Jakarta (ANTARA News) - Dewan Pers meminta RUU Informasi Transaksi Elektronik (ITE) yang telah mendapat persetujuan dari DPR segera direvisi, karena di dalamnya terdapat pasal-pasal yang berpotensi membungkam kebebasan pers. "Kita (Dewan Pers--red) akan mengirimkan surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar RUU ITE tidak disetujui untuk diundangkan," kata Wakil Ketua Dewan Pers, Sabam Leo Batubara, saat berdiskusi soal RUU ITE, di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Senin. Dalam diskusi itu, sebelumnya Menteri Kominfo Muhammad Nuh dijadwalkan hadir, namun dalam pelaksanaannya dia diwakili Staf Ahli Bidang Hukum Depkominfo, Edmon Makarim. Menurut Leo Batubara, RUU ITE yang disetujui menjadi UU pada Rapat Paripurna DPR pada 25 Maret 2008, selain bertujuan untuk memerangi kejahatan yang dilakukan melalui dunia maya, memberantas pornografi, kejahatan transaksi digital, perjudian, pemerasan, juga dimaksudkan untuk membelenggu kebebasan pers. Ia merujuk pasal 27 ayat 3 UU ITE yang menyebutkan, setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau menstransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Dilanjutkannya, sesuai pasal 45 ayat 1 UU ITE, perbuatan melanggar pasal 27 ayat 1, 2 dan 3, dapat dihukum pidana dengan penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar. "Ini namanya terjadi kemunduran kebebasan pers. Lagi pula, industri media massa saat ini tidak lagi hanya berbentuk cetak, tetapi telah berkembang melalui siaran elektronik, dan ataupun on-line," kata Leo. Dewan Pers juga mengkhawatirkan dengan pasal-pasal RUU ITE pihak kepolisian dan kejaksaan akan dengan mudah menangkap dan menjerat industri media massa, padahal tugas media massa juga membongkar kebohongan terhadap publik yang dilakukan pihak tertentu. Untuk itu, katanya, ada waktu 30 hari bagi Dewan Pers untuk memberi masukan kepada pemerintah sebelum RUU ITE diundangkan. Protes Dewan Pers terhatap RUU ITE juga menyangkut pasal 28 Ayat 2 RUU ITE yang menyebutkan, setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antargolongan (sara). "RUU ITE ini lagi-lagi menjerat dengan penjara paling lama enam tahun dan denda Rp1 miliar. Padahal pasal pencemaran nama baik, menyebarkan rasa kebencian dan yang merupakan pasal karet pada KUH Pidana telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena tidak sesuai dengan alam kemerdekaan," kata Leo Batubara. Untuk itu pula, katanya, Dewan Pers akan mengajukan "judicial review" kepada Mahkamah Konstitusi terkait sejumlah pasal di RUU ITE tersebut. Senada dengan Leo Batubara, anggota Dewan Pengawas Perum LKBN ANTARA, Asro Kamal Rokan, menjelaskan pers akan dihadapkan dengan pasal-pasal RUU ITE yang dapat merugikan perkembangan pemberitaan dan informasi. "Mumpung belum disahkan Presiden, sebaiknya Depkominfo dan pihak terkait (DPR) diberi ruang untuk berdiskusi," kata Asro yang juga pernah menjabat sebagai Pimpinan Umum LKBN ANTARA. Meskipun begitu, ia menjelaskan, pemerintah saat ini sudah tidak punya celah untuk membungkam kebebasan pers. Sementara itu, Staf Ahli Bidang Hukum Depkominfo, Edmon Makarim, membantah bahwa RUU tersebut dimaksudkan untuk memenjarakan kebebasan pers dan media masa. "Tidak ada sama sekali kata-kata yang menyebutkan pers, dan media massa. Justru kami menganggap bahwa pers sudah terlindungi dengan UU Pers yang telah dimilikinya," kata Edmon. Sementara itu, Kepala Direktorat Non-Litigasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, M Halim mengatakan, pengesahan RUU ITE tersebut disayangkan, karena diperkirakan dapat disalahgunakan pihak tertentu ataupun pemerintah untuk melakukan tuntutan secara tidak proporsional. "Sebelum RUU disahkan di DPR, seharusnya terlebih dahulu dilakukan uji publik, sehingga lebih konprehensif dan tidak bertentangan dengan Undang-undang yang telah ada," kata Halim. (*)

Pewarta:
Copyright © ANTARA 2008