Mataram (ANTARA) - Terdakwa pungutan liar (pungli) dana rekonstruksi masjid pascagempa Lombok, Silmi, menyatakan, penarikan 30 persen dana bantuan dilakukan atas perintah Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama NTB, Nasrudin.

Pernyataan mantan Kasubbag Kepegawaian dan Organisasi Tata Laksana Kanwil Kemenag NTB itu disampaikan ke hadapan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tipikor Mataram, Selasa, dalam sidangnya yang mengagendakan penyampaian nota pembelaan (pledoi) terdakwa.

Melalui penasihat hukumnya, Burhanuddin, materi pembelaan dibuka dari alasan Silmi mencabut keterangan BAP penyidik Polres Mataram.

Baca juga: Terdakwa pungli dana masjid pascagempa kembalikan uang Rp19 juta

Terdakwa mencabut keterangan sebelumnya yang menyebutkan uang sebesar Rp55 juta adalah pinjaman dari saksi Iqbaludin, mantan Kasubbag TU Kemenag Lombok Barat yang juga turut menjadi terdakwa dalam kasus tersebut.

"Jadi uang yang Rp50 juta itu memang uang bantuan gempa untuk perbaikan masjid. Silmi mencabut BAP karena mendapat tekanan dari Kepala Kanwil Kemenag NTB, Pak Nas," kata Burhanuddin.

Menanggapi pernyataan tersebut, jaksa penuntut umum, Ida Ayu Camundi Dewi menyambutnya dengan mengatakan bahwa keterangan Silmi sebelumnya tidak pernah diuji keabsahannya dalam persidangan. Melainkan pernyataan yang disampaikan Silmi saat diperiksa sebagai terdakwa di persidangan, tidak di bawah sumpah.

Baca juga: Pejabat Kanwil Kemenag NTB terdakwa pungli dituntut delapan tahun

"Pada saat menjadi saksi untuk terdakwa Iqbaludin atau Lalu Basuki Rahman tidak pernah disampaikan, yang mana pada saat itu dia sudah disumpah. Jadi keterangan sebagai terdakwa itu lemah posisi hukumnya," ujar jaksa Dayu.

Lebih lanjut, Silmi menyampaikan bahwa besar pungutan yang diperintahkan Kakanwil Kemenag NTB Nasrudin sebesar 30 persen telah tersampaikan ke terdakwa kedua dan ketiga, Iqbaludin dan Lalu Basuki Rahman, Staf KUA Gunungsari.

Namun demikian, Silmi menyebut bahwa perintah pungutan sebesar 30 persen yang disampaikan ke Iqbaludin tanpa adanya pemaksaan.

"Terdakwa Silmi tidak pernah memaksa saksi Iqbaludin untuk memotong 30 persen. Tetapi Iqbaludin bilang diusahakan 20 persen walaupun ternyata akhirnya dipotongnya menjadi 15 persen. Perintah Silmi tidak dipatuhi Iqbaludin," kata Burhanuddin melanjutkan pledoinya.

Selanjutnya, Silmi menerima dua kali penyerahan uang hasil pemotongan dana bantuan masjid. Yakni pada 5 Agustus 2019 sebesar Rp25 juta secara tunai dari Iqbaludin dan 7 Agustus 2019 sebesar Rp30 juta melalui transfer ke rekening Bank Mandiri milik Silmi.

"Jadi uang tidak sempat dipakai. Sebesar Rp20 juta diserahkan untuk Kepala Kanwil (Kemenag NTB) disampaikan lewat saksi office boy Ansori," ucapnya.

Akhir penyampaian pledoinya, Burhanuddin meminta majelis hakim untuk meringankan tuntutan pidana korupsi yang sudah diajukan jaksa. Karenanya Silmi tidak terbukti bersalah berdasarkan pasal 12e UU RI Nomor 20/2001 tentang perubahan atas UU RI Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

"Bahwa ini terjadi disparitas tuntutan kepada terdakwa Silmi. Yang mana sama-sama mendapat perintah dari orang lain," ujarnya.

Silmi sebelumnya dituntut jaksa agar dijatuhi hukuman pidana penjara selama delapan tahun, denda Rp200 juta subsider dua bulan.

Menurut jaksa, Silmi menggunakan kekuasaannya sebagai pejabat untuk memaksa orang lain menyerahkan sebagian bantuan masjid terdampak gempa.

Sebanyak 12 masjid dikenakan pungutan bervariasi masing-masing antara Rp5 juta sampai Rp10 juta dari jumlah besaran dana bantuan yang diterima setiap masjid.

Terkait dengan dalih pungutan hendak dibagikan kepada masjid yang tidak mendapat bantuan, tidak dapat dibuktikan melainkan jaksa melihat uang pungutan masuk ke rekening pribadi Silmi dengan jumlah Rp55 juta.

Pewarta: Dhimas Budi Pratama
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2019