Kejaksaan Tinggi Aceh didesak untuk mengusut tuntas kasus dugaan tindak pidana penyalahgunaan dana tunjangan kinerja (tukin) di Badan Pengelolaan Migas Aceh (BPMA), yang sudah dilakukan pengumpulan bahan keterangan (pulbaket). 

"Merujuk pada objek penanganan perkara tentang tukin di BPMA maka sudah sewajarnya perkara ini dapat atensi khusus dari Kejati Aceh," kata Koordinator LSM Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh Askhalani di Banda Aceh, Rabu.

Sebelumnya, Kejati Aceh telah memanggil dan memeriksa petinggi BPMA untuk memberikan keterangan terkait tunjangan kinerja tahun 2019, yakni satu orang Deputi, tiga Kepala Divisi dan sebanyak 74 orang staf lainnya.

Askhalani meminta Kejati Aceh harus segera merampungkan penyelidikan untuk menjamin asas kepastian hukum terhadap perkara di BPMA tersebut. Karena sejak awal perkara itu mencuat sampai hari ini belum terdengar adanya perkembangan yang baik. 

Menurut Askhalani, perkara tukin BPMA ini harus disampaikan secara terbuka kepada publik sejauh mana proses penyelidikan  yang telah dilakukan, termasuk hasil pendalaman materinya. 

"Jangan sampai publik menilai ada perbedaan penanganan antara satu perkara dengan perkara lainnya, maka atas dasar tersebut tim Kejati Aceh  harus menyampaikan keterangan secara terbuka tentang dugaan tindak pidana Tukin di BPMA," ujarnya.
 
Askhalani menyebutkan, GeRAK Aceh menemukan adanya indikasi ketidakpatuhan dalam implementasi dana tukin itu sehingga berpotensi merugikan keuangan negara secara terencana dan masif.  

Kata Askhalani, merujuk pada telaah yang dilakukan bahwa penetapan remunerasi pimpinan dan pekerja BPMA tersebut hanya didasari oleh surat Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani pada tanggal 31 Desember 2017 tentang Persetujuan Prinsip Penetapan Remunerasi bagi pimpinan dan pekerja BPMA serta honorarium Komisi Pengawas BPMA. 

"Persetujuan prinsip itu merupakan persetujuan atas usulan Menteri ESDM tanggal 26 Mei 2017 tentang Usulan Rencana Kerja dan Anggaran serta Remunerasi BPMA," kata advokat ini. 
 
Askhalani menjelaskan, dalam surat Menkeu disebutkan bahwa Menteri menyetujui pemberian renumerasi bagi pimpinan dan pekerja BPMA dengan komponen dan besaran setinggi-tingginya sebagaimana lampiran surat tersebut dengan besaran remunerasi bersifat netto.

Dalam hal ini BPMA tidak diperkenankan menambah komponen maupun besaran renumerasi dan honorarium sebagaimana tercantum dalam lampiran surat Menkeu tersebut. 

"Melalui surat yang sama, Menkeu juga meminta agar dibuat standardisasi key performance indicator yang transparan dan akuntabel," ujarnya. 
 
Kata Askhalani, dalam suratnya Menkeu juga menekankan agar seluruh proses dilakukan secara profesional, bersih dari korupsi, dan tidak ada konflik kepentingan, tetap menerapkan prinsip kehati-hatian dan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan berlaku.
 
Selain itu, lanjut Askhalani, berdasarkan fakta ditemukan bahwa tukin untuk pegawai BPMA telah direalisasikan sebanyak dua kali, yaitu tukin tahun 2019.

Di mana, ada pegawai yang memperoleh sebesar tiga kali upah dasar dan tunjangan profesional, serta lainnya hanya mendapatkan satu kali upah dasar dan tunjangan profesional. 

"Yang kedua yaitu pada Mei 2020 sebesar satu kali upah dasar dan tunjangan profesional kepada semua pegawai," katanya.

Padahal seharusnya, sambung Askhalani, tukin hanya diberikan setiap tahun sekali, namun juga harus terlebih  dahulu dilakukan penilaian atas capaian kinerja. 

"Maka dasar penyidikan perkara oleh Kejati Aceh ini menjadi satu keharusan untuk dibuktikan secara hukum. Pasalnya ada uang negara yang digunakan secara serampangan dan tidak taat azas hukum," demikian Askhalani.
 

Pewarta: Rahmat Fajri

Editor : Heru Dwi Suryatmojo


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2021