar batang, itu omzetnya Rp1,5 triliun per tahun. Industri kecil itu omzetnya cuma Rp5 miliar. Jadi cukai yang lebih murah untuk produksi yang di bawah 20 juta batang, bukan 3 miliar batang,” katanya.

Dalam PMK 146/2017, dijabarkan rencana optimalisasi struktur cukai beserta ketentuan untuk menggabungkan batas produksi SKM dan SPM apabila diproduksi oleh perusahaan yang sama.

Artinya, pabrikan yang memproduksi rokok mesin jenis SKM, SPM atau gabungan keduanya berjumlah lebih dari 3 miliar batang, maka ia wajib membayar tarif cukai tertinggi di setiap jenisnya.

Hal ini bertujuan menutup kesempatan pabrikan rokok asing besar memanfaatkan celah batasan produksi untuk membayar cukai lebih rendah.

Kenyataannya sampai saat ini, beberapa pabrikan asing besar yang memproduksi rokok mesin di atas 3 miliar batang masih menikmati tarif cukai murah.

Kondisi ini tentunya membuat pabrikan rokok kecil tertekan lantaran harus bersaing dengan pabrikan asing besar.

Namun rencana penggabungan volume produksi SKM dan SPM tertunda setelah pemerintah mengeluarkan PMK 156/2018.

Dalam pemberitaan sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan pihaknya akan tetap menutup celah bagi pabrikan rokok yang masih membayar cukai di golongan tarif lebih murah.

"Mengenai simplifikasi atau bracket yang kami kemarin hold. Tetapi kami akan tetap fokus bagaimana mengurangi kelompok industri yang kemudian lari ke kelompok lain atau melakukan evasion atau penghindaran,” tegas Sri Mulyani.

Pemerintah akan mendengar masukan dari semua pihak termasuk pelaku industri rokok untuk terus mencari keseimbangan.

“Jadi khusus industri ini, saya tidak hanya mendengar dari Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) saja, tetapi saya coba cari bagaimana cara kita perbaiki kebijakannya,” ujar menkeu. 

Baca juga: Penggabungan SKM dan SKT bakal tingkatkan pengangguran

Baca juga: Anggota DPR Dorong Penggabungan Volume Produksi SKM dan SPM

Pewarta: Joko Susilo
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2019