Meulaboh (ANTARA Aceh) - Aliansi buruh mengungkap adanya indikasi kejahatan yang dilakukan managemen perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Aceh Barat dalam pelaporan produksi minyak mentah (CPO) di kawasan itu.
Zulfahri, koordinator aksi dari perwakilan buruh perusahaan perkebunan kelapa sawit di Meulaboh, Selasa mengatakan bahwa banyak perusahaan perkebunan kelapa sawit di Aceh Barat memberikan laporan data fiktif terhadap realisasi produksi CPO, sehingga patut ditelusuri.
"Banyak sekali perusahanan kelapa sawit yang melaporkan hasil produksi CPO jauh dari data riil di lapangan. Bukan kita menjelek-jelekan, tapi itu fenomena di lapangan. Kita dibodohi dan pemerintah juga yang rugi," katanya dalam pertemuan dengan Bupati Aceh Barat.
Selain itu, sejumlah perusahaan bergerak di sektor perkebunan kelapa sawit mendaftarkan kesertaan Badan Penyelengara Jaminan Sosial (BPJS) di luar Provinsi Aceh, akibatnya para buruh perkebunan kelapa sawit tidak mendapat pelayanan kesehatan maksimal di daerah tersebut.
Zulfahri menyampaikan, pemda setempat harus memiliki tim atau lembaga yang mengawasi terhadap aktivitas perusahaan secara dekat dan melindungi pekerja dari berbagai intervensi yang sampai pada pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak.
"Sekarang kami perlu pemda menetapkan kebijakan perusahaan kebun sawit melalui upah minimum kabupaten (UMK) dan upah minumum sektoral (UMS), jangan sampai buruh kita di Aceh Barat keluar negeri ke Malaysia hanya untuk kerja potong sawit," tegasnya dalam aksi di halaman kantor bupati.
Sementara itu, Bupati Aceh Barat H T Alaidinsyah mengatakan, bahwa pemda tidak memiliki wewenang dalam memungut apapun dari pajak yang ada di perusahaan perkebunan HGU, semua itu dikelola oleh pemerintah pusat dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak.
"Persoalan pendataan CPO itu kewenangan pemerintah pusat, jadi kalau cara itu (pendataan ekspor CPO) bukan kita, pemda hanya dapat bagi hasil dari pajak karyawan dan kompensasi dari dana bagi hasil," sebutnya.
Terkait tuntutan dibentuknya UMK dan UMS, Alaidinsyah mengatakan belum ada rencana ke arah pembentukan kebijakan lokal tersebut, karena pada prinsipnya seluruh kabupaten/kota di Aceh mengacu pada UMP Aceh.
Kapolres Aceh Barat AKBP Teguh Priyambodo Nugroho yang turut mendampingi kepala daerah pada kesempatan tersebut menyampaikan, terkait tudingan pekerja perusahaan sawit tersebut membutuhkan penyelidikan setelah adanya laporan.
"Kalau memang ada laporan dan laporan itu didukung oleh bukti-bukti yang kuat, ya kami akan melakukan penyelidikan, siapapun kalau memang melakukan pelanggaran hukum, kami akan melakukan penyelidikan. Saya tidak bisa menganalisa dulu karena memang butuh penyelidikan ke arah sana," katanya menambahkan.
Dalam aksi pernyataan sikap aliansi buruh Aceh Barat ini melibatkan di antaranya Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Aceh, FSPMI-KC Aceh Barat, SPAI Mapoli Raya, SPAI Betami, SPEE Os PLN Meulaboh, Aspek Indonesia-Aceh, Pekerja PT Mifa Bersaudara, SPSI dan mahasiswa Aceh Barat.
Zulfahri, koordinator aksi dari perwakilan buruh perusahaan perkebunan kelapa sawit di Meulaboh, Selasa mengatakan bahwa banyak perusahaan perkebunan kelapa sawit di Aceh Barat memberikan laporan data fiktif terhadap realisasi produksi CPO, sehingga patut ditelusuri.
"Banyak sekali perusahanan kelapa sawit yang melaporkan hasil produksi CPO jauh dari data riil di lapangan. Bukan kita menjelek-jelekan, tapi itu fenomena di lapangan. Kita dibodohi dan pemerintah juga yang rugi," katanya dalam pertemuan dengan Bupati Aceh Barat.
Selain itu, sejumlah perusahaan bergerak di sektor perkebunan kelapa sawit mendaftarkan kesertaan Badan Penyelengara Jaminan Sosial (BPJS) di luar Provinsi Aceh, akibatnya para buruh perkebunan kelapa sawit tidak mendapat pelayanan kesehatan maksimal di daerah tersebut.
Zulfahri menyampaikan, pemda setempat harus memiliki tim atau lembaga yang mengawasi terhadap aktivitas perusahaan secara dekat dan melindungi pekerja dari berbagai intervensi yang sampai pada pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak.
"Sekarang kami perlu pemda menetapkan kebijakan perusahaan kebun sawit melalui upah minimum kabupaten (UMK) dan upah minumum sektoral (UMS), jangan sampai buruh kita di Aceh Barat keluar negeri ke Malaysia hanya untuk kerja potong sawit," tegasnya dalam aksi di halaman kantor bupati.
Sementara itu, Bupati Aceh Barat H T Alaidinsyah mengatakan, bahwa pemda tidak memiliki wewenang dalam memungut apapun dari pajak yang ada di perusahaan perkebunan HGU, semua itu dikelola oleh pemerintah pusat dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak.
"Persoalan pendataan CPO itu kewenangan pemerintah pusat, jadi kalau cara itu (pendataan ekspor CPO) bukan kita, pemda hanya dapat bagi hasil dari pajak karyawan dan kompensasi dari dana bagi hasil," sebutnya.
Terkait tuntutan dibentuknya UMK dan UMS, Alaidinsyah mengatakan belum ada rencana ke arah pembentukan kebijakan lokal tersebut, karena pada prinsipnya seluruh kabupaten/kota di Aceh mengacu pada UMP Aceh.
Kapolres Aceh Barat AKBP Teguh Priyambodo Nugroho yang turut mendampingi kepala daerah pada kesempatan tersebut menyampaikan, terkait tudingan pekerja perusahaan sawit tersebut membutuhkan penyelidikan setelah adanya laporan.
"Kalau memang ada laporan dan laporan itu didukung oleh bukti-bukti yang kuat, ya kami akan melakukan penyelidikan, siapapun kalau memang melakukan pelanggaran hukum, kami akan melakukan penyelidikan. Saya tidak bisa menganalisa dulu karena memang butuh penyelidikan ke arah sana," katanya menambahkan.
Dalam aksi pernyataan sikap aliansi buruh Aceh Barat ini melibatkan di antaranya Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Aceh, FSPMI-KC Aceh Barat, SPAI Mapoli Raya, SPAI Betami, SPEE Os PLN Meulaboh, Aspek Indonesia-Aceh, Pekerja PT Mifa Bersaudara, SPSI dan mahasiswa Aceh Barat.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2015