Dinas Komunikasi Informatika dan Persandian (Diskominfo) Aceh mencatat sebanyak 536 dari 6.497 desa di tanah rencong belum memiliki akses internet.
"Sejauh ini ada 536 desa yang belum bisa mengakses internet, atau 12 persen dari jumlah desa di Aceh," kata Kabid Kabid Layanan e-government Diskominfo Aceh Hendri Dermawan, di Banda Aceh, Sabtu.
Hendri menyebutkan, dari 536 tersebut ada 387 desa yang sudah memiliki sinyal G/2G, namun belum dapat mengakses internet. Kemudian 149 desa lainnya masuk kategori blankspot (tidak ada sinyal dan internet).
Dari 23 kabupaten/kota di Aceh, kata Hendri, terdapat tiga daerah yang paling banyak desanya belum terakses internet (kategori merah) yakni Kabupaten Simeulue, Aceh Jaya dan Gayo Lues.
Hendri merincikan, di Kabupaten Simeulue masih ada 96 desa yang belum memiliki akses internet (jumlah desa 138), kemudian di Aceh Jaya 98 desa (172) dan di Gayo Lues 77 desa (136).
"Daerah kabupaten lain juga ada desanya yang belum memiliki akses internet, tetapi tidak banyak (kategori kuning dan hijau)," ujarnya.
Hendri menyampaikan, banyaknya desa di Aceh belum terakses internet tersebut dipengaruhi kondisi geografis daerah yang banyak perbukitan, sehingga mengganggu kualitas jaringan.
Dirinya mencontohkan, jika salah satu provider memasang tower jaringannya di salah tempat dengan jangkauan lima kilometer, itu belum tentu menjangkau daerah terdekat yang letak di bawah perbukitan.
"Kalau letak desanya di bawah belum tentu dapat jaringan, malah kemungkinan didapatkan desa yang lebih jauh kalau ketinggiannya sama. Jadi kondisi geografis mempengaruhi," katanya.
Hendri menyampaikan, untuk daerah 3T (tertinggal, terluar, terdepan) Kementerian Kominfo masih dapat membantu memberikan akses internet cepat melalui program Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI).
Sedangkan untuk daerah non 3T juga dapat melaporkannya ke Direktorat Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (SDPPI) Kementerian Kominfo. Hanya saja prosesnya lama karena banyaknya desa yang harus ditangani.
"Karena itu, pemerintah daerah perlu melaporkannya ke Kominfo terkait kondisi internet di daerah, karena kewenangannya memang di pusat," ujarnya.
Jika butuh proses cepat, lanjut Hendri, pemerintah daerah juga dapat berkolaborasi langsung dengan pihak provider untuk menyediakan akses internet di wilayahnya, karena mereka bisa membantu, untuk teknisnya dapat dibicarakan bersama.
Hendri menuturkan, sejauh ini masih sangat sedikit daerah yang melaporkan kondisi internet di wilayahnya ke Pemerintah Aceh untuk diteruskan kepada Kominfo. Di mana dari 536 tersebut hanya 57 desa yang sudah melaporkan.
Hendri menambahkan, untuk mengatasi permasalahan jaringan internet tersebut sebenarnya hanya dibutuhkan peran aktif pemerintah daerah (kabupaten) untuk melakukan verifikasi lapangan dan melaporkannya ke pemerintah lebih tinggi.
"Proaktif daerah sangat berpengaruh pada kecepatan pengentasan yang blankspot tersebut. Maka kita dorong pemerintah daerah melaporkan kondisi kualitas jaringan dan sinyal telekomunikasinya," demikian Hendri Dermawan.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2022
"Sejauh ini ada 536 desa yang belum bisa mengakses internet, atau 12 persen dari jumlah desa di Aceh," kata Kabid Kabid Layanan e-government Diskominfo Aceh Hendri Dermawan, di Banda Aceh, Sabtu.
Hendri menyebutkan, dari 536 tersebut ada 387 desa yang sudah memiliki sinyal G/2G, namun belum dapat mengakses internet. Kemudian 149 desa lainnya masuk kategori blankspot (tidak ada sinyal dan internet).
Dari 23 kabupaten/kota di Aceh, kata Hendri, terdapat tiga daerah yang paling banyak desanya belum terakses internet (kategori merah) yakni Kabupaten Simeulue, Aceh Jaya dan Gayo Lues.
Hendri merincikan, di Kabupaten Simeulue masih ada 96 desa yang belum memiliki akses internet (jumlah desa 138), kemudian di Aceh Jaya 98 desa (172) dan di Gayo Lues 77 desa (136).
"Daerah kabupaten lain juga ada desanya yang belum memiliki akses internet, tetapi tidak banyak (kategori kuning dan hijau)," ujarnya.
Hendri menyampaikan, banyaknya desa di Aceh belum terakses internet tersebut dipengaruhi kondisi geografis daerah yang banyak perbukitan, sehingga mengganggu kualitas jaringan.
Dirinya mencontohkan, jika salah satu provider memasang tower jaringannya di salah tempat dengan jangkauan lima kilometer, itu belum tentu menjangkau daerah terdekat yang letak di bawah perbukitan.
"Kalau letak desanya di bawah belum tentu dapat jaringan, malah kemungkinan didapatkan desa yang lebih jauh kalau ketinggiannya sama. Jadi kondisi geografis mempengaruhi," katanya.
Hendri menyampaikan, untuk daerah 3T (tertinggal, terluar, terdepan) Kementerian Kominfo masih dapat membantu memberikan akses internet cepat melalui program Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI).
Sedangkan untuk daerah non 3T juga dapat melaporkannya ke Direktorat Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (SDPPI) Kementerian Kominfo. Hanya saja prosesnya lama karena banyaknya desa yang harus ditangani.
"Karena itu, pemerintah daerah perlu melaporkannya ke Kominfo terkait kondisi internet di daerah, karena kewenangannya memang di pusat," ujarnya.
Jika butuh proses cepat, lanjut Hendri, pemerintah daerah juga dapat berkolaborasi langsung dengan pihak provider untuk menyediakan akses internet di wilayahnya, karena mereka bisa membantu, untuk teknisnya dapat dibicarakan bersama.
Hendri menuturkan, sejauh ini masih sangat sedikit daerah yang melaporkan kondisi internet di wilayahnya ke Pemerintah Aceh untuk diteruskan kepada Kominfo. Di mana dari 536 tersebut hanya 57 desa yang sudah melaporkan.
Hendri menambahkan, untuk mengatasi permasalahan jaringan internet tersebut sebenarnya hanya dibutuhkan peran aktif pemerintah daerah (kabupaten) untuk melakukan verifikasi lapangan dan melaporkannya ke pemerintah lebih tinggi.
"Proaktif daerah sangat berpengaruh pada kecepatan pengentasan yang blankspot tersebut. Maka kita dorong pemerintah daerah melaporkan kondisi kualitas jaringan dan sinyal telekomunikasinya," demikian Hendri Dermawan.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2022