Ekolog dan Konservasionis dari New Zealand, Mike Griffiths menyatakan bahwa keanekaragaman hayati hutan Aceh memiliki nilai ekonomi yang sangat besar mencapai Rp12 triliun per tahun.

“Hutan di Aceh memiliki keanekaragaman hayati yang banyak, nilai ekonomisnya bisa mencapai Rp12 triliun per tahun, sedangkan kerugian kalau semua lowland forest (hutan dataran rendah) hilang itu mencapai Rp3,8 triliun per tahun,” kata Mike Griffiths, di Banda Aceh, Selasa.

Pernyataan itu disampaikan Mike Griffiths saat menjadi pembicara tamu pada seminar Internasional Pekan Raya Leuser di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh. 

Mike mengatakan, hutan Aceh terutama di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) memiliki keanekaragaman hayati yang sangat kaya dibandingkan hutan di negara lain seperti Amerika. 

Baca: Akademisi: Jaga kualitas hutan untuk cegah banjir di Aceh

Berdasarkan temuannya, setiap hektare hutan di KEL terdapat 300 spesies pohon dan 40.000 lebih spesies jenis serangga mulai dari berukuran kecil hingga besar. 

“Ini baru per hektare, kalau hutan di negara lain seperti Amerika mungkin per hektare nya hanya terdapat sekitar belasan pohon dan serangga,” ujarnya.

Sejumlah ranger atau penjaga hutan berpatroli perlindungan satwa liar di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) Stasiun Penelitian Soraya, Kota Subulussalam, Aceh (ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas)

Dirinya menggarisbawahi bahwa hutan Aceh adalah salah satu aset terpenting yang sangat berpotensi untuk pembangunan ekonomi. Besarnya potensi tersebut dapat dirasakan jika kelestarian hutan tetap terjaga. 

"Keanekaragaman hayati ini adalah anugerah yang luar biasa. Jika dikelola dengan baik, Aceh bisa menjadi contoh global dalam konservasi dan pemanfaatan ekonomi hutan," katanya.

Namun, Mike menyayangkan potensi besar ini belum sepenuhnya disadari oleh Pemerintah Aceh. 

Baca: Menteri LHK klaim Karhutla dan deforestasi menurun drastis


Ia juga menyoroti berkurangnya tutupan hutan Aceh akibat fragmentasi pembangunan jalan di kawasan hutan yang turut mengancam keberlangsungan hidup satwa-satwa kecil dan berkontribusi pada kepunahan.

“Ketika dibangun jalan, maka akan muncul perkebunan, permukiman, dan mudahnya terjadi illegal logging. Ketika adanya fragmentasi tersebut, maka satwa-satwa kecil akan punah,” kata Mike Griffiths.

Sementara itu, Senior Advisor Forum Konservasi Leuser, Rudi Putra, menyampaikan, aktivitas perambahan hutan masih terus berlangsung di KEL. Dalam 53 tahun terakhir, kehilangan hutan di Leuser seluas 423.524 hektare.

“Ini setara dua kali luas Kabupaten Aceh Tamiang dan enam kali luas Singapura,” kata Rudi. 

Senada dengan Mike, Rudi berpendapat bahwa kehilangan tutupan hutan di kawasan Leuser disebabkan pembangunan jalan yang memicu aktivitas deforestasi dan perburuan satwa liar.

Baca: Aceh Selatan kembangan Tahura Trumon jadi pusat penelitian flora fauna

“Musuh besar konservasionis adalah pembukaan lahan yang mempermudah perambah mengakses hutan sekaligus berburu satwa yang dilindungi,” katanya.

Dirinya juga menuturkan, kehilangan tutupan hutan ini telah berdampak besar terhadap lingkungan dan masyarakat. Artinya, ikut berkontribusi pada meningkatnya intensitas banjir.

“Dampak kehilangan hutan membuat banjir terjadi lebih sering. Aceh tidak akan bisa maju jika banjir terus terjadi, karena biaya pemulihan jauh lebih besar. Akibatnya, banyak penduduk jatuh ke jurang kemiskinan. Berapa banyak orang yang menjadi miskin karena bencana,” ujarnya.

Dalam kesempatan ini, Rudi juga mengingatkan pemerintah terhadap pentingnya menjaga kelestarian Leuser. Karena hutan itu dapat menjadi kunci kesejahteraan masyarakat Aceh.

“Leuser adalah harapan terakhir untuk konservasi. Dengan hutan yang masih luas ini, kita yakin masyarakat dapat sejahtera,” demikian Rudi Putra.

Baca: Lembaga konservasi kampanyekan penyelamatan SM Rawa Singkil
 

Pewarta: Nurul Hasanah

Editor : M.Haris Setiady Agus


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2024