Akademisi Jurusan Fisika Fakultas MIPA Universitas Syiah Kuala (USK) Dr Suhrawardi Ilyas M Sc menilai Aceh memiliki potensi besar untuk menjadi ladang garam Indonesia, dan hanya butuh sentuhan teknologi dan mekanisasi dalam upaya meningkatkan produksi garam setiap tahunnya.

“Selama ini produksinya (garam) hanya produksi rakyat, artinya dengan cara yang sangat tradisional, volume produksinya juga kecil sekali,” kata Suhrawardi di Banda Aceh, Senin.

Ia menyebutkan kebutuhan garam masyarakat Aceh sekitar 50.000 ton per tahun, baik untuk konsumsi maupun dalam memenuhi kebutuhan industri rumahan. Sedangkan tingkat produksi garam menurut data pemerintah rata-rata sekitar 11.000 ton per tahunnya.

Menurut dia, angka produksi garam per tahun itu masih sangat rendah jika dibandingkan dengan potensi yang ada. Apalagi cara masyarakat mengelola potensi garam itu juga masih menggunakan cara-cara tradisional.

“Jadi belum ada sentuhan teknologi, mekanisasi, untuk menghasilkan garam, baik metode penguapan dan volume pengerjaannya. Produksi kita itu rendah, sementara potensi (garam) kita besar,” katanya.

Suhrawardi menjelaskan potensi garam di Aceh sangat besar. Hal itu dapat dilihat dari garis pantai provinsi paling barat Indonesia itu yang begitu panjang. Katanya, perairan laut teluk dan muara dengan dataran pantai yang luas dinilai sangat tepat untuk wilayah produksi garam.

Ia menilai sepanjang garis pantai di pesisir timur Aceh itu sangat cocok menjadi ladang garam. Menurutnya dari Kabupaten Aceh Besar hingga ke Aceh Tamiang terdapat 800 kilometer garis pantai yang dapat menjadi wilayah produksi garam.

“Dengan areal pantai yang luas, perairan laut yang tidak begitu begejolak, jadi cukup panjang untuk wilayah produksi garam. Sedangkan wilayah pantai barat selatan Aceh kurang cocok karena pantainya berupa batu-batu, tapi tidak semua,” katanya.

“Dan selama ini kantong produksi garam itu cuma di Bireuen, Pidie, dan Aceh Besar, tapi ada banyak tempat yang sudah tidak ada lagi, cuma beberapa yang masih mengelola garam,” katanya lagi.

Selam ini, kata Suhrawardi, masyarakat masih memproduksi garam dengan cara tradisional yakni memasak dalam waktu berjam-jam untuk mendapatkan hanya beberapa kilogram garam.

Jadi belum ada sistem produksi garam di Aceh dengan memanfaatkan sentuhan teknologi seperti pemompaan air laut hingga penguapan secara meknik, agar prosesnya lebih cepat dan menghasilkan garam dalam jumlah besar.

Padahala, kata dia, dirinya dan sejumlah akademisi lain telah membuat penelitian tentang mekanisasi produksi garam. Sehingga pemerintah diharapkan dapat menindaklanjuti penelitian itu dalam upaya meningkat produksi garam di daerah Tanah Rencong itu.

“Ada beberapa penelitian yang kemudian bisa dikembangkan untuk diperluas sehingga sampai ke tahap produksi,” katanya.

“Jadi kita itu manfaatkan teknologi, baik dengan pemompaan, luas wilayah areal yang bisa digunakan untuk penguapan air, kemudian kita buat mekanisasi supaya mudah menguap airnya apakah menggunakan kincir dan sebagainya, dan Aceh belum melakukan itu,” katanya.

Apalagi, menurut dia, Aceh memiliki kondisi cauca panas yang cukup panjang, sehingga dapat mempercepat proses penguapan dalam produksi garam tersebut.

“Jadi Januari hingga Mei itu bulan panas, udara kita lumayan panas. Juni sampai Agustus itu bulan hujan, dan September, Oktober kita bulan panas lagi,” katanya.

Pewarta: Khalis Surry

Editor : Azhari


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2021