Kita mungkin sudah tidak asing dengan aktivis atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang terbiasa mengkritisi kebijakan publik dan pembangunan yang menggunakan uang negara. Tujuan mereka agar uang negara tidak dihabiskan untuk membangun sesuatu yang kurang bermanfaat, yang akhirnya berujung pada pemborosan. Akan tetapi, jarang sekali kita menemukan aktivis yang mengajak masyarakat untuk merawat uang Rupiah. Padahal salah satu cara untuk ikut andil dalam mencegah pemborosan uang negara adalah dengan mencintai uang Rupiah, termasuk dengan merawat uang kita dengan baik. Inilah cara mencegah pemborosan yang bisa dilakukan oleh siapa pun, semua usia, dan seluruh golongan masyarakat dari Sabang sampai Merauke.

Uang Rupiah yang kita gunakan untuk bertransaksi sehari-hari, melalui proses panjang sebelum sampai ke tangan kita. Bank Indonesia terlebih dahulu berkoordinasi dengan pemerintah untuk melakukan perencanaan dan pencetakan uang Rupiah. Kemudian Bank Indonesia mengeluarkan dan mengedarkan uang Rupiah tersebut ke seluruh Indonesia, sehingga bisa kita gunakan untuk transaksi. Setelah uang Rupiah beredar selama jangka waktu tertentu, kondisi uang menjadi tidak layak edar. Uang yang sudah tidak layak edar inilah yang kemudian dimusnahkan kembali oleh Bank Indonesia. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, Bank Indonesia adalah satu-satunya lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan, mengedarkan, dan memusnahkan uang Rupiah. Karena itu, siklus ini berlangsung terus menerus sehingga Bank Indonesia dapat memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap uang Rupiah dengan jumlah yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, tepat waktu, dan kondisi layak edar.

Tentunya setiap tahapan itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Semakin cepat uang Rupiah yang beredar menjadi lusuh, semakin besar pula biaya yang dihabiskan untuk memusnahkan dan mencetak uang Rupiah. Sebagian besar masyarakat kita selama ini masih terbiasa melipat uang, menstaples, dan terkadang mencoret uang Rupiah. Terlihat sepele, tetapi dengan melakukan hal-hal tersebut, tanpa kita sadari sebenarnya kita sedang ikut melakukan pemborosan uang negara. Inilah yang melatarbelakangi Bank Indonesia untuk mengajak masyarakat Indonesia merawat Uang Rupiah dengan menggalakkan sosialisasi Cinta, Bangga, dan Paham (CBP) Rupiah. Merawat uang Rupiah merupakan salah satu wujud dari Cinta Rupiah. Karena dengan merawat uang Rupiah, kita bisa membuat masa edar uang Rupiah menjadi lebih lama. Masa edar lebih lama akan berdampak pada berkurangnya intensitas pemusnahan uang Rupiah tidak layak edar dan jumlah yang dimusnahkan. Dengan demikian, biaya yang dibutuhkan untuk mencetak dan mengedarkan uang Rupiah juga dapat dihemat.

Minimnya kesadaran masyarakat untuk merawat uang Rupiah dapat kita amati di sekitar kita. Saat kita berbelanja di pasar tradisional misalnya, sering kita menemukan pedagang yang meletakkan uangnya di tempat yang rentan terkena air atau kotoran. Kita juga acapkali melihat pembeli menerima kembalian lalu memasukkannya ke dalam saku dengan terlebih dahulu melipat dan meremas uangnya. Memang ada sebagian orang yang terbiasa menyimpan uang kembalian di dalam dompet. Namun, kebanyakan dompet yang kita pakai pun posisi uangnya terlipat, kecuali dompet panjang yang biasa dipakai oleh wanita. Begitu pula saat kita pergi ke acara pesta yang menyediakan kotak untuk menampung amplop dari para tamu undangan. Kebanyakan kotak yang kita temukan, memiliki lubang yang sempit, sehingga amplop berisi uangnya harus dilipat agar bisa masuk. Demikian juga kotak amal di tempat-tempat umum dan tempat ibadah, hanya bisa dimasuki uang dengan posisi terlipat. Alangkah baiknya jika di masa yang akan datang kita mempertimbangkan untuk membuat kotak yang ukuran lubangnya lebih lebar daripada lebar uang kertas Rupiah kita.

Selain melipat, meremas, dan membasahi uang, tak jarang juga kita menemukan uang Rupiah yang distaples. Biasanya terjadi ketika ada uang yang akan dibagikan ke beberapa orang dengan jumlah berbeda-beda, kita sering menandainya dengan menstaples atau menuliskan nama penerimanya pada uang. Bahkan kita juga pasti pernah menemukan uang yang ada coretan berupa gambar atau nomor telepon. Padahal menstaples dan mencoret uang Rupiah juga termasuk tindakan merusak uang Rupiah dan mempersingkat masa edarnya. Jika kita cinta terhadap bangsa ini, kita juga harus mencintai Rupiah kita. Maka sudah seharusnya kita menerapkan 5 Jangan terhadap uang Rupiah. 5 Jangan itu adalah jangan dilipat, jangan diremas, jangan dicoret, jangan distaples, dan jangan dibasahi.

Selain merawat uang Rupiah yang kita gunakan untuk bertransaksi sehari-hari, kita juga dapat melakukan transaksi secara non tunai. Apalagi saat ini transaksi non tunai sudah semakin mudah, semenjak adanya Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS). QRIS merupakan penyatuan berbagai macam QR dari berbagai PJSP (Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran) menjadi satu QR Codeyang berlaku untuk semua payment. Rekening bank atau e-walletapa pun yang kita gunakan, bisa bertransaksi pakai QRIS sehingga lebih mudah dan cepat, serta terjaga keamanannya. Maka sudah selayaknya pula kita membiasakan diri untuk bertransaksi secara non tunai. Penggunaan non tunai juga dapat mengurangi jumlah uang Rupiah yang dicetak dan diedarkan. Sehingga dengan kita melakukan 5 Jangan terhadap uang Rupiah dan mengutamakan non tunai dalam bertransaksi, sebenarnya kita sudah ikut andil membantu negara ini dalam mencegah pemborosan.

 

Penulis : Arga Riandhi, Pelaksana di Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Aceh

Pewarta: Redaksi

Editor : M Ifdhal


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2022