Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh mendesak pemerintah meninjau dan menata ulang rencana alokasi lahan bagi mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), tapol/napol, dan korban konflik di Aceh.

"Banyak dari lahan yang akan dialokasikan tersebut berada di dalam kawasan hutan, yang menurut Walhi berpotensi menimbulkan masalah," kata Direktur Eksekutif Walhi Aceh, Ahmad Shalihin, di Banda Aceh, Jumat.

Dia menjelaskan, lahan yang dialokasikan untuk mantan kombatan GAM, tapol/napol, dan korban konflik ada yang terletak di kawasan hutan lindung dan sering kali tidak memiliki akses yang memadai serta berada di jalur migrasi satwa, terutama gajah.

"Kondisi ini membuat lahan tersebut sulit dimanfaatkan sebagai lahan pertanian, seperti yang direncanakan," ujarnya.

Temuan Walhi, salah satu area permohonan pelepasan kawasan hutan untuk tanah pertanian yang diusulkan di Aceh Timur seluas 22.695 ha untuk kombatan GAM dan korban konflik di antaranya berada pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Jambo Aye yang merupakan DAS dengan status “dipulihkan”.

Selain itu, menurut Shalihin, lahan yang telah dialokasikan sejauh ini belum sepenuhnya dimanfaatkan. Dari 5.000 hektare yang dialokasikan, baru 2.000 hektare yang digunakan, sementara sebagian lainnya berubah kepemilikan atau bahkan dijual ke perusahaan dengan harga murah.

"Dijual lagi dengan harga murah kadang hanya Rp3 juta," katanya.

Karena itu, Walhi mengusulkan agar pemerintah mempertimbangkan alternatif lain, seperti memanfaatkan Hak Guna Usaha (HGU) yang izinnya hampir habis.

"Lahan yang tidak digunakan oleh pemegang HGU bisa dikembalikan kepada negara dan dialokasikan untuk mantan kombatan," ujarnya.

Selain itu, ia juga menyarankan skema perhutanan sosial dan kebun plasma, di mana perusahaan berkewajiban mengalokasikan 20% lahannya untuk masyarakat sekitar, termasuk korban konflik dan mantan kombatan.

Dia menekankan pentingnya pemerintah tidak hanya membagikan lahan, tetapi juga memberikan dukungan pengetahuan dan akses modal agar penerima lahan mampu mengelolanya dengan baik.

"Kalau tahap awal ini saja belum dilakukan, sudah 19 tahun berlalu, kapan ini mau diselesaikan?," katanya.

Walhi juga menekankan perlunya penyusunan roadmap reintegrasi Aceh yang jelas, termasuk kriteria yang tepat untuk menentukan siapa yang berhak menerima lahan.

"Subjek dan objek yang dimaksud sebagai eks kombatan dan korban konflik perlu diperjelas, termasuk verifikasi ulang terhadap lahan yang diberikan," ucapnya.

Dirinya berharap isu ini menjadi prioritas bagi pemimpin Aceh di masa mendatang, baik di level provinsi maupun pemerintah pusat.

Dalam kesempatan ini, dia menyampaikan bahwa Walhi Aceh bersama organisasi masyarakat sipil lainnya telah menyusun policy brief yang berisikan rekomendasi tentang pengalokasian tanah pertanian kepada kombatan GAM, tapol/napol, dan korban konflik di Aceh.

"Rekomendasi sudah diserahkan Ketua DPRA, kalau pemerintah Aceh karena beberapa kali surat yang kita berikan belum direspon, mungkin nanti hanya kami mengirimkan dalam bentuk hardcopy-nya ke masing-masing instansi," jelasnya.

Mereka juga berencana menyerahkan rekomendasi kepada berbagai instansi, termasuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan Kantor Staf Presiden (KSP) untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan terkait alokasi lahan ini.

"Semangat kami bukan untuk menolak program ini, tetapi untuk memastikan bahwa program tersebut dilakukan secara manusiawi, aplikatif, dan partisipatif," tutup Shalihin.

Pewarta: Nurul Hasanah

Editor : M.Haris Setiady Agus


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2024