Anggota Komisi VI DPR RI yang membidangi masalah perdagangan, Mufti Anam, menyoroti harga gula pasir yang tak kunjung turun dan harga di pasaran masih jauh di atas harga eceran yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp12.500 per kilogram.
”Kementerian Perdagangan, khususnya Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, bagaimana ini kerjanya? Harga kok enggak turun-turun? Bahkan kemarin-kemarin awet Rp17.500 per kilogram. Ini memberatkan masyarakat,” ujar Mufti yang juga politisi PDI Perjuangan ketika dihubungi, Minggu.
Mufti mengaku telah mengecek ke berbagai pasar tradisional, seperti di daerah pemilihannya Pasuruan dan Probolinggo, dan harga gula pasir masih tembus kisaran Rp16.500 per kilogram dan di pasar modern Rp15.000 per kilogram.
Sementara itu berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional per 16 Mei 2020 harga gula pasir memang masih tinggi.
Di Jawa Timur, rata-rata harga gula pasir tembus Rp16.350 per kilogram untuk pasar tradisional atau sekitar 30 persen lebih tinggi dari harga acuan tingkat konsumen. Di Jawa Tengah, Jawa Barat, dan sejumlah provinsi lain, kata dia, bahkan tembus Rp17.000 per kilogram.
”Kita bisa hitung berapa keuntungan yang diambil oleh para pemain gula, justru di saat masyarakat kesulitan ekonomi,” ujar Mufti.
Mufti menyoroti dua penyebab gula terus membubung tinggi sejak awal tahun. Pertama, tiadanya analisis manajemen stok yang baik dari Ditjen Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang mempunyai tugas stabilisasi harga barang kebutuhan pokok.
”Akibat analisis stok yang tidak cermat, pemegang kebijakan lamban mencari solusi. Saat stok tidak ada, baru bingung. Harga sudah kelewat naik, baru lakukan langkah A, B, C, termasuk impor. Hal yang sama juga terjadi pada komoditas bawang,” ujarnya.
Dia menyebut momentum impor Kemendag terlambat, sekaligus menunjukkan minimnya kemampuan analisis manajemen stok, termasuk semestinya sejak awal tahun sudah mendeteksi perubahan peta perdagangan internasional setelah wabah COVID-19 muncul di China.
"Mengapa terlambat dan menunjukkan minimnya analisis manajemen stok? Pertama, harga telanjur naik lama sekali. Kedua, akhir Mei-Juni ini pabrik gula mulai giling tebu petani, yang artinya pasokan gula akan lancar," ujarnya.
Dia mengingatkan agar impor gula yang bakal masuk skala besar ke Indonesia pada Mei dan Juni melalui BUMN benar-benar diawasi.
"Impor yang menumpuk mendekati musim giling tebu petani harus diawasi agar tidak membuat harga gula petani jatuh, karena ini berbarengan dengan giling pada puluhan pabrik gula. Kapan datangnya, di mana pelabuhannya, untuk memenuhi pasar mana saja ini harus jelas,” papar Mufti.
Faktor kedua harga gula tinggi, kata Mufti, adalah lemahnya pengawasan distribusi gula pasir.
"Impor gula sudah mulai dilakukan, gula rafinasi juga direalokasi untuk pasar konsumsi, tapi kenapa harga di pasar masih tinggi? Itu jadi bukti lemahnya pengawasan distribusi bahan pokok. Ini siapa yang bermain di rantai distribusinya? Kenapa Kemendag diam?," kata Mufti.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2020
”Kementerian Perdagangan, khususnya Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, bagaimana ini kerjanya? Harga kok enggak turun-turun? Bahkan kemarin-kemarin awet Rp17.500 per kilogram. Ini memberatkan masyarakat,” ujar Mufti yang juga politisi PDI Perjuangan ketika dihubungi, Minggu.
Mufti mengaku telah mengecek ke berbagai pasar tradisional, seperti di daerah pemilihannya Pasuruan dan Probolinggo, dan harga gula pasir masih tembus kisaran Rp16.500 per kilogram dan di pasar modern Rp15.000 per kilogram.
Sementara itu berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional per 16 Mei 2020 harga gula pasir memang masih tinggi.
Di Jawa Timur, rata-rata harga gula pasir tembus Rp16.350 per kilogram untuk pasar tradisional atau sekitar 30 persen lebih tinggi dari harga acuan tingkat konsumen. Di Jawa Tengah, Jawa Barat, dan sejumlah provinsi lain, kata dia, bahkan tembus Rp17.000 per kilogram.
”Kita bisa hitung berapa keuntungan yang diambil oleh para pemain gula, justru di saat masyarakat kesulitan ekonomi,” ujar Mufti.
Mufti menyoroti dua penyebab gula terus membubung tinggi sejak awal tahun. Pertama, tiadanya analisis manajemen stok yang baik dari Ditjen Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang mempunyai tugas stabilisasi harga barang kebutuhan pokok.
”Akibat analisis stok yang tidak cermat, pemegang kebijakan lamban mencari solusi. Saat stok tidak ada, baru bingung. Harga sudah kelewat naik, baru lakukan langkah A, B, C, termasuk impor. Hal yang sama juga terjadi pada komoditas bawang,” ujarnya.
Dia menyebut momentum impor Kemendag terlambat, sekaligus menunjukkan minimnya kemampuan analisis manajemen stok, termasuk semestinya sejak awal tahun sudah mendeteksi perubahan peta perdagangan internasional setelah wabah COVID-19 muncul di China.
"Mengapa terlambat dan menunjukkan minimnya analisis manajemen stok? Pertama, harga telanjur naik lama sekali. Kedua, akhir Mei-Juni ini pabrik gula mulai giling tebu petani, yang artinya pasokan gula akan lancar," ujarnya.
Dia mengingatkan agar impor gula yang bakal masuk skala besar ke Indonesia pada Mei dan Juni melalui BUMN benar-benar diawasi.
"Impor yang menumpuk mendekati musim giling tebu petani harus diawasi agar tidak membuat harga gula petani jatuh, karena ini berbarengan dengan giling pada puluhan pabrik gula. Kapan datangnya, di mana pelabuhannya, untuk memenuhi pasar mana saja ini harus jelas,” papar Mufti.
Faktor kedua harga gula tinggi, kata Mufti, adalah lemahnya pengawasan distribusi gula pasir.
"Impor gula sudah mulai dilakukan, gula rafinasi juga direalokasi untuk pasar konsumsi, tapi kenapa harga di pasar masih tinggi? Itu jadi bukti lemahnya pengawasan distribusi bahan pokok. Ini siapa yang bermain di rantai distribusinya? Kenapa Kemendag diam?," kata Mufti.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2020