Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat mengatakan Hari Pers Nasional (HPN) harus menjadi momentum yang mengingatkan para jurnalis dan institusi pers agar produk jurnalistik tetap menjadi acuan masyarakat dalam melawan berita bohong atau hoaks yang bisa berujung pada perpecahan bangsa.
"Jurnalisme juga dituntut untuk menyajikan informasi dan komunikasi yang kredibel, bermanfaat, dan berkualitas di tengah perkembangan teknologi yang menghadirkan informasi cepat antara lain melalui media sosial," kata Lestari Moerdijat atau Rerie dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Jumat.
Dia mengatakan, media sosial sering digunakan untuk penyebaran hoaks, dan berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), terdapat 1.731 hoaks selama Agustus 2018-April 2019.
Jumlah itu terdiri atas 620 hoaks politik, 210 hoaks pemerintahan, 200 hoaks kesehatan, 159 fitnah, dan 113 kejahatan.
Menurut Rerie, kondisi itu bahkan ada kecenderungan informasi hoaks mengarah ke politik identitas yang bisa berujung pada perpecahan bangsa.
"Pada kondisi seperti itu, pers harus mengambil peran sebagai perekat dan pemersatu bangsa lewat berita-berita yang akurat, kredibel dan menyajikan sudut pandang yang mendorong persatuan," ujarnya.
Oleh karena itu, menurut Rerie, pers wajib menghasilkan karya jurnalistik yang layak digunakan untuk memverifikasi berita yang beredar di masyarakat.
Dia menilai pada kondisi berita terus menerus diproduksi setiap saat bersumber dari media sosial maupun media arus utama, kredibilitas narasumber, profesionalisme jurnalis, dan akurasi data yang disajikan menjadi penentu apakah berita itu bisa dipercaya atau tidak.
Selain itu, Rerie juga mengungkapkan keprihatinannya terhadap kasus-kasus kekerasan terhadap wartawan, dan berdasarkan hasil monitoring Aliansi Jurnalis Independen (AJI), mayoritas kekerasan terhadap jurnalis jarang berakhir di pengadilan.
"Meski ada faktor keengganan dari jurnalis karena kurangnya dukungan perusahaan, faktor terbesar adalah praktik impunitas yang terus berlangsung bagi pelakunya," ujarnya.
Politikus Partai NasDem itu mengutip data AJI bahwa ada 53 kasus kekerasan yang menimpa wartawan atau jurnalis hingga 23 Desember 2019, dan pada 2018 ada 64 kasus kekerasan terhadap wartawan.
Dia mengatakan, kasus kekerasan masih didominasi kekerasan fisik sebanyak 20 kasus, perusakan alat atau data hasil liputan sebanyak 14 kasus, ancaman kekerasan atau teror enam kasus, pemidanaan atau kriminalisasi lima kasus, dan pelarangan liputan empat kasus.
Rerie meminta pemerintah untuk menjamin kebebasan pers, sehingga kasus kekerasan serupa tidak terulang dan proses penegakan hukum dalam kasus kekerasan wajib dituntaskan sehingga menimbulkan efek jera.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2020
"Jurnalisme juga dituntut untuk menyajikan informasi dan komunikasi yang kredibel, bermanfaat, dan berkualitas di tengah perkembangan teknologi yang menghadirkan informasi cepat antara lain melalui media sosial," kata Lestari Moerdijat atau Rerie dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Jumat.
Dia mengatakan, media sosial sering digunakan untuk penyebaran hoaks, dan berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), terdapat 1.731 hoaks selama Agustus 2018-April 2019.
Jumlah itu terdiri atas 620 hoaks politik, 210 hoaks pemerintahan, 200 hoaks kesehatan, 159 fitnah, dan 113 kejahatan.
Menurut Rerie, kondisi itu bahkan ada kecenderungan informasi hoaks mengarah ke politik identitas yang bisa berujung pada perpecahan bangsa.
"Pada kondisi seperti itu, pers harus mengambil peran sebagai perekat dan pemersatu bangsa lewat berita-berita yang akurat, kredibel dan menyajikan sudut pandang yang mendorong persatuan," ujarnya.
Oleh karena itu, menurut Rerie, pers wajib menghasilkan karya jurnalistik yang layak digunakan untuk memverifikasi berita yang beredar di masyarakat.
Dia menilai pada kondisi berita terus menerus diproduksi setiap saat bersumber dari media sosial maupun media arus utama, kredibilitas narasumber, profesionalisme jurnalis, dan akurasi data yang disajikan menjadi penentu apakah berita itu bisa dipercaya atau tidak.
Selain itu, Rerie juga mengungkapkan keprihatinannya terhadap kasus-kasus kekerasan terhadap wartawan, dan berdasarkan hasil monitoring Aliansi Jurnalis Independen (AJI), mayoritas kekerasan terhadap jurnalis jarang berakhir di pengadilan.
"Meski ada faktor keengganan dari jurnalis karena kurangnya dukungan perusahaan, faktor terbesar adalah praktik impunitas yang terus berlangsung bagi pelakunya," ujarnya.
Politikus Partai NasDem itu mengutip data AJI bahwa ada 53 kasus kekerasan yang menimpa wartawan atau jurnalis hingga 23 Desember 2019, dan pada 2018 ada 64 kasus kekerasan terhadap wartawan.
Dia mengatakan, kasus kekerasan masih didominasi kekerasan fisik sebanyak 20 kasus, perusakan alat atau data hasil liputan sebanyak 14 kasus, ancaman kekerasan atau teror enam kasus, pemidanaan atau kriminalisasi lima kasus, dan pelarangan liputan empat kasus.
Rerie meminta pemerintah untuk menjamin kebebasan pers, sehingga kasus kekerasan serupa tidak terulang dan proses penegakan hukum dalam kasus kekerasan wajib dituntaskan sehingga menimbulkan efek jera.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2020