Banda Aceh, 3/11 (Antaraaceh) - Desa Lamjabat merupakan salah satu daerah di Kota Banda Aceh yang terkena musibah tsunami paling parah, 26 Desember 2005. Areal tambak udang yang merupakan mata pencaharian pokok warga setempat hancur dan berubah menjadi laut.
Namun, setelah hampir 10 tahun tsunami berlalu, kawasan tambak tersebut secara perlahan tetapi pasti kini sudah mulai berubah setelah sebagian warga membudidayakan kepiting sangkak.
Budi daya kepiting sangkak yang dimulai dirintis pada tahun 2007 oleh Herlen Munsyah, terus berkembang, dan kini menjadi salah satu komoditas ekspor andalan masyarakat Banda Aceh.
Kepiting sangkak atau dalam masyarakat pesisir Jawa disebut kepiting soka merupakan kepiting dengan kulit lunak karena dipanen saat kepiting tersebut sedang berganti cangkang. Saat cangkang  kepiting belum mengeras, kepiting itu dipanen.
Kepiting soka merupakan kepiting dengan cangkang lunak yang melakukan pergantian cangkang secara alami. Biasanya, pembudidaya menggunakan teknik khusus untuk mempercepat proses pergantian cangkangnya.
Herlen yang merupakan penduduk asli Lamjabat itu mengatakan bahwa budi daya kepiting soka itu dimulai dari satu orang. Akan tetapi, kini warga yang tertarik untuk mengembangkan salah satu produk perikanan itu sudah mulai banyak.
"Alhamdulillah, warga di sini sudah mulai bangkit lagi, tambak yang sempat ditelatarkan kini sudah mulai digarap dengan membudidayakan kepiting soka yang tergolong baru. Dulu warga di sini banyak menanam udang," ujarnya.
Ia mengatakan bahwa hampir setiap tiga hari sekali dirinya mengirim kepiting sebanyak 50 kilogram atau  sekitar 500 kg dalam sebulan ke pabrik di Medan, Sumatera Utara, untuk diekspor ke Jepang dan beberapa negara lainnya.
"Kalau di Desa Lamjabat ini, rata-rata bisa mengirim 1,5 ton/bulan ke Medan, belum lagi dari desa lainnya," katanya.
Ia mengatakan bahwa prospek budi daya kepiting sangkak ini relatif cukup bagus sehingga perkembangannya terus meningkat.
Di Desa Lamjabat ini saja, sekarang sudah ada 40.000 basket untuk budi daya kepiting sangkak. Satu basket untuk satu kepiting, dan 15 hari sudah bisa dipanen.
Kendala Benih
Namun, kata Herlen, petambak mengalami kesulitan untuk memperoleh benih sehingga untuk melakukan perluasan atau penambahan basket mengalami kendala.
Ia berharap pemerintah membangun "hatchery" (pembenihan) kepiting di Provinsi Aceh untuk memenuhi kebutuhan benih yang terus meningkat.
"Kami sangat berharap pemerintah mendirikan 'hatchery' kepiting karena kebutuhan benih untuk pembudidayaan kepiting di Aceh cukup besar," kata Herlen.
Ia mengatakan bahwa budi daya kepiting sangkak di Aceh, khususnya di Banda Aceh, terus berkembang seiring dengan meningkatkan permintaan pasar ekspor. Namun, petani sepertinya kesulitan untuk  memperoleh benih.
Selama ini, kata dia, petani membeli benih dari hasil tangkapan nelayan di alam bebas, bukan hasil pembenihan sehingga dikhawatirkan akan mengalami kesulitan benih di kemudian hari.
"Selama ini, untuk bibit masih banyak yang kami datangkan dari daerah Aceh Utara dan Aceh Timur dengan jumlah yang sangat terbatas," katanya.
Seandainya ada "hatchery" kepiting, kata dia, kebutuhan benih bisa teratasi bila permintaannya besar.
Ia memperkirakan permintaan benih kepiting bakal terus bertambah karena budi daya kepiting sangkak tersebut terus berkembang, mengingat permintaan terhadap salah satu komoditas perikanan di pasar luar negeri juga meningkat.
"Jadi, saya rasa prospek benih kepiting di Aceh ini cukup bagus karena memang kebutuhannya juga terus meningkat," ujarnya.
Menurut dia, sebenarnya petambak di Aceh ingin melakukan penambahan basket. Akan tetapi, karena terkendala bibit, sulit dilakukan.
Ia mengatakan bahwa pasaran ekspor kepiting sangkak relatif cukup bagus, bahkan petambak di Aceh belum mampu memenuhi permintaan luar negeri yang diperkirakan mencapai 20--50 ton/bulan.
"Petambak Aceh belum mampu memenuhi permintaan pasar luar negeri sehingga kami ekspor kepiting sangkak harus melalui pengusaha Medan, Sumatera Utara," katanya.
Produksi kepiting sangkak di Banda Aceh, kata dia, berkisar 5--10 ton/bulan.
Mengenai harga, dia mengatakan bahwa harganya relatif cukup baik karena terus mengalami kenaikan dan saat ini mencapai Rp142 ribu/kg di Medan, sedangkan pasaran lokal Rp150 ribu/kg. Untuk kepiting kualitas dua sekitar Rp100 ribu/kg.
Wali Kota Banda Aceh Illiza Sa'aduddin Djamal mengatakan bahwa warga di Desa Lamjabat dan Cot Kuweuh membudidayakan tambak kepting sangkak, sementara di Desa Lambung mengembangkan ikan air tawar, seperti nila, emas, dan lele.
"Saya optimistis kepiting sangkak dari kawasan Meuraxa itu dapat menjadi komoditas ekspor dan meningkatkan perekonomian serta kesejahteraan warga," kata Illiza.
Sementara itu, pengurus Koperasi Pemasaran Aceh (Kopemas) Abdussalam mengatakan bahwa permintaan kepiting soka relatif cukup besar dan makin meningkat di tingkat pasar lokal maupun di luar provinsi, bahkan luar negeri.
Saat ini, produksi kepiting soka Kopemas baru 2 ton per bulan, sedangkan standar minimal untuk bisa ekspor langsung adalah 8 ton. Akibatnya, ekspor kepiting soka dilakukan melalui eksportir di  Sumatera Utara.
Untuk meningkatkan produksi minilam 8 ton per bulan, Kopemas Aceh akan mengoptimalkan dua lokasi budi daya, yaitu di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Pidie.
Lokasi budi daya di Banda Aceh terletak di Desa Deah Baro, Kecamatan Meuraxa, dengan proyeksi produksi 6 ton per bulan.
Adapun di Kabupaten Pidie, Kopemas Aceh menggandeng Koperasi Cahaya Pusong yang memiliki lokasi budi daya di Desa Pusong, Kecamatan Kembang Tanjong, dengan proyeksi produksi 3,5 ton/bulan.
"Kami berharap budi daya kepiting soka ini terus berkembang dan pemerintah daerah harus ikut mendukung pengembangnnya sehingga menjadi salah satu komoditas unggulan ekspor dari Aceh," kata Abdussalam.

Pewarta:

Editor : Salahuddin Wahid


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2014