Beijing (ANTARA) - Nama Sinovac Biotech Ltd dalam dua tahun terakhir terus melambung secara global seiring dengan tingginya permintaan masyarakat dunia akan vaksin COVID-19.
Sinovac juga populer di Indonesia karena program nasional vaksinasi COVID-19 mayoritas menggunakan CoronaVac yang diproduksi oleh perusahaan yang berkantor pusat di Distrik Haidian, Beijing, itu.
Bagi Sinovac, Indonesia adalah mitra terpentingnya karena negara kepulauan berpenduduk sekitar 260 juta jiwa ini telah menjadi tujuan pertama ekspor CoronaVac.
Apalagi, Presiden Joko Widodo mengawali program vaksinasi itu dengan suntikan CoronaVac di lengannya, makin yakinlah masyarakat Indonesia untuk menggunakan vaksin buatan Sinovac itu.
Dari Indonesia pula, Sinovac mendapatkan sertifikat halal. Meski beberapa negara Islam lainnya tidak pernah meminta, namun sertifikat halal yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) menambah keyakinan beberapa negara lain yang mayoritas penduduknya beragam Islam.
Hal itu bukan basa-basi, namun diakui sendiri oleh seorang pejabat Sinovac saat bertemu dengan ANTARA di Beijing pada 19 Oktober 2021.
Lalu di Indonesia juga, hasil uji coba vaksin yang dikembangkan Sinovac pada akhir 2019 menunjukkan efikasi tertinggi dibandingkan dengan di negara-negara lain.
Dari 128.290 tenaga kesehatan di Indonesia yang menjadi tenaga sukarelawan uji coba vaksin Sinovac, 94 persen menunjukkan kekebalan dari infeksi COVID-19.
Efikasi itu tertinggi dibandingkan dengan uji coba serupa yang dilakukan Sinovac di Chile (66 persen), Brazil (84 persen), dan Turki (84 persen), sebagaimana laporan yang dilansir The Lancet.
Namun sayangnya, di balik popularitas Sinovac yang mendunia, tidak banyak yang tahu tentang sosok Yin Weidong. Padahal pria berusia 58 tahun yang mengawali kariernya sebagai dokter di Kota Tangshan, Provinsi Hebei, itu adalah pendiri sekaligus CEO Sinovac.
Dia memang tidak sepopuler Prof Zhong Nanshan, ahli kesehatan terkemuka China di bidang saluran pernapasan, yang meletakkan dasar-dasar mitigasi, pencegahan, dan pengendalian COVID-19 yang kemudian dikenal dengan protokol kesehatan anti-pandemi seperti sekarang ini.
Foto Yin pun tidak banyak ditemukan di tempat-tempat umum di China seperti Prof Zhong atau bahkan Jack Ma saat masih tenar-tenarnya dulu, yang kata-katanya dikutip di mana-mana.
Penampilan Yin juga terlihat biasa saja. Bahkan di lingkungan perusahaannya, dia juga tidak terlihat menonjolkan diri. Terkait jabatannya sebagai pendiri, Presiden Direktur, dan CEO Sinovac, Yin mendapatkan total kompensasi sebesar 105.632 dolar AS (sekitar Rp1,5 miliar).
Tidak ada jabatan lain di jajaran eksekutif Sinovac Biotech yang dibayar lebih dari kompensasi Yin.
Di tengah kesibukannya memimpin perusahaan vaksin berkelas dunia, peneliti dan ahli virus yang menggondol gelar EMBA dari National University of Singapore itu masih terus menyalurkan hobinya menulis kaligrafi Mandarin.
Beberapa karya kaligrafi hasil sentuhan tangannya bertebaran di kantor lamanya di Distrik Haidian dan tentu saja di kantor barunya di Distrik Daxing.
"Ini salah satu karya saya," kata Yin menunjuk kaligrafi yang terpasang di dinding salah satu ruang VIP kantor Sinovac di Distrik Daxing, Beijing, Selasa (18/1).
Di ruang itulah Yin mengadakan jamuan makan siang bersama Duta Besar RI untuk China Djauhari Oratmangun beserta istri dan jajaran pejabat Kedutaan Besar RI di Beijing.
Dambakan Bali
"Kami telah melakukan pembicaraan dengan institusi di bawah Kementerian Koordinator di Indonesia terkait perkembangan kasus Omicron," kata Yin saat menyambut kedatangan Dubes dan rombongan pada Selasa pagi itu.
Hasil pembicaraan tersebut, lanjut dia, akan menjadi dasar penelitian dalam pengembangan produk-produk terbarunya.
Sejak berdiri pada tahun 1993, Sinovac telah banyak mengembangkan beberapa vaksin, termasuk vaksin SARS yang dikembangkan dengan menggunakan metode inaktif, sama dengan CoronaVac.
Kepada Dubes, dia melaporkan telah mengirimkan 280 juta dosis vaksin COVID-19 yang diproduksi Sinovac selama periode 2020-2021.
Begitulah basa-basi singkat sebelum kunjungan ke ruang produksi yang dilanjutkan dengan makan siang bersama di ruang VIP kompleks kantor barunya di Daxing yang mampu memproduksi 4 miliar dosis vaksin COVID-19 per tahun.
Suasana di ruang VIP itu lebih mencair dan justru lebih banyak pembicaraan yang disertai dengan derai tawa.
Apalagi ketika Yin dan Dubes menceritakan pengalamannya saat menjalani karantina bersama di Yunnan setelah kunjungan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi, dan Menteri BUMN Erick Thohir menjelang akhir 2020 lalu. Para menteri tersebut bertemu Menteri Luar Negeri China Wang Yi dan jajaran pejabat lainnya.
China menerapkan aturan wajib karantina bagi siapa pun yang baru datang dari luar negeri. Para pejabat asing yang melakukan pertemuan dengan pejabat China mendapatkan pengecualian dari kewajiban itu. Bahkan seusai pertemuan, para pejabat asing sudah diperbolehkan langsung meninggalkan China.
Hanya saja, para pihak yang berada di China yang terlibat dalam pertemuan tersebut harus dikarantina selama 14 hari sebelum kembali ke Beijing atau melakukan aktivitas harian lainnya. Nah, Dubes Djauhari dan Yin ini termasuk di antara mereka yang menjadi "sandera karantina" dari kunjungan para menteri tersebut.
Di sela-sela makan siang itu, dia utarakan komitmennya untuk bisa membantu meningkatkan taraf kesehatan masyarakat Indonesia. Demikian juga cita-citanya kepada dunia.
"Prioritas utama kami bukanlah uang dalam mengembangkan vaksin COVID-19 ini, (tapi) bagaimana agar masyarakat dunia bisa hidup sehat," ujarnya.
Pemikiran Yin sejalan dengan komitmen pimpinan pemerintahan China untuk menjadikan vaksin COVID-19 sebagai komoditas umum yang dibebaskan dari kewajiban membayar hak paten atas pengembangan atau penemuan sebuah rekayasa teknologi baru.
Sama halnya dengan harapan para pemimpin di negaranya, Yin juga menginginkan vaksin yang dikembangkannya mudah diakses oleh masyarakat luas di berbagai belahan dunia dengan harga yang sangat terjangkau.
Ada hal menarik yang sangat didambakan oleh pria yang sudah puluhan tahun menggeluti bidang virologi itu.
"Saya ingin masyarakat dunia sehat. Dengan begitu, saya bisa pensiun. Saya bisa berhenti mengembangkan vaksin," ucapnya seakan mengungkapkan perasaan yang terpendam.
Dubes Djauhari dan semua orang yang berada di dalam ruang VIP tersebut tampak tertegun mendengar ucapan orang nomor 1 di Sinovac tersebut. Helen Yang, GM Sinovac, tampak diam sejenak setelah mendengarkan ucapan Yin tersebut.
"Kalau saya sudah berhenti mengembangkan vaksin, tolong terima saya sebagai sahabat," tutur Yin yang sangat mendambakan bisa berlibur di Bali sambil menikmati makanan di pinggir pantai.