LSM Katahati Institute Aceh menolak pencabutan atau pembubaran Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh karena lembaga tersebut dinilai menjadi penjaga masa depan perdamaian Aceh.
"Karena KKR Aceh bukan hanya sekadar institusi, melainkan inti dari proses rekonsiliasi dan perdamaian yang lahir dari perjanjian damai MoU Helsinki dan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentag Pemerintahan Aceh (UUPA)," kata Manager Program Katahati Institute, Muhammad Fahry, di Banda Aceh, Jumat.
Sebelumnya, Kemendagri meminta Pemerintah Aceh mencabut Qanun (peraturan daerah) Nomor 17 Tahun 2013 tentang KKR lewat surat Ditjen Otda Nomor 100.2.1.6/9049/OTDA yang ditandatangani Plh Sekretaris Ditjen Otda Suryawan Hidayat.
Baca juga: Kemendagri: Pemerintah Aceh diminta cabut Qanun 17/2013 tentang KKR
Surat Ditjen Otda Kemendagri tersebut telah menimbulkan berbagai pendapat di kalangan masyarakat Aceh, dan menyatakan penolakan terhadap permintaan pencabutan lembaga KKR Aceh.
Fahry mengatakan, konstruksi hukum pembentukan KKR Aceh merupakan amanah UUPA, jadi tidak tepat jika Kemendagri meminta KKR Aceh dibubarkan hanya karena ketentuan hukum soal KKR nasional telah dicabut Mahkamah Konstitusi.
“Karena itu, peninjauan Kemendagri yang mengacu pada dasar hukum nasional yang sudah dicabut terkait KKR nasional itu tidak tepat sasaran," ujarnya.
Selain itu, Fahry juga meminta kepada pemerintah daerah dan parlemen Aceh ikut mendukung keberlanjutan KKR Aceh ini, dan tidak terpengaruh oleh wacana pembubaran tersebut.
Dirinya menuturkan, KKR Aceh memiliki tugas yang tidak hanya mengungkap kebenaran, tetapi juga memastikan
kesejahteraan korban, terutama mereka yang lanjut usia dan anak-anak korban.
Kemudian, KKR juga bertugas untuk memastikan akses terhadap pendidikan dan kesehatan. Apalagi, banyak korban yang masih membutuhkan dukungan, terutama
mereka masih rentan kesejahteraan.
Baca juga: LSM Paska: Pemerintah dan DPRA harus pertahankan lembaga KKR Aceh
Sejauh ini, tambah dia, upaya pemulihan bagi korban konflik di Aceh juga belum menyeluruh. Dalam beberapa kasus, seperti Simpang KKA, hanya sebagian kecil dari korban yang menerima pemulihan
"Karena itu, kita menyerukan untuk mendukung keberlangsungan KKR Aceh dan memperkuat perannya dalam menjaga perdamaian, keadilan, dan pemulihan bagi seluruh korban
pelanggaran HAM di Aceh," kata Fahry.
Sementara itu, korban sekaligus pegiat HAM, Nyak Murtala menegaskan keberadaan KKR Aceh yang independen adalah bentuk penghormatan terhadap keistimewaan Aceh, sekaligus upaya menghadirkan kebenaran dan keadilan bagi korban.
"KKR adalah jantung dari upaya penyelesaian pelanggaran HAM di Aceh," katanya.
Ia menambahkan, pembubaran KKR tidak hanya akan memupus harapan para korban, tetapi juga melemahkan kepercayaan masyarakat pada proses
penegakan HAM serta perdamaian yang telah dibangun selama ini.
"KKR adalah roh perjuangan korban untuk mendapatkan keadilan. Jika ini dicabut, maka akan menimbulkan
masalah besar ke depannya," demikian Nyak Murtala.
Sebagai informasi, berdasarkan surat Ditjen Otda Nomor 100.2.1.6/9049/OTDA yang ditandatangani Plh Sekretaris Ditjen Otda Suryawan Hidayat, menyarankan Pemerintah Aceh untuk mencabut Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013 tentang KKR, untuk kemudian berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
Hal itu disampaikan Suryawan merespons surat Plh Sekretaris Daerah Aceh Nomor:100.3/11557 tanggal 23 September 2024 perihal Permohonan Fasilitasi Rancangan Qanun Aceh tentang Perubahan Atas Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013 tentang KKR.
Kemendagri juga meminta agar fasilitasi rancangan Qanun tidak dilanjutkan pembahasannya.
Karena, berdasarkan ketentuan Pasal 229 ayat (2) UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) menyatakan KKR Aceh merupakan bagian tidak terpisahkan dengan KKR nasional yang telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi.
Selanjutnya, Kemendagri juga menyatakan terkait dengan pelaksanaan rekonsiliasi di Aceh dapat melalui Badan Rekonsiliasi Aceh (BRA) dan melakukan koordinasi kepada Kementerian Hak Asasi Manusia.
Baca juga: Elemen sipil serahkan 161 situs penyiksaan masa konflik Aceh ke KKR
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2024
"Karena KKR Aceh bukan hanya sekadar institusi, melainkan inti dari proses rekonsiliasi dan perdamaian yang lahir dari perjanjian damai MoU Helsinki dan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentag Pemerintahan Aceh (UUPA)," kata Manager Program Katahati Institute, Muhammad Fahry, di Banda Aceh, Jumat.
Sebelumnya, Kemendagri meminta Pemerintah Aceh mencabut Qanun (peraturan daerah) Nomor 17 Tahun 2013 tentang KKR lewat surat Ditjen Otda Nomor 100.2.1.6/9049/OTDA yang ditandatangani Plh Sekretaris Ditjen Otda Suryawan Hidayat.
Baca juga: Kemendagri: Pemerintah Aceh diminta cabut Qanun 17/2013 tentang KKR
Surat Ditjen Otda Kemendagri tersebut telah menimbulkan berbagai pendapat di kalangan masyarakat Aceh, dan menyatakan penolakan terhadap permintaan pencabutan lembaga KKR Aceh.
Fahry mengatakan, konstruksi hukum pembentukan KKR Aceh merupakan amanah UUPA, jadi tidak tepat jika Kemendagri meminta KKR Aceh dibubarkan hanya karena ketentuan hukum soal KKR nasional telah dicabut Mahkamah Konstitusi.
“Karena itu, peninjauan Kemendagri yang mengacu pada dasar hukum nasional yang sudah dicabut terkait KKR nasional itu tidak tepat sasaran," ujarnya.
Selain itu, Fahry juga meminta kepada pemerintah daerah dan parlemen Aceh ikut mendukung keberlanjutan KKR Aceh ini, dan tidak terpengaruh oleh wacana pembubaran tersebut.
Dirinya menuturkan, KKR Aceh memiliki tugas yang tidak hanya mengungkap kebenaran, tetapi juga memastikan
kesejahteraan korban, terutama mereka yang lanjut usia dan anak-anak korban.
Kemudian, KKR juga bertugas untuk memastikan akses terhadap pendidikan dan kesehatan. Apalagi, banyak korban yang masih membutuhkan dukungan, terutama
mereka masih rentan kesejahteraan.
Baca juga: LSM Paska: Pemerintah dan DPRA harus pertahankan lembaga KKR Aceh
Sejauh ini, tambah dia, upaya pemulihan bagi korban konflik di Aceh juga belum menyeluruh. Dalam beberapa kasus, seperti Simpang KKA, hanya sebagian kecil dari korban yang menerima pemulihan
"Karena itu, kita menyerukan untuk mendukung keberlangsungan KKR Aceh dan memperkuat perannya dalam menjaga perdamaian, keadilan, dan pemulihan bagi seluruh korban
pelanggaran HAM di Aceh," kata Fahry.
Sementara itu, korban sekaligus pegiat HAM, Nyak Murtala menegaskan keberadaan KKR Aceh yang independen adalah bentuk penghormatan terhadap keistimewaan Aceh, sekaligus upaya menghadirkan kebenaran dan keadilan bagi korban.
"KKR adalah jantung dari upaya penyelesaian pelanggaran HAM di Aceh," katanya.
Ia menambahkan, pembubaran KKR tidak hanya akan memupus harapan para korban, tetapi juga melemahkan kepercayaan masyarakat pada proses
penegakan HAM serta perdamaian yang telah dibangun selama ini.
"KKR adalah roh perjuangan korban untuk mendapatkan keadilan. Jika ini dicabut, maka akan menimbulkan
masalah besar ke depannya," demikian Nyak Murtala.
Sebagai informasi, berdasarkan surat Ditjen Otda Nomor 100.2.1.6/9049/OTDA yang ditandatangani Plh Sekretaris Ditjen Otda Suryawan Hidayat, menyarankan Pemerintah Aceh untuk mencabut Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013 tentang KKR, untuk kemudian berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
Hal itu disampaikan Suryawan merespons surat Plh Sekretaris Daerah Aceh Nomor:100.3/11557 tanggal 23 September 2024 perihal Permohonan Fasilitasi Rancangan Qanun Aceh tentang Perubahan Atas Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013 tentang KKR.
Kemendagri juga meminta agar fasilitasi rancangan Qanun tidak dilanjutkan pembahasannya.
Karena, berdasarkan ketentuan Pasal 229 ayat (2) UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) menyatakan KKR Aceh merupakan bagian tidak terpisahkan dengan KKR nasional yang telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi.
Selanjutnya, Kemendagri juga menyatakan terkait dengan pelaksanaan rekonsiliasi di Aceh dapat melalui Badan Rekonsiliasi Aceh (BRA) dan melakukan koordinasi kepada Kementerian Hak Asasi Manusia.
Organisasi Masyarakat Sipil nilai pembubaran KKR Aceh kurang tepat
Baca juga: Elemen sipil serahkan 161 situs penyiksaan masa konflik Aceh ke KKR
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2024