Jakarta, 11/3 (Antaraaceh) - Inspektur Jenderal Kementerian Agama (Kemenag) M. Jasin menyelaraskan program kerja jajarannya dengan komisi pemberantasan korupsi (KPK), khususnya terkait penerimaan gratifikasi, pelaporan dugaan penyimpangan penggunaan dana APBN di lingkungan kementerian, dan pojok warung kejujuran.
"Semuanya dikemas dalam lima program yang bertujuan agar jajaran Kemenag taat hukum, mengedepankan kejujuran dan tidak menerima gratifikasi," katanya kepada pers di Jakarta, Selasa.
Kelima program tersebut adalah Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG), Whistle Blower System (WBS), Unit Pengelolaan LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara, Buletin ItjenNews, dan Pojok Warung Kejujuran (PWK).
Kelima program tersebut diluncurkan oleh Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar. Acara peluncuran dihadiri Sekjen Kemenag Bahrul Hayat, Dirjen Bimas Islam Abdul Djamil, Dirjen Pendidikan Islam Nur syam, Dirjen Bimas Buddha Jowo Wuriyanto, Direktur Pendidikan dan Pelayanan KPK Dedi Rachim dan sejumlah pejabat kementerian tersebut.
M. Jasin menjelaskan tidak mustahil dewasa ini penyelenggara negara "dipancing" untuk menerima gratifikasi. Pemberi berusaha dengan berbagai cara, bisa lewat isterinya di rumah atau melalui pembantu pun tidak menutup kemungkinan untuk itu.
"Kami mengimbau, tolak gratifikasi, tapi jika mendapat kiriman dari tetangga berupa makanan dari tetangga sekedar untuk mempererat silaturahim, itu harus diterima. Dengan kata lain, pejabat penyelenggara negara harus bisa memahami kriteria dalam bentuk gratifikasi atau bukan," katanya.
Demikian juga tentang kehadiran "Whistle Blower System" (WBS). Kehadiran WBS itu dimaksudkan untuk mencegah pegawai di lingkungan kementerian tersebut dari perbuatan tercela, misal ada indikasi penyelewengan keuangan dan dilaporkan kepada pihak Irjen.
WBS juga untuk mendorong karyawan berani melaporkan indikasi adanya penyalahgunaan jabatan, sehingga pejabat bersangkutan terhindar dari perbuatan korupsi.
Namun, ia meyakini kehadiran WBC tidak memunculkan fitnah sejauh pelapor dapat memahami kriteria penyalahgunaan wewenang. "Jadi, pihak Irjen pun dari laporan yang ada akan melakukan verifikasi. Tidak langsung menghukum orang yang diindikasikan melakukan korupsi," katanya.
Terkait dengan laporan harta penyelenggara negara, menurut dia, kepatuhannya harus dipantau terus, terutama mulai eselon III ke atas, laporan harta kekayaannya dipantau secara berkelanjutan dari tahun ke tahun.
Kehadiran buletinnewsIrjen, lanjut dia, dimaksudkan untuk mempublikasikan seluruh aktivitas Irjen. Apa dan bagaimana kerja Irjen ke depan harus dapat diketahui oleh masyarakat.
"Hal ini menjadi penting, karena akibat masyarakat tidak tahu apa yang diperbuat lantas publik menilai jajaran kementerian itu tidak berbuat apa-apa," katanya.
Hal itu terlihat dari pernyataan Direktur Pendidikan dan Pelayanan KPK Dedi Rachim. Ia menyebut bahwa pihaknya sudah bekerja sama dengan jajaran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sedangkan Kementerian Agama belum menunjukan upaya signifikan dalam pemberantasan korupsi.
"Itu terjadi karena kurangnya sosialisasi dari seluruh aktivitas kementerian. Padahal, di sejumlah lembaga pendidikan agama, termasuk madrasah dan pondok pesantren, sudah digiatkan pengajaran antikorupsi, termasuk di lembaga pendidikan tinggi keagamaan sudah berlangsung hingga kini. "Kita sudah melangkah jauh," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2014
"Semuanya dikemas dalam lima program yang bertujuan agar jajaran Kemenag taat hukum, mengedepankan kejujuran dan tidak menerima gratifikasi," katanya kepada pers di Jakarta, Selasa.
Kelima program tersebut adalah Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG), Whistle Blower System (WBS), Unit Pengelolaan LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara, Buletin ItjenNews, dan Pojok Warung Kejujuran (PWK).
Kelima program tersebut diluncurkan oleh Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar. Acara peluncuran dihadiri Sekjen Kemenag Bahrul Hayat, Dirjen Bimas Islam Abdul Djamil, Dirjen Pendidikan Islam Nur syam, Dirjen Bimas Buddha Jowo Wuriyanto, Direktur Pendidikan dan Pelayanan KPK Dedi Rachim dan sejumlah pejabat kementerian tersebut.
M. Jasin menjelaskan tidak mustahil dewasa ini penyelenggara negara "dipancing" untuk menerima gratifikasi. Pemberi berusaha dengan berbagai cara, bisa lewat isterinya di rumah atau melalui pembantu pun tidak menutup kemungkinan untuk itu.
"Kami mengimbau, tolak gratifikasi, tapi jika mendapat kiriman dari tetangga berupa makanan dari tetangga sekedar untuk mempererat silaturahim, itu harus diterima. Dengan kata lain, pejabat penyelenggara negara harus bisa memahami kriteria dalam bentuk gratifikasi atau bukan," katanya.
Demikian juga tentang kehadiran "Whistle Blower System" (WBS). Kehadiran WBS itu dimaksudkan untuk mencegah pegawai di lingkungan kementerian tersebut dari perbuatan tercela, misal ada indikasi penyelewengan keuangan dan dilaporkan kepada pihak Irjen.
WBS juga untuk mendorong karyawan berani melaporkan indikasi adanya penyalahgunaan jabatan, sehingga pejabat bersangkutan terhindar dari perbuatan korupsi.
Namun, ia meyakini kehadiran WBC tidak memunculkan fitnah sejauh pelapor dapat memahami kriteria penyalahgunaan wewenang. "Jadi, pihak Irjen pun dari laporan yang ada akan melakukan verifikasi. Tidak langsung menghukum orang yang diindikasikan melakukan korupsi," katanya.
Terkait dengan laporan harta penyelenggara negara, menurut dia, kepatuhannya harus dipantau terus, terutama mulai eselon III ke atas, laporan harta kekayaannya dipantau secara berkelanjutan dari tahun ke tahun.
Kehadiran buletinnewsIrjen, lanjut dia, dimaksudkan untuk mempublikasikan seluruh aktivitas Irjen. Apa dan bagaimana kerja Irjen ke depan harus dapat diketahui oleh masyarakat.
"Hal ini menjadi penting, karena akibat masyarakat tidak tahu apa yang diperbuat lantas publik menilai jajaran kementerian itu tidak berbuat apa-apa," katanya.
Hal itu terlihat dari pernyataan Direktur Pendidikan dan Pelayanan KPK Dedi Rachim. Ia menyebut bahwa pihaknya sudah bekerja sama dengan jajaran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sedangkan Kementerian Agama belum menunjukan upaya signifikan dalam pemberantasan korupsi.
"Itu terjadi karena kurangnya sosialisasi dari seluruh aktivitas kementerian. Padahal, di sejumlah lembaga pendidikan agama, termasuk madrasah dan pondok pesantren, sudah digiatkan pengajaran antikorupsi, termasuk di lembaga pendidikan tinggi keagamaan sudah berlangsung hingga kini. "Kita sudah melangkah jauh," katanya.
Editor : Salahuddin Wahid
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2014