Tapaktuan (ANTARA Aceh) - Seorang anggota DPRK Aceh Selatan dari Fraksi Partai Demokat, H Helmi Karim ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Kelas IIB Tapaktuan, karena diduga telah melakukan tindak pidana penganiayaan terhadap seorang perempuan bernama Ismijar AMd.

Kapolres Aceh Selatan AKBP Achmadi SIK yang dikonfirmasi melalui Kasat Reskrim Iptu Darmawanto SSos di Tapaktuan, Senin (9/11), membenarkan telah terjadi tindak pidana penganiayaan disertai kekerasan terhadap seorang perempuan bernama Ismijar yang melibatkan anggota DPRK Aceh Selatan, H Helmi Karim dan seorang perempuan bernama Karmina.

''Kasus ini secara resmi dilaporkan oleh korban Ismijar pada tanggal 26 Februari 2015 dan kasus itu langsung kami proses. Karena seorang pelaku berstatus Anggota dewan, maka proses hukum terhadapnya harus mendapat izin dari Gubernur Aceh,'' kata Darmawanto.

Darmawanto mengungkapkan, izin dari Gubernur Aceh Nomor : 180/5924 perihal persetujuan tertulis untuk melakukan tindakan penyidikan terhadap Anggota DPRK Aceh Selatan atas nama H Helmi Bin H Abdul Karim yang ditandatangani oleh Zaini Abdullah, diterbitkan pada tanggal 30 Maret 2015.

Menurutnya, setelah dilakukan penelitian berkas perkara tahap pertama oleh Jaksa dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Tapaktuan, maka berkas tindak pidana penganiayaan itu secara resmi ditetapkan P21 pada tanggal 5 Juli 2015.

''Karena berkasnya dinyatakan sudah lengkap (P21), maka pada tahap dua berkas perkara beserta kedua tersangka tersebut langsung kami limpahkan ke Kejari Tapaktuan pada tanggal 27 Oktober 2015. Selama proses penyidikan di Polres Aceh Selatan kedua tersangka tidak ditahan,'' ungkap Darmawanto.

Dia menjelaskan, kasus penganiayaan tersebut merupakan persoalan internal keluarga terkait harta warisan. Korban Ismijar merupakan adik kandung dari H Helmi Karim dan Karmina. Pada hari Kamis (26/2) lalu sekira pukul 13.00 WIB, Ismijar datang ke rumah ibu kandungnya yang berlokasi di Desa Kampung Hilir Kecamatan Tapaktuan.

''Beberapa saat kemudian datang kedua pelaku, saat itu sempat terjadi percecokan mulut sampai akhirnya timbul penganiayaan kekerasan fisik. Berdasarkan hasil visum dokter, korban mengalami luka memar dibagian leher dan luka memar dibagian bahu kiri dan kanan serta di lengan tangan,'' sebut Darmawanto.

Kedua tersangka, ujar Darmawanto, dijerat dengan Pasal 351 junto 170 KUHP dengan ancaman hukuman diatas 5 tahun.

Namun sayangnya, persoalan ini tidak berhasil dikonfirmasi dengan pihak Kejari Tapaktuan, karena ketika wartawan mendatangai Kantor Kejari Tapaktuan Senin (9/11), seorang Jaksa yang ditemui mengatakan pihaknya tidak dibolehkan memberikan statemen kepada pers oleh Kajari Irwinsyah SH, sementara Kajari saat ini sedang berada di Jakarta.

''Terkait persoalan itu langsung dikonfirmasi kepada Kajari, sebab kami tidak dibenarkan memberikan pernyataan kepada wartawan. Saat ini Kajari sedang berada di Jakarta tunggu saja beliau pulang,'' kata seorang Jaksa kepada wartawan.

Namun setelah di desak oleh wartawan, seorang Jaksa di Kejari Tapaktuan mengakui bahwa, pihaknya telah menerima pelimpahan berkas perkara (P21) dari Polres Aceh Selatan pada tanggal 27 Oktober 2015 dan pada hari itu juga kedua tersangka langsung ditahan di Rutan Kelas IIB Tapaktuan sebagai tahanan titipan Kejaksaan.

''Berkas perkara ini sudah masuk tahap penuntutan dan sudah kami limpahkan ke PN Tapaktuan. Sidang pertama dengan agenda pembacaan dakwaan sudah berlangsung pada Rabu 4 November 2015 lalu. Jika saat ini status tahanan kedua terdakwa sudah dialihkan menjadi tahanan Kota maka itu menjadi kewenangan Hakim bukan lagi kewenangan kami,'' ungkapnya.   

Sementara itu, Wakil Ketua Pengadilan Negeri (PN) Tapaktuan, Zulkarnain SH MH saat dikonfirmasi membenarkan bahwa pihaknya telah mengabulkan permohonan dari istri terdakwa H Helmi Karim dan anak kandung dari terdakwa Karmina untuk mengalihkan status tahanan kedua tersangka tersebut menjadi tahanan Kota.

''Alasan Hakim mengabulkan permohonan tersebut karena terdakwa bersedia membuat surat pernyataan tidak akan melarikan diri dan bersikap kooperatif menghadiri sidang apalagi salah seorang terdakwa adalah Anggota dewan. Disamping itu kasus tersebut dinilai tidak terlalu berat karena persoalan keluarga terkait harta warisan. Untuk lebih menguatkan lagi, maka kedua terdakwa ini kami ikat dengan uang jaminan masing-masing sebesar Rp 7 juta,'' sebut Zulkarnain.

Berdasarkan keterangan pihak keluarga terdakwa, kata Zulkarnain, alasan diminta pengalihan tahanan tersebut karena kasus pembagian harta warisan itu ingin di selesaikan secara kekeluargaan melalui Pengadilan Mahkamah Syariah, dimana mengharuskan terdakwa hadir langsung di dalam persidangan. ''Ini hak mereka, tapi tetap saja tidak dapat menggugurkan perkara pidana. Artinya bahwa sidang di PN Tapaktuan tetap lanjut,'' tegasnya.

Dia menjelaskan, kedua pelaku tersebut berstatus tahanan Kejari Tapaktuan dari tanggal 27 – 30 Oktober 2015. Setelah berkas perkara dilimpahkan ke PN Tapaktuan maka status tahanan Hakim mulai tanggal 30 Oktober sampai 4 November 2015.

''Dialihkan status tahanannya oleh Hakim tepat setelah berlangsungnya sidang pertama pada Rabu 4 November 2015 dengan agenda pembacaan dakwaan. Namun keputusan ini tidak baku sebab jika ke depannya kedua terdakwa bersikap tidak kooperatif serta melakukan tindakan-tindakan yang dapat mengganggu proses hukum, maka bisa saja status tahanan kota dibatalkan dan terdakwa kembali ditahan,'' ujarnya.

Menyikapi persoalan ini, Ketua DPRK Aceh Selatan, T Zulhelmi mengatakan, Badan Kehormatan Dewan (BKD) telah memanggil Anggota DPRK Aceh Selatan dari Fraksi Demokrat H Helmi Karim terkait kasus yang menjeratnya.

''Hasil pertemuan itu menyimpulkan bahwa, pihak BKD DPRK Aceh Selatan menunggu langkah dari pihak H Helmi yang berencana akan menyelesaikan kasus itu secara kekeluargaan. Namun jika kasus itu tetap dilanjutkan proses hukum dan telah mendapat vonis Hakim, maka BKD akan melakukan langkah-langkah hukum selanjutnya sesuai Tata Tertib dan Kode etik dewan setelah berkoordinasi dengan Partai Politik Anggota dewan bersangkutan,'' tegas T Zulhelmi.

Sementara itu, Ketua Partai Demokrat Aceh Selatan, Syahril SAg menyatakan, terkait persoalan yang menjerat salah seorang kadernya tersebut murni persoalan keluarga dan sedikitpun tidak ada hubungannya dengan politik.

Pihaknya, kata Syahril, menyesalkan persoalan keluarga itu sampai mendarat ke Pengadilan. ''Memang jika dilihat dari segi moral, kasus ini telah mencoreng nama baik partai. Selaku kader Partai Demokrat dan juga berstatus Anggota dewan, yang bersangkutan seharusnya memberi contoh yang baik kepada masyarakat bukan justru bersikap arogan. Tapi kami juga menyesalkan terkait persoalan keluarga tidak diselesaikan secara internal kekeluargaan,'' kata Wakil Ketua DPRK Aceh Selatan ini.

Dalam menyikapi persoalan ini, sambung Syahril, Partai Demokrat Aceh Selatan masih menunggu keputusan akhir atau vonis Hakim PN Tapaktuan, jika kasus itu sudah mempunyai keputusan hukum tetap, baru pihaknya mengkaji apakah telah melanggar AD/ART Partai.

''Jika nantinya terbukti melanggar AD/ART Partai, maka Partai Demokrat akan mengambil sikap sesuai aturan yang berlaku. Namun untuk saat ini, dalam menyikapi kasus ini kami tetap menjunjung tinggi azas praduga tak bersalah, kami tidak akan mengambil sikap secara gegabah dan terburu-buru jika belum ada putusan hukum tetap,'' tegas Syahril.

Pewarta: Pewarta : Hendrik

Uploader : Salahuddin Wahid


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2015