Ketegangan di Laut China Selatan belum mereda, bahkan semakin memanas dikarenakan Amerika Serikat meningkatkan patroli kapal-kapal militer di kawasan tersebut.
Hal tersebut dilakukan Amerika Serikat karena China dikabarkan terus melakukan latihan militer dan pembangunan di pulau-pulau reklamasi di Laut China Selatan (LCS) di tengah pandemi COVID-19 yang melanda dunia.
Amerika Serikat pun secara tegas menolak klaim China atas LCS.
Beijing secara rutin menjabarkan ruang lingkup klaim kepemilikan LCS berdasarkan sembilan garis putus-putus (Nine Dash Line /NDL).
Sembilan garis putus-putus adalah wilayah historis LCS seluas 2 juta kilometer persegi dan membentang 2.000 kilometer dari daratan China.
China mengklaim 90 persen dari LCS yang berpotensi kaya akan sumber daya energi.
Namun Brunei, Malaysia, Filipina, Taiwan, dan Vietnam juga mempunyai hak atas bagian dari LCS.
Pengamat hubungan internasional dari Universitas Padjajaran Teuku Rezasyah mengatakan China mengetahui sepenuhnya jika keputusan hukum yang telah ditetapkan oleh Pengadilan Arbitrase di Den Haag jelas-jelas menolak klaim China untuk menguasai LCS, walaupun China sudah meratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982.
Tapi China maklum, jika negara-negara ASEAN tidak ada yang berani menurunkan aturan tersebut dalam hukum nasional mereka dan dalam hubungan diplomatik mereka di tingkat global.
Penamaan LCS itu sendiri tidak dibuat oleh China. Namun telah lama berlaku di kalangan masyarakat internasional.
Bagi China, lanjut Teuku, ini adalah pengakuan mereka atas hak tradisional China yang telah ada selama ratusan tahun untuk mengambil manfaat ekonomi yang merupakan warisan dunia.
Sosialisasi Nine Dash Line /NDL tetap akan dilakukan, walaupun menghadapi nota diplomatik dari negara-negara ASEAN.
China mengetahui secara pasti, jika sepanjang masih ada anggota ASEAN yang tergantung pada bantuan ekonomi China, maka suara ASEAN tidak akan pernah bulat dan mengikat.
Pemaksaan atas sembilan garis putus-putus akan terus dipraktikkan secara militer dan ekonomi di lokasi LCS, serta jalur diplomatik dan ilmu pengetahuan di berbagai forum internasional, guna mencegah eksplorasi dan eksploitasi yang dilakukan tanpa sepersetujuan China.
Karena China yakin jika kekuatan militernya sudah setara dengan Amerika Serikat dan Rusia, maka koalisi militer ASEAN dengan kekuatan Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya hanya akan menjadi macan kertas, dan tidak akan pernah berfungsi.
China telah memiliki data yang spesifik atas seluruh kandungan energi, minyak dan gas yang ada di LCS, dan karenanya akan senantiasa menentang pergerakan kapal asing yang akan melakukan penelitian dan eksplorasi di LCS.
China sedang berupaya membangun sebuah norma internasional yang baru, yakni otomatis menolak segala bentuk latihan militer negara-negara ASEAN dengan negara di luar ASEAN di bagian wilayah LCS manapun.
China menolak penamaan Laut Natuna Utara (LNU) oleh Indonesia, dan mengharamkan LNU menjadi nama yang digunakan oleh siapapun dalam berkegiatan militer dan bukan militer di LCS.
China akan secara khusus memonitor perkuatan Tentara Nasional Indonesia (TNI), terutama sekali di Natuna dan pulau-pulau terdepan Indonesia lainnya, mengingat sudah tingginya perlawanan Indonesia secara cepat, tepat, dan akurat di zona ekonomi eksklusif (ZEE) atas pergerakan kapal nelayan China. Dikuatirkan, hal ini akan meningkatkan rasa percaya diri Vietnam, Filipina, dan Malaysia untuk berkoordinasi dengan Indonesia.
China mengkhawatirkan keterlibatan Jepang dan Korea Selatan dalam berbagai proyek infrastruktur diberbagai pulau terdepan Indonesia. Karena keadaan ini memungkinkan keduanya menggunakan Teknologi 6G Yang telah mereka kuasai untuk memonitor seluruh pergerakan China di LCS.
Penghormatan aturan internasional
Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi mengatakan pentingnya ASEAN untuk menunjukkan soliditas mengenai penghormatan terhadap aturan internasional termasuk Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982.
Penghormatan terhadap prinsip-prinsip hukum internasional termasuk UNCLOS 1982 adalah kunci yang harus ditegakkan oleh semua pihak untuk menanggapi perkembangan di wilayah Laut China Selatan.
Dalam pertemuan bilateral virtual dengan Menteri Luar Negeri China Wang Yi, Retno meminta China, sebagai negara yang mengaksesi Perjanjian Persahabatan dan Kerja Sama/Treaty of Amity and Cooperation (TAC), untuk mematuhi tata perilaku hubungan dengan negara-negara Asia Tenggara dalam penyelesaian konflik terkait LCS.
TAC telah diaksesi banyak negara termasuk China, Amerika Serikat, India, Australia, Jepang, dan Korea Selatan. Menjadi kewajiban negara yang melakukan aksesi untuk terus menghormati prinsip-prinsip TAC tersebut, ujar dia.
Retno juga menekankan dialog selalu menjadi cara terbaik untuk menyelesaikan konflik.
Ia menegaskan bahwa prinsip Indonesia selalu konsisten dalam menyikapi perebutan wilayah dan kekuasaan di LCS, yaitu dengan menghormati hukum internasional.
Indonesia memandang perdamaian dan stabilitas di kawasan LCS hanya dapat dipelihara jika semua negara menghormati dan mengimplementasikan semua hukum internasional yang terkait, termasuk UNCLOS 1982.
Retno mengajak semua pihak untuk terus mengedepankan kerja sama dan kolaborasi, bukannya rivalitas yang merugikan.
Disamping itu, Perundingan code of conduct (COC) mengenai konflik LCS n harus tetap dilanjutkan meskipun dunia dilanda pandemi COVID-19.
Hal itu harus dilakukan agar ditemukan jalan tengah demi menggapai stabilitas dan perdamaian di LCS.
Sementara itu Menteri Luar Negeri Malaysia Hishammuddin Hussein mengatakan bahwa Malaysia ingin menyelesaikan konflik di LCS melalui negosiasi diplomatik agar tidak terjebak dalam pertarungan antar negara-negara adidaya.
Malaysia, lanjut dia, tidak menginginkan bentrokan militer antara pihak-pihak yang bersengketa terjadi di kawasan LCS.
Hishammuddin menggarisbawahi pentingnya ASEAN untuk bersatu dalam menghadapi kekuatan negara-negara besar di wilayah disengketakan itu.
Bersatunya ASEAN akan menjadi kekuatan/ atau sinergi yang efektif dalam mencari penyelesaian konflik di LCS.
Ia mengingatkan bahwa terdapat klaim tumpang tindih dengan sesama negara ASEAN di LCS.
Klaim tumpang tindih itu jangan sampai membuat ASEAN pecah.
Pasalnya, peluang terbaik untuk menyelesaikan masalah LCS yaitu dengan solidaritas ASEAN yang kuat sebagai satu blok.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2020
Hal tersebut dilakukan Amerika Serikat karena China dikabarkan terus melakukan latihan militer dan pembangunan di pulau-pulau reklamasi di Laut China Selatan (LCS) di tengah pandemi COVID-19 yang melanda dunia.
Amerika Serikat pun secara tegas menolak klaim China atas LCS.
Beijing secara rutin menjabarkan ruang lingkup klaim kepemilikan LCS berdasarkan sembilan garis putus-putus (Nine Dash Line /NDL).
Sembilan garis putus-putus adalah wilayah historis LCS seluas 2 juta kilometer persegi dan membentang 2.000 kilometer dari daratan China.
China mengklaim 90 persen dari LCS yang berpotensi kaya akan sumber daya energi.
Namun Brunei, Malaysia, Filipina, Taiwan, dan Vietnam juga mempunyai hak atas bagian dari LCS.
Pengamat hubungan internasional dari Universitas Padjajaran Teuku Rezasyah mengatakan China mengetahui sepenuhnya jika keputusan hukum yang telah ditetapkan oleh Pengadilan Arbitrase di Den Haag jelas-jelas menolak klaim China untuk menguasai LCS, walaupun China sudah meratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982.
Tapi China maklum, jika negara-negara ASEAN tidak ada yang berani menurunkan aturan tersebut dalam hukum nasional mereka dan dalam hubungan diplomatik mereka di tingkat global.
Penamaan LCS itu sendiri tidak dibuat oleh China. Namun telah lama berlaku di kalangan masyarakat internasional.
Bagi China, lanjut Teuku, ini adalah pengakuan mereka atas hak tradisional China yang telah ada selama ratusan tahun untuk mengambil manfaat ekonomi yang merupakan warisan dunia.
Sosialisasi Nine Dash Line /NDL tetap akan dilakukan, walaupun menghadapi nota diplomatik dari negara-negara ASEAN.
China mengetahui secara pasti, jika sepanjang masih ada anggota ASEAN yang tergantung pada bantuan ekonomi China, maka suara ASEAN tidak akan pernah bulat dan mengikat.
Pemaksaan atas sembilan garis putus-putus akan terus dipraktikkan secara militer dan ekonomi di lokasi LCS, serta jalur diplomatik dan ilmu pengetahuan di berbagai forum internasional, guna mencegah eksplorasi dan eksploitasi yang dilakukan tanpa sepersetujuan China.
Karena China yakin jika kekuatan militernya sudah setara dengan Amerika Serikat dan Rusia, maka koalisi militer ASEAN dengan kekuatan Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya hanya akan menjadi macan kertas, dan tidak akan pernah berfungsi.
China telah memiliki data yang spesifik atas seluruh kandungan energi, minyak dan gas yang ada di LCS, dan karenanya akan senantiasa menentang pergerakan kapal asing yang akan melakukan penelitian dan eksplorasi di LCS.
China sedang berupaya membangun sebuah norma internasional yang baru, yakni otomatis menolak segala bentuk latihan militer negara-negara ASEAN dengan negara di luar ASEAN di bagian wilayah LCS manapun.
China menolak penamaan Laut Natuna Utara (LNU) oleh Indonesia, dan mengharamkan LNU menjadi nama yang digunakan oleh siapapun dalam berkegiatan militer dan bukan militer di LCS.
China akan secara khusus memonitor perkuatan Tentara Nasional Indonesia (TNI), terutama sekali di Natuna dan pulau-pulau terdepan Indonesia lainnya, mengingat sudah tingginya perlawanan Indonesia secara cepat, tepat, dan akurat di zona ekonomi eksklusif (ZEE) atas pergerakan kapal nelayan China. Dikuatirkan, hal ini akan meningkatkan rasa percaya diri Vietnam, Filipina, dan Malaysia untuk berkoordinasi dengan Indonesia.
China mengkhawatirkan keterlibatan Jepang dan Korea Selatan dalam berbagai proyek infrastruktur diberbagai pulau terdepan Indonesia. Karena keadaan ini memungkinkan keduanya menggunakan Teknologi 6G Yang telah mereka kuasai untuk memonitor seluruh pergerakan China di LCS.
Penghormatan aturan internasional
Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi mengatakan pentingnya ASEAN untuk menunjukkan soliditas mengenai penghormatan terhadap aturan internasional termasuk Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982.
Penghormatan terhadap prinsip-prinsip hukum internasional termasuk UNCLOS 1982 adalah kunci yang harus ditegakkan oleh semua pihak untuk menanggapi perkembangan di wilayah Laut China Selatan.
Dalam pertemuan bilateral virtual dengan Menteri Luar Negeri China Wang Yi, Retno meminta China, sebagai negara yang mengaksesi Perjanjian Persahabatan dan Kerja Sama/Treaty of Amity and Cooperation (TAC), untuk mematuhi tata perilaku hubungan dengan negara-negara Asia Tenggara dalam penyelesaian konflik terkait LCS.
TAC telah diaksesi banyak negara termasuk China, Amerika Serikat, India, Australia, Jepang, dan Korea Selatan. Menjadi kewajiban negara yang melakukan aksesi untuk terus menghormati prinsip-prinsip TAC tersebut, ujar dia.
Retno juga menekankan dialog selalu menjadi cara terbaik untuk menyelesaikan konflik.
Ia menegaskan bahwa prinsip Indonesia selalu konsisten dalam menyikapi perebutan wilayah dan kekuasaan di LCS, yaitu dengan menghormati hukum internasional.
Indonesia memandang perdamaian dan stabilitas di kawasan LCS hanya dapat dipelihara jika semua negara menghormati dan mengimplementasikan semua hukum internasional yang terkait, termasuk UNCLOS 1982.
Retno mengajak semua pihak untuk terus mengedepankan kerja sama dan kolaborasi, bukannya rivalitas yang merugikan.
Disamping itu, Perundingan code of conduct (COC) mengenai konflik LCS n harus tetap dilanjutkan meskipun dunia dilanda pandemi COVID-19.
Hal itu harus dilakukan agar ditemukan jalan tengah demi menggapai stabilitas dan perdamaian di LCS.
Sementara itu Menteri Luar Negeri Malaysia Hishammuddin Hussein mengatakan bahwa Malaysia ingin menyelesaikan konflik di LCS melalui negosiasi diplomatik agar tidak terjebak dalam pertarungan antar negara-negara adidaya.
Malaysia, lanjut dia, tidak menginginkan bentrokan militer antara pihak-pihak yang bersengketa terjadi di kawasan LCS.
Hishammuddin menggarisbawahi pentingnya ASEAN untuk bersatu dalam menghadapi kekuatan negara-negara besar di wilayah disengketakan itu.
Bersatunya ASEAN akan menjadi kekuatan/ atau sinergi yang efektif dalam mencari penyelesaian konflik di LCS.
Ia mengingatkan bahwa terdapat klaim tumpang tindih dengan sesama negara ASEAN di LCS.
Klaim tumpang tindih itu jangan sampai membuat ASEAN pecah.
Pasalnya, peluang terbaik untuk menyelesaikan masalah LCS yaitu dengan solidaritas ASEAN yang kuat sebagai satu blok.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2020