Jakarta (ANTARA) - Lebih dari sepekan yang lalu, rangkaian Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-34 rampung digelar dengan Thailand sebagai tuan rumah pada 20 hingga 23 Juni 2019, yang mengusung tema "Memajukan Kemitraan untuk Keberlanjutan".

Presiden Joko Widodo (Jokowi) tiba di Bangkok, Thailand, pada Sabtu (22/6), dan menghadiri sesi pleno bersama dengan kepala negara/pemerintahan dari sembilan negara anggota ASEAN lainnya. Perdana Menteri Thailand Prayut Chan-o-cha memimpin sesi tersebut.

Pandangan ASEAN mengenai kawasan Indo-Pasifik (ASEAN Outlook on the Indo-Pacific) menjadi salah satu isu penting yang dibahas dan kemudian diadopsi oleh ASEAN. Pandangan itu diusulkan oleh Indonesia.

Tidak hanya itu, dalam forum yang sama, Indonesia juga menegaskan pentingnya komitmen negara-negara ASEAN untuk menyelesaikan kesepakatan kerja sama ekonomi regional (Regional Economic Partnership Agreement/RCEP).

Dalam sesi retret KTT ASEAN ke-34 pada hari berikutnya, menurut Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi, para pemimpin negara peserta pertemuan itu menyampaikan apresiasi terhadap Indonesia yang telah menginisiasi konsep pandangan ASEAN mengenai kawasan Indo-Pasifik.

Di samping KTT ASEAN ke-34, Jokowi juga menghadiri KTT Indonesia Malaysia Thailand Growth Triangle (IMT-GT) ke-12 dan KTT Brunei Indonesia Malaysia Philippines East ASEAN Growth Area (BIMP-EAGA) pada Minggu (23/6) di lokasi yang sama.

Usai menghadiri forum regional dan subregional itu, Indonesia kembali turut serta. Kali ini dalam forum internasional, pertemuan pemimpin 20 negara dengan ekonomi terbesar dunia di Osaka, Jepang.

Sebelum bertolak ke sana, Jokowi menyebut akan mengangkat isu inovasi ekonomi digital dan upaya mengatasi kesenjangan pada pertemuan itu. Inovasi ekonomi digital yang dimaksud tersebut tertuang dalam konsep pemercepat ekonomi digital yang inklusif (Inclusive Digital Economy Accelerator Hub/IDEA Hub).

Selain itu, isu pemberdayaan perempuan juga turut menjadi salah satu bahasan utama yang diangkat oleh Indonesia dalam KTT G20.

Spekulasi awal

Partisipasi Indonesia pada forum-forum luar negeri dalam berbagai level diapresiasi, salah satunya, oleh pengamat hubungan internasional dari Universitas Indonesia, Shofwan Al Banna Choiruzzad.

Apresiasi itu dianggap layak, terlebih pada awal kepemimpinan sebagai presiden, Jokowi dinilai sebagai sosok yang cenderung pragmatis, realistis, dan kurang menaruh perhatian pada diplomasi.

Menurut Shofwan, ketika itu Jokowi masih mencari-cari format yang tepat untuk arah kebijakan luar negeri Indonesia, mengingat pribadi Jokowi memiliki latar belakang masyarakat di luar elit politik, bukan seorang dengan orientasi kebijakan luar negeri.

Bahkan, Shofwan mengatakan para pengamat sempat memberikan spekulasi kemungkinan Indonesia akan meninggalkan ASEAN dengan sikap Jokowi yang demikian. Namun, ternyata spekulasi itu tidak menjadi kenyataan.

"Sepanjang perjalanan, saya melihat ada evolusi pada kebijakan luar negeri Jokowi, yang awalnya sangat bilateral dan berfokus pada hal-hal tangible (konkret), menjadi lebih akrab dengan forum internasional,” kata Shofwan ketika ditemui di Kampus UI Depok, Jawa Barat, Senin (1/7).

Dia menambahkan, bahwa memang sejatinya hubungan internasional tidak selalu akan memberikan keuntungan yang konkret, namun tentu ada keuntungan lain di luar itu

Keseriusan Jokowi akan peran Indonesia di forum kawasan ASEAN, misalnya, terlihat dari inisiatif atas pandangan ASEAN mengenai kawasan Indo-Pasifik, meskipun pandangan itu dinilai masih belum mempunyai dampak yang tegas.

"Setidaknya itu menunjukkan bahwa Indonesia melihat ASEAN sebagai platform yang penting, bahkan dalam konteks kemunculan imajinasi geopolitik baru seperti Indo-Pasifik, Indonesia pun meletakkan ASEAN di pusat imajinasi geopolitik itu," ujar Shofwan.
 
Pengamat hubungan internasional Universitas Indonesia Shofwan Al Banna Choiruzzad menjelaskan posisi tawar Indonesia dalam forum ASEAN dan G20 di Depok, Senin (1/7/2019). (ANTARA/Suwanti)

Potensi figur pemimpin

Upaya Indonesia menempatkan diri di dalam ASEAN, kembali diapresiasi oleh Shofwan. Menurut dia, hal itu adalah sebuah kabar baik bagi kedua belah pihak.

Dengan Indonesia yang memainkan peran sentral di ASEAN, kemungkinan negara-negara di kawasan ini tidak akan tertarik pada medan konflik antara dua kekuatan besar dunia, China dan Amerika Serikat (AS).

Sebaliknya jika ASEAN tidak digerakkan oleh Indonesia sebagai motor, Shofwan membayangkan Kamboja, Laos dan Myanmar akan mendekat ke China, sementara Singapura, Filipina dan Vietnam akan cenderung merapat dengan Amerika Serikat. Kemungkinan ini yang nantinya akan membelah ASEAN menjadi dua blok berkonflik.

"ASEAN tidak akan efektif kalau Indonesia tidak aktif… Hanya Indonesia yang punya gravitasi yang cukup untuk menandingi gravitasi China," kata Shofwan.

Hal itu yang barangkali semakin dipahami oleh Jokowi, sehingga terlihat ada upaya untuk menunjukkan peran signifikan dan penegasan komitmen Indonesia di ASEAN.

Peneliti bidang ekonomi dari lembaga pemikir Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Fajar Bambang Hirawan, juga menyatakan pendapat yang senada mengenai hal ini.

Status sebagai negara terbesar di ASEAN dengan peluang ekonomi besar merupakan modal utama untuk menetapkan daya tawar Indonesia.

"Dari perspektif ekonomi, Indonesia memiliki daya tarik tersendiri bagi investor, terutama jika dilihat dari ukuran pasar yang sangat menjanjikan dan kondisi fundamental ekonomi yang terjaga secara positif," kata Fajar.

Modal utama yang ditambah pula dengan rekam jejak Indonesia khususnya sebagai salah satu negara pendiri ASEAN pada tahun 1967, menurut Fajar, bisa semakin menguatkan posisi tawar yang tinggi sehingga Indonesia layak diperhitungkan sebagai figur pemimpin negara-negara Asia Tenggara.

Pengakuan global

Tidak hanya untuk tingkat regional seperti ASEAN, kekuatan ekonomi Indonesia juga bisa menambah peluang besar untuk mendapat pengakuan secara global, khususnya dalam lingkup G20.

Hal itu, tambah Fajar, terlebih karena manajemen ekonomi Indonesia yang dinilai mampu terlepas dari jerat perlambatan ekonomi dunia jadi prestasi tersendiri. Padahal, di saat yang sama China dan AS mengalami perlambatan tersebut.

“Posisi Indonesia di kancah G20 bukan lagi hanya sebagai 'pemanis' atau 'anak bawang' yang cenderung tidak memberi dampak, tetapi justru jadi kekuatan ekonomi baru dunia," kata dia.

Di sisi lain, Shofwan menilai kehadiran Jokowi di forum G20 yang "minilateral" dengan peserta negara-negara yang signifikan untuk mempengaruhi tata kelola ekonomi global membuat Indonesia diakui sebagai negara penting dalam pemetaan ekonomi dan geopolitik dunia.

Walaupun demikian, Shofwan melihat bahwa Indonesia masih cenderung memantau dibanding menggerakkan. Tanda dari hal itu, di antaranya, belum ada inisiatif yang signifikan dan forum lebih banyak digunakan untuk kepentingan bilateral.

“Masih banyak ruang yang belum termanfaatkan pada platform-platform internasional," ucap Shofwan.

Dua blok besar bernama G7 yang terdiri dari tujuh kekuatan negara maju, yaitu AS, Inggris, Kanada, Prancis, Jepang, Italia, Jerman, dan BRICS yang merupakan kekuatan revisionis dari Brazil, Rusia, India, China, Afrika Selatan masih lebih dominan dalam 'menyetir' G20.

Kabar baiknya, Indonesia yang berada dalam blok MIKTA bersama dengan Meksiko, Korea Selatan, Turki, dan Australia dinilai memiliki peluang untuk menjadi penengah yang memastikan bahwa kemungkinan konflik antara G7 dengan BRICS bisa dikelola dengan baik.

Barangkali peluang inilah yang akan menjadikan Indonesia sebagai negara pemberi solusi inovatif untuk tata kelola global.

Baca juga: Indonesia sampaikan Kajian ASEAN Indo-Pasifik kepada Australia

Baca juga: Harapan baru Xi di Osaka oleh M. Irfan Ilmie


Baca juga: Menantikan Jokowi-Ma'ruf perkuat peran Indonesia di kancah global

Editor: Azizah Fitriyanti
Copyright © ANTARA 2019