Jakarta, (Antaraaceh) - Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak gugatan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) agar PT Surya Panen Subur (SPS) membayar kerugian materil dan imateril sebesar Rp439 miliar.
"Mengadili, menolak provisi untuk seluruhnya. Dalam eksepsi mengabulkan eksepsi tergugat sebagian, menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima," kata Majelis Hakim PN Jakarta Selatan Nani Indrawati di Jakarta Selatan, Kamis (25/9).

Dalam siaran pers Dari empat yang diterima di Banda Ace, Jumat, menyebutkan eksepsi yang diajukan tim kuasa hukum SPS, majelis mengabulkan sebagian, yakni kurang pihak dan gugatan bersifat kabur.

Menurut majelis, KLH harusnya tidak mempermasalahkan PT SPS karena perusahaan ini baru di-take over tahun 2011, sementara kerusakan lahan yang didalilkan sejak tahun 2009.

Kemudian, KLH tidak bisa membuktikan gugatannya, apakah kerusakan lahan itu akibat kebakaran atau akibat faktor lain. Selain itu, KLH juga tidak bisa memastikan berapa jumlah luas lahan yang rusak akibat terbakar, sehingga klaim jumlah area tertentu mengalami kerusakan tidak bisa diterima.

Adapun dua eksepsi PT SPS yang ditolak majelis hakim, yakni dalil mengenai diskualifikasi in person dan gugatan prematur. Dengan demikian, majelis menghukum penggugat untuk membayar perkara.

Sementara itu, Kuasa Hukum PT SPS Rivai Kusumanegara,  mengapresiasi putusan majelis. Putusan telah sesuai dengan fakta persidangan, seperi tentang tuduhan adanya hot spot di wilayah SPS tahun 2009, yang tak berdasar.

"Sedangkan masalahnya, kami baru take over 2011, sehingga bagaimana mungkin kami menjawab dan menjelaskan adanya hot spot tersebut, sementara kami belum ada di situ," tandasnya.

Rivai sependapat dengan keputusan hakim yang menyatakan penggugat tidak bisa membuktikan gugatannya secara konsisten dan mencampur adukan tuduhan sengaja membakar dengan tuduhan membiarkan lahan terbakar.

"Ini dua perbuatan yang berbeda baik dari cara dilakukannya, motif maupun tujuannya. Karena gugatannya tidak konsisten dan berubah-ubah, maka akan sulit untuk membuktikan perkara ini," katanya menjelaskan.

KLH juga tidak bisa memastikan berapa luas lahan yang terbakar dan secara tiba-tiba mengklaim jumlah luas kerusakan. Apakah benar rusaknya akibat kebakar atau bukan, karena bisa saja akibat pembukaan lahan, karena hutan dibuka maka akan terjadi perubahan ekologi.

Katanya itu menjadi aneh, karena luas lahan yang dianggap rusak menjadi dasar perhitungan untuk membayar kerugian. Seharusnya itu diteliti sejauh mana terjadi kerusakan dan apa penyebabnya.

Menurutnya, putusan yang diketok majelis merupakan bukti bahwa KLH memaksakan perkara ini hanya untuk menyeret perusahaan ke jalur hukum, meski tidak mempunyai bukti yang memadai.

Pewarta:

Editor : Salahuddin Wahid


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2014