Turki dan Rusia pada Jumat mengecam keputusan AS mengenai Dataran Tinggi Golan, dan mengatakan itu melanggar hukum internasional.
"Kami dengan tegas tidak mengakui keputusan semacam itu dan tandatangan semacam itu (Presiden AS Donald Trump) sebab itu bertentangan dengan hukum internasional dan resolusi PBB. Ini adalah wilayah Suriah," kata Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu dalam satu taklimat di Provinsi Laut Tengah Antalya, sebagaimana dikutip Kantor Berita Anadolu --yang dipantau Antara di Jakarta, Jumat malam.
Pernyataan Cavusoglu dikeluarkan setelah Pertemuan Kelompok Perencana Strategis Gabungan Turki-Rusia Ke-7. Dalam pertemuan itu, menteri luar negeri Turki membahas hubungan bilateral serta perkembangan regional dan internasional saat ini dengan timpalannya dari Rusia Sergey Lavrov.
Cavusoglu mengatakan keputusan AS tidak memberi sumbangan bagi kestabilan dan perdamaian regional. Ia menambahkan, "Sebaliknya, itu menciptakan kerusuhan dan kekacauan di wilayah tersebut."
Sementara itu Lavrov mengatakan Rusia juga tidak mengakui keputusan tersebut dan mengatakan, "Ini bertentangan dengan hukum internasional. Semua jenis hukum internasional dilanggar dan dihancurkan."
Pada Senin (26/3), Trump menandatangani pengumuman presiden yang secara resmi "mengakui Dataran Tinggi Golan sebagai wilayah Israel".
Israel menduduki sebanyak dua-pertiga Dataran Tinggi Golan sebagai de fakto akibat konflik. Israel secara resmi mencaplok wilayah tersebut pada 1981 --tindakan yang dengan suara bulat ditolak pada saat itu oleh Dewan Keamanan PBB.
Israel telah lama mendorong Washington agar mengakui klaimnya atas Dataran Tinggi Golan --yang direbutnya dari Suriah dalam Perang Timur Tengah 1967.
Turki, Rusia, China, Jerman dan negara lain sudah menentang tindakan yang paling kontroversial Washington dalam beberapa tahun belakangan.
Cavusoglu juga mengatakan Ankara senang dengan peningkatan hubungan bilateral dengan Moskow. Ia menambahkan, "Hubungan kami meningkat di setiap bidang mulai dari ekonomi sampai kebudayaan. Kami mewujudkan proyek yang sangat penting."
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2019
"Kami dengan tegas tidak mengakui keputusan semacam itu dan tandatangan semacam itu (Presiden AS Donald Trump) sebab itu bertentangan dengan hukum internasional dan resolusi PBB. Ini adalah wilayah Suriah," kata Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu dalam satu taklimat di Provinsi Laut Tengah Antalya, sebagaimana dikutip Kantor Berita Anadolu --yang dipantau Antara di Jakarta, Jumat malam.
Pernyataan Cavusoglu dikeluarkan setelah Pertemuan Kelompok Perencana Strategis Gabungan Turki-Rusia Ke-7. Dalam pertemuan itu, menteri luar negeri Turki membahas hubungan bilateral serta perkembangan regional dan internasional saat ini dengan timpalannya dari Rusia Sergey Lavrov.
Cavusoglu mengatakan keputusan AS tidak memberi sumbangan bagi kestabilan dan perdamaian regional. Ia menambahkan, "Sebaliknya, itu menciptakan kerusuhan dan kekacauan di wilayah tersebut."
Sementara itu Lavrov mengatakan Rusia juga tidak mengakui keputusan tersebut dan mengatakan, "Ini bertentangan dengan hukum internasional. Semua jenis hukum internasional dilanggar dan dihancurkan."
Pada Senin (26/3), Trump menandatangani pengumuman presiden yang secara resmi "mengakui Dataran Tinggi Golan sebagai wilayah Israel".
Israel menduduki sebanyak dua-pertiga Dataran Tinggi Golan sebagai de fakto akibat konflik. Israel secara resmi mencaplok wilayah tersebut pada 1981 --tindakan yang dengan suara bulat ditolak pada saat itu oleh Dewan Keamanan PBB.
Israel telah lama mendorong Washington agar mengakui klaimnya atas Dataran Tinggi Golan --yang direbutnya dari Suriah dalam Perang Timur Tengah 1967.
Turki, Rusia, China, Jerman dan negara lain sudah menentang tindakan yang paling kontroversial Washington dalam beberapa tahun belakangan.
Cavusoglu juga mengatakan Ankara senang dengan peningkatan hubungan bilateral dengan Moskow. Ia menambahkan, "Hubungan kami meningkat di setiap bidang mulai dari ekonomi sampai kebudayaan. Kami mewujudkan proyek yang sangat penting."
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2019