Petani di Desa Bukit Panjang 1, Kecamatan Manyak Payed, Aceh Tamiang mengaku kewalahan menghadapi serangan hama walang (belalang) sangit dan burung pemakan padi hingga memaksa mereka harus seharian berada di sawah.

Salah seorang petani, Heri Ansyahri (43) di Aceh Tamiang, Rabu, mengatakan hama yang dominan menyerang tanaman padi adalah jenis walang sangit. Hal ini terjadi akibat pola tanam yang tidak serentak.

“Yang paling merebak saat ini hama walang sangit. Hama ini menyerang padi yang baru jebul (berbuah),” kata Heri.

Baca juga: Tanaman padi petani Aceh Tamiang kerdil, ini sebabnya

Diakuinya banyak resiko yang ditanggung petani dari dampak tidak serentak tanam, seperti hama dan penyakit tanaman serta potensi kekeringan. Untuk mengatasi hama walang sangit Heri Ansyahri terpaksa memasang perangkap tradisional.

Perangkap sederhana tersebut terbuat dari botol plastik bekas air mineral ukuran 600 mili liter, kemudian dilubangi sisi sampingnya layaknya jendela. Uniknya perangkap ini juga menggunakan bahan sabun cuci piring hingga terasi atau belacan yang baunya menyengat.

Baca juga: Luas panen padi di Aceh Timur capai 19.738 hektare

“Lubangnya dua di samping botol untuk hama biar masuk. Dalamnya kita masukan air yang sudah dicampur sabun sunlight dan dibubuhi secuil terasi. Bau dari terasi ini untuk mengundang walang sangit masuk,” tutur Heri menjelaskan.

Menurut petani ini botol perangkap dipasang di setiap sudut dan tengah sawah yang berpotensi diserang hama. Namun perangkap ini tidak bisa diandalkan 100 persen untuk bebas dari walang sangit. Selain walang sangit petani juga direpotkan oleh gerombolan hama burung membuat mereka harus ekstra menjaga padinya.

Baca juga: Produksi padi di Aceh Utara capai 142,57 ribu ton

“Kalau walang sangit sukanya datang saat padi mulai berbuah. Padi yang sudah dimakan walang sangit akan memutih jadi gabuk (tanpa isi bulir). Sedangkan kalau hama burung biasanya datang saat padi mulai menguning,” ujarnya.

Kondisi ini diperparah ketika sebagian petani sudah selesai panen, maka hama akan migrasi mencari makanan di sawah lain yang masih hijau. Heri Ansyari termasuk petani yang terlambat tanam pada musim gadu atau melawan cuaca ini. Tak pelak padinya pun menjadi sasaran empuk segala jenis hama.

“Biasanya setiap musim gadu petani tidak serentak tanam tergantung ketersediaan air di sawah. Pada musim gadu tahun ini petani yang lebih awal panen produksi merosot karena padinya tidak begitu bagus sempat diserang hama,” kata Heri.

Suprapto (50), petani lainnya saat ini juga tengah intens mengantisipasi gangguan hama. Apalagi sawah di sekelilingnya sudah pada panen. Dia mengaku sudah menyemprotkan pestisida ke tanaman padi pagi dan sore.

“Hari ini yang paling parah menyerbu hama walang sangit. Selain itu hama burung biasanya sore hari datangnya. Kalau tidak ditanggulangi dari sekarang bisa tidak panen nanti,” ujar Suprapto.

Kepala Bidang Produksi dan Perlindungan Tanaman Pangan pada Distanbunak Aceh Tamiang Yunus menjelaskan faktor tidak serentak tanam padi di suatu areal persawahan bisa meningkatkan hama. Hama yang muncul bisa macam-macam mulai dari tikus, walang sangit, wereng ataupun burung.

“Karena tidak serentak tanam maka makanan hama terus tersedia. Hamanya akan pindah-pindah tempat. Umpamanya padi yang tua sudah habis walang sangit akan cari padi muda begitu juga burung. Ya, di seputaran situ saja lah dia (hama), yang kasihan petani yang terakhir panen,” jelas Yunus.

Untuk mengatasi hama walang sangit tersebut pihak dinas pertanian merespon akan mengutus tenaga mantri tani ke lokasi Desa Bukit Panjang 1 untuk mengecek dampaknya. Petani yang dirugikan juga bisa datang ke dinas langsung untuk diberi bantuan obat-obatan pembasmi hama.

“Kita akan kirim mantri tani didampingi petugas penyuluh pertanian untuk mengetahui apa kendala yang dihadapi petani. Kelompok taninya kemari pun boleh akan kita bantu sepanjang stok racun hama masih tersedia,” sebutnya.

Pihaknya mengimbau di tahun selanjutnya petani harus serentak tanam untuk meminimalisir gangguan hama baik saat musim rendengan maupun musim gadu. Selama ini, kata dia petani di Aceh Tamiang rata-rata hanya bisa tanam dua kali setahun. Mayoritas lahan sawahnya status tadah hujan tidak tersedia jaringan irigasi, kecuali di wilayah pesisir Banda Mulia sebagian sawah bisa tiga kali tanam setiap tahun.

 

Pewarta: Dede Harison

Editor : Heru Dwi Suryatmojo


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2022