Tentunya kedepan tantangan ekonomi masih dalam skala tinggi yang di sebabkan perekonomian global belum menujukkan keseimbangan dan stabilitasnya
Jember, Jawa Timur (ANTARA) - Pengamat ekonomi Universitas Jember Adhitya Wardhono PhD mengatakan tantangan ekonomi presiden dan wakil presiden terpilih Joko Widodo dan Ma'ruf Amin masih dalam skala tinggi dan tantangan ekonomi ke depan juga tidak dapat dipisahkan dalam kerangka pembangunan politik dalam negeri yang terpolarisasi.

"Jokowi kembali sebagai presiden untuk kedua kalinya yang didampingi Ma'ruf Amin, namun tantangan ekonomi tentu akan sangat berbeda dibandingkan periode sebelumnya," katanya di Kabupaten Jember, Jawa Timur, Kamis.

Selama ini, lanjut dia, kebijakan ekonomi Jokowi terkesan tidak populis, namun cukup meredam gonjangan eksternal dan global yang terus menerpa selama kepemimpinannya.

"Target utama pertumbuhan ekonomi akan tetap menjadi variabel penting mengingat target 7 persen belum tercapai, meskipun kondisi itu dapat dimaklumi karena faktor eksternal yaitu ekonomi global yang tidak stabil selama ini," tuturnya.

Jika dimaknai secara fair, katanya, pemerintah Jokowi mampu menghela ekonomi dengan selamat ditengah turbulensi ekonomi dunia meski hanya dikisaran pertumbuhan 5 persen.

"Tentunya kedepan tantangan ekonomi masih dalam skala tinggi yang di sebabkan perekonomian global belum menujukkan keseimbangan dan stabilitasnya," ucap pakar moneter tersebut.

Selain itu, lanjut dia, di dalam negeri sendiri polarisasi yang sudah demikian dalam mengakibatkan aspek demokrasi menjadi kunci untuk diwaspadai dalam arti kondisi itu berimbas pada implementasi kebijakan-kebijakan perekonomian yang berorientasi pertumbuhan ekonomi.

"Dan tentunya pilihan kabinet yang tepat perlu dilakukan dengan selektif dalam aras yang dilematis. Artinya nuansa kabinet yang menekankan tokoh profesional di dalamnya (kabinet zaken) untuk mengejar ketinggalan ekonomi dan menerabas tantangan yang ada," ujarnya.

Atau Jokowi-Amin akomodatif terhadap polarisasi yang terjadi, sehingga diharapkan dapat meredam situasi dan lebih tenang dan ekonomi dapat berjalan meskipun mungkin tidak melaju dengan cepat.

Adhitya menjelaskan sektor internasional (ekspor-impor) harus menjadi perhatian utama Jokowi-Amin ke depan karena fluktuasi sektor itu masih rentan bagi ekonomi ke depan yang ditunjukkan transaksi neraca berjalan yang cenderung defisit dan artinya itu terus menekan akumulasi produk domestik bruto (PDB) selama ini.

"Terlebih belum ada kejelasan menurunnya perang dagang AS dan China, serta penolakan beberapa produk Indonesia ke Eropa," ucap dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Jember itu.

Menurutnya seharusnya bisa dipastikan bahwa salah satu cara meredam itu adalah optimalisasi pembangunan infrastuktur yang sudah secara masif dibangun selama ini. Efisiensi ekonomi dan rendahnya high-cost economy sektor manufaktur Indonesia dapat membalikkan situasi sektor perdagangan internasional Indonesia.

"Pemerintah Jokowi-Amin juga harus memastikan inflasi tetap terjaga dan tetap rendah sehingga daya beli tetap stabil. Sinkronisasi kebjakan antara pemerintah dan pemangku moneter yaitu Bank Indonesia perlu ditingkatkan untuk memastikan fluktuasi harga terjaga sesuai yang ditargetkan," katanya.

Ia menjelaskan investasi harus terus digenjot untuk memastikan kualitas pertumbuhan ekonomi karena pertumbuhan ekonomi Indonesia masih mengandalkan sektor konsumsi dan investasi, sehingga ke depan investasi akan menjadi tumpuan.

"Pekerjaan rumah Jokowi-Amin di bidang ekonomi juga terkait rendahnya tax ratio menjadi masalah dalam penerimaan APBN karena pajak masih menjadi andalan, namun tax ratio-nya masih dalam kisaran 10-11 persen, padahal idealnya pada posisi 16 persen seperti target RPJMN 2019," imbuhnya.

Pewarta: Zumrotun Solichah
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2019