A. Taleb Rahman (68), salah satu korban konflik asal Aceh Timur yang kini menetap di Gampong (Desa) Meuraksa, Kecamatan Kembang Tanjung, Kabupaten Pidie, mengharapkan pemerintah membantu modal usaha.

“Saya salah satu korban konflik yang dinyatakan cacat seumur hidup, tetapi tidak tahu cara mengurus permohonan bantuan, sehingga belum mendapatkannya,” kata A. Taleb Rahman ditemui di sebuah warung kopi di Kabupaten Aceh Timur, Minggu (21/4).

Kakek Taleb saat ini bekerja sebagai pencari ikan di sungai untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Dia tidak bisa lagi bekerja berat usai tangannya patah dianiaya saat konflik masih berkecamuk.

Atas dasar itu, eks korban konflik ini meminta perhatian pemerintah dalam bentuk pemberdayaan ekonomi agar bisa mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Karena selain sudah tua, juga tidak bisa bekerja berat.

Kakek empat cucu ini masih ingat betul bagaimana dirinya dijemput paksa oleh sekelompok pria bersenjata pada sebuah malam di bulan Juli 2002. Dia dituduh bekerja sebagai mata-mata untuk pihak musuh.

"Saya dituduh sebagai mata-mata, sehingga saya dipukul hingga pingsan dan tangan saya juga patah. Padahal saya hanya warga biasa yang saat itu bekerja sebagai pedagang ikan," kata ayah tiga anak ini.

Malam nahas itu, kisahnya, sang kakek dianiaya dengan sangat brutal di depan rumahnya di Gampong Blang, Kecamatan Simpang Ulim, Kabupaten Aceh Timur, sebelum akhirnya dia dibawa ke sebuah tempat hingga beberapa hari.

Akibat penganiayaan tersebut, tangan kanan korban patah hingga akhirnya dinyatakan cacat seumur hidup. Itu diperkuat oleh surat dari pemerintahan gampong dan sebuah forum peduli hak asasi manusia, yang masih ia simpan.

Selain tangan, bagian dalam tubuh sang kakek juga alami sakit berat, baik di bagian dada maupun di bagian perut.

Usai dibebaskan, kakek ini berobat di sebuah rumah sakit di Kota Langsa, sebelum akhirnya berobat ke Medan, Sumatera Utara hingga satu bulan lebih.

Setelah berobat di Medan, korban tidak lagi pulang atau menetap di rumahnya di Gampong Blang, Kecamatan Simpang Ulim, Aceh Timur, karena trauma. Ia kemudian memilih menetap di kampung halaman istrinya di Pidie hingga sekarang.

Dalam dua hari terakhir, A. Taleb Rahman pulang ke Aceh Timur untuk mengadu ke sebuah lembaga sosial agar membantunya memfasilitasi mengurusi proposal bantuan untuk diajukan ke Badan Reintegrasi Aceh (BRA).

Sementara Saiful Bahri (35), warga Gampong Blang, Kecamatan Simpang Ulim, Aceh Timur, membenarkan dan mengetahui bahwa korban pernah dianiaya saat masa konflik Aceh.

“Saya tidak melihat kejadian itu, tetapi saya mengetahui bahwa korban pernah dianiaya dan dibawa hingga beberapa hari, karena rumah saya dan rumah beliau tetangga,” katanya.

Ketua Lembaga Acheh Future Razali Yusuf mengatakan, A. Taleb Rahman adalah salah satu korban konflik menderita fisik yang mengadu kepada lembaganya. Meski demikian, dia mengaku terlebih dulu mencocokan data korban.

“Jika data sudah valid, maka kami akan membantu membuat proposal secara gratis untuk diajukan permohonan bantuan ke BRA. Harapan kami agar dibantu modal usaha, intinya untuk pemberdayaan ekonomi bagi korban,” kata Razali.

Razali menyebutkan, jika bantuan ini nantinya disalurkan oleh BRA tentu saja tidak akan cukup untuk membayar kesedihan korban yang tertindas pada masa-masa sulit itu. Tetapi bantuan ini setidaknya dapat meringankan beban mereka guna memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.

Ketua lembaga itu juga mengatakan, selama kurun waktu dua bulan terakhir pihaknya sudah menerima 38 aduan para korban konflik dengan kasus berbeda-beda.

Pewarta: Zubir

Editor : Heru Dwi Suryatmojo


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2019