Jakarta (ANTARA) - Ketua Setara Institute, Hendardi menyebutkan aksi massa yang akan dilakukan oleh salah satu kontestan Pilpres pada 22 Mei 2019 melalui mobilisasi pendukungnya merupakan tindakan yang secara konstitusional cacat prosedural.

"Sebab aturan main Pemilu tidak menyediakan prosedur jalanan untuk mempersoalkan hasil Pemilu," kata Hendardi di Jakarta, Selasa.

Dalam konteks itu, unjuk rasa yang didorong oleh kekecewaan atas proses dan hasil Pemilu hanya perlu dibaca sebagai hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, bukan mekanisme demokratis tambahan untuk mengartikulasikan kedaulatan rakyat setelah pemungutan suara pada 17 April yang lalu.

Dengan perspektif tersebut, lanjut dia, maka pemerintah dan aparat keamanan seharusnya menjamin penikmatan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi biasa, sesuai dengan koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sesuai dengan regulasi yang relevan untuk itu, kata Hendardi, maka aksi demonstrasi dimaksud mesti dilakukan secara damai dengan tidak merusak tertib sosial, tertib politik, dan tertib hukum yang berlaku.

"Dengan demikian, setiap tindak pidana dan melawan hukum dalam aksi unjuk rasa tersebut harus direspons dengan penegakan hukum yang tegas, adil, dan memberikan efek jera," kata pegiat HAM ini.

Terkait hal itu, tambah dia, publik semestinya tidak menjadikan aksi dari sekelompok kecil warga pendukung (voters) itu sebagai aspirasi demo secara keseluruhan.

"Publik hendaknya tenang dan tidak terprovokasi dengan berita-berita bohong dan provokatif di media sosial, terutama dari dan yang mengatasnamakan tokoh-tokoh yang sesungguhnya bukan kontestan dalam perhelatan Pemilu, lebih-lebih mereka yang sejak awal memang nyata-nyata menjadi penumpang gelap Pemilu dengan menjadikan dukungan politik yang diberikan kepada kontestan sebagai alat bargaining dan negosiasi demi kepentingan politik dan ideologis kelompok dan jaringannya semata," ujarnya.

Kepada aparat keamanan, Hendardi mengingatkan untuk memperlakukan provokator-provokator sebelum dan pada saat aksi unjuk rasa tanggal 22 Mei sebagaimana provokator-provokator pada aksi demonstrasi pada umumnya.

"Penegakan hukum harus dilakukan terhadap mereka, lebih-lebih jika provokasi tersebut mengancam keselamatan pejabat negara seperti Presiden, membahayakan keamanan negara, mendelegitimasi pemerintahan negara, dan menghasut agar terjadi kerusuhan. Namun begitu, tindakan penegakan hukum atas mereka, seperti dalam bentuk penangkapan dan penahanan, harus dilakukan secara presisi berdasarkan atas bukti permulaan yang memadai," tegasnya.

Aparat keamanan juga diimbau untuk senantiasa waspada dan tidak segan-segan menggunakan kerangka hukum pemberantasan terorisme terhadap kelompok-kelompok radikal dan jaringan teroris yang berusaha untuk menjadikan kegagalan politik penumpang gelap dalam Pemilu sebagai momentum untuk melakukan aksi-aksi yang mengancam keselamatan publik dan mengganggu keamanan negara.

Calon presiden Prabowo Subianto mengimbau kepada seluruh pendukungnya yang akan menggelar aksi terkait hasil Pemilu Presiden (Pilpres) 2019 berjalan damai tanpa kekerasan.

Dia menjamin tidak ada maksud makar atau melawan konstitusi para pendukungnya dalam menyampaikan aspirasinya tersebut.

"Aksi atau kegiatan yang saudara-saudara lakukan, saya mengimbau agar semua kegiatan berjalan dengan semangat perdamaian. Karena itu langkah konstitusional, langkah demokratis tetap damai tanpa kekerasan apapun," kata Prabowo dalam video yang disampaikan tim Badan Pemenangan Nasional (BPN) pada Selasa dini hari.

Prabowo menyampaikan keprihatinan atas dugaan kecurangan dalam Pilpres 2019 namun perjuangan para pendukungnya untuk menyuarakan hal tersebut harus dalam koridor hukum yang berlaku.

Dia menegaskan hak rakyat untuk menyatakan pendapat di muka umum, hak rakyat berkumpul, hak rakyat dapat berserikat dan dapat menyampaikan aspirasinya, namun harus dijalankan semua dalam ketentuan hukum yang berlaku.

Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2019