Skema tarif yang berpedoman pada Keputusan Menteri Perhubungan tarif ojek online dan rata-rata jarak tempuh konsumen berarti pengeluaran konsumen akan bertambah sebesar Rp 4.000-Rp 11.000/hari di Zona I, Rp 6.000-Rp 15.000/hari di Zona II, dan Rp 5.0
Jakarta (ANTARA) - Hasil riset dari Rised menunjukkan sebanyak 75 persen konsumen menolak penerapan tarif baru ojek daring berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 348 Tahun 2019 terkait Pedoman Biaya Jasa Ojek Online.

“47,6 persen kelompok konsumen hanya mau mengalokasikan pengeluaran tambahan untuk ojek online maksimal Rp4.000-Rp 5.000/hari. Selain itu, 27,4 persen kelompok konsumen yang tidak mau menambah pengeluaran sama sekali,” ujar Ketua Tim Peneliti Rised Rumayya Batubara dalam diskusi publik berjudul “Aturan Main Industri Ojol: Harus Cegah Perang Tarif” di Jakarta, Senin.

Ekonom Universitas Airlangga itu menjelaskan dengan skema tarif yang berpedoman pada Keputusan Menteri Perhubungan tarif ojek online dan rata-rata jarak tempuh konsumen berarti pengeluaran konsumen akan bertambah sebesar Rp 4.000-Rp 11.000/hari di Zona I, Rp 6.000-Rp 15.000/hari di Zona II, dan Rp 5.000-Rp 12.000/hari di Zona III.

“Kenaikan tarif ini justru bisa menggerus permintaan ojek online yang akhirnya bisa berdampak negatif pada pendapatan pengemudi. Apalagi, 75,2 persen konsumen berasal dari kelompok ekonomi menengah ke bawah di mana faktor tarif menjadi pertimbangan utama bagi keputusan konsumen untuk menggunakan moda ojek online,” katanya.

Terkait promo yang masih berlangsung saat masa uji coba tarif baru, Rumayya mengatakan yang ada di lapangan tidak sepenuhnya mencerminkan penerapan tarif baru yang ditetapkan.

Karena itu, ia menyarankan pemerintah agar tidak membaca animo yang salah karena tidak terjadi perubahan tarif yang dirasakan masyarakat karena tertahan oleh praktik promo.

Dalam kesempatan yang sama, Pengamat Transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Muslich Zainal Asikin menilai Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi sudah sangat bijaksana mengatur dan memperhatikan keberlangsungan usaha transportasi online di Indonesia.

Pemerintah cukup memahami ada  kebutuhan regulasi untuk menjaga agar manfaat positif tersebut dapat dinikmati terus menerus.

Namun demikian, Kemenhub bisa menerapkan pengaturan transportasi konvensional dan transportasi roda-empat online yang melarang promo di bawah batas bawah ke pengaturan ojek daring.

“Contohnya di industri transportasi konvensional, Blue Bird dan Express tidak bermain di ranah harga, atau promosi jor-joran tetapi di layanan dan produk yang solutif. Ini persaingan yang lebih sehat. Kemenhub harusnya bisa menerapkan beleid pembatasan promo di aturan ojek online, seperti yang diterapkan di Permenhub soal taksi online,” kata Muslich.

Menurut dia, pengaturan tarif saja tanpa pengaturan promo atau subsidi tidak cukup.

Ia menilai diperlukan penyempurnaan pengaturan yang jelas dan tegas untuk menghentikan perang harga, promosi dan diskon yang agresif.

“Harus ada koordinasi Kemenhub, Kementerian Komunikasi dan Informatika, dan KPPU, untuk menetapkan mekanisme sanksi terhadap upaya-upaya predatory pricing yang mengarah ke monopoli dan mengancam keberlangsungan industri transportasi online,” ucapnya.

Dia menambahkan, ekosistem transportasi online terdiri dari pengemudi, aplikator, dan konsumen. Dalam menentukan tarif ojek online, pemerintah perlu mempertimbangkan perspektif seluruh pihak yang terlibat di dalam ekosistem ini, termasuk konsumen.

“Melihat besarnya jumlah masyarakat yang sudah menjadi konsumen tetap transportasi online, sudah selayaknya konsumen memiliki peran penting dalam mempengaruhi kebijakan,” kata Muslich.
Baca juga: Kemenhub akan masukan sanksi di peraturan ojek daring
Baca juga: Peneliti : Pemerintah perlu buat aturan promo ojek daring


Pewarta: Juwita Trisna Rahayu
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2019