Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh, melaporkan penyalahgunaan sertifikat redistribusi tanah ke Ketua Badan Aspirasi Masyarakat (BAM) DPR RI Ahmad Heryawan, karena mengakibatkan konflik agraria antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan di daerahnya.

“Konflik agraria di Subulussalam bukan hanya persoalan masyarakat versus perusahaan, tetapi juga melibatkan praktik mafia tanah yang sistematis,” kata Walikota Subulussalam Rasyid Bancin dalam keterangan diterima di Aceh Barat, Rabu.

Rasyid Bancin secara terbuka memaparkan problematika pelik agraria yang selama ini membelit masyarakat Subulussalam. 

Menurutnya, pengurusan sertipikat tanah yang seharusnya menjadi hak dasar warga kerap terhambat dan memakan waktu hingga bertahun-tahun tanpa kepastian di kantor pertanahan setempat.

Baca: BPN serahkan 41 sertifikat PTSL untuk warga Abdya

“Ada masyarakat yang sampai bertahun-tahun tidak kunjung menerima sertipikat tanah mereka, padahal semua syarat sudah dipenuhi,” kata pria yang akrab disapa HRB ini.

Kondisi tersebut, menurutnya, sangat kontras dengan kemudahan yang justru dinikmati pihak korporasi atau pemodal besar. Ia menyoroti praktik pemberian Sertipikat Hak Milik (SHM) untuk lahan ribuan hektare yang diduga berasal dari program redistribusi tanah.

 “Ada indikasi lahan yang menggunakan dana negara justru beralih ke tangan korporasi dengan status SHM. Ini tidak adil bagi masyarakat kecil,” ujarnya.


Pemerintah Kota Subulussalam berharap persoalan ini tidak boleh dibiarkan berlarut dan meminta DPR RI melalui Badan Aspirasi Masyarakat (BAM) dapat meneruskan aspirasi ini langsung kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).

Pihaknya berharap DPR RI bisa merekomendasikan agar Menteri ATR/BPN mengevaluasi dan mereformasi total kinerja pegawai Kantor Pertanahan Subulussalam, Aceh.

“Reformasi menyeluruh perlu dilakukan agar pelayanan benar-benar berpihak kepada rakyat, bukan hanya pemodal besar,” katanya.

Selain itu, Rasyid Bancin menyoroti praktik penguasaan lahan oleh PT SPT yang diduga memanfaatkan Sertifikat Hak Milik (SHM) hasil redistribusi tanah melalui mekanisme menyimpang dari hukum. 

Baca: Jaksa tuntut terdakwa korupsi pertanahan Aceh Jaya 10,5 tahun penjara

Selain itu, ia juga mengungkap pencaplokan lahan seluas 125 hektare oleh PT LB, yang dituding melakukan penguasaan ilegal melalui proses enclaving dalam perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU).

Pemko Subulussalam Aceh juga menguraikan konflik lain yang melibatkan PT MSSB yaitu dua desa administratif milik Pemko Subulussalam, yakni Desa Geruguh dan Kuala Keupeng, dilaporkan tercaplok ke dalam konsesi perusahaan tersebut. 

Akibatnya, masyarakat di dua desa tersebut kehilangan hak untuk mensertifikatkan tanah mereka karena statusnya masih terikat dalam HGU MSSB. 


Kondisi ini, kata dia, tidak hanya menghambat pembangunan desa, tetapi juga mengakibatkan kerugian ekonomi dan sosial bagi warga yang tanahnya secara de facto mereka kuasai turun-temurun.

“Konflik ini sudah berlangsung lama dan berlarut-larut. Masyarakat menjadi korban, sementara perusahaan seolah kebal terhadap aturan,” katanya.

Dia mengatakan Pemko Subulussalam Aceh tidak cukup kuat menghadapi korporasi besar tanpa dukungan politik dan kebijakan dari DPR-RI.

Baca: Hakim banding perberat hukuman perkara korupsi pertanahan di Aceh Jaya

Sebagai tindak lanjut, HRB secara khusus mengundang BAM DPR-RI untuk melakukan kunjungan kerja langsung ke Subulussalam. 

Menurutnya, langkah itu penting agar para anggota dewan dapat melihat secara nyata kondisi di lapangan serta mendengar langsung suara masyarakat.

“Kami berharap keterlibatan BAM tidak berhenti di forum ini saja, tetapi berlanjut pada aksi nyata demi keadilan agraria di Subulussalam,” tegasnya.

Pewarta: Teuku Dedi Iskandar

Editor : M.Haris Setiady Agus


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2025