Foto koleksi Muzeum Negara Malaysia di atas memperlihatkan suasana sudut Jalan Mounbatten semasa banjir besar tahun 1926 di Tanah Melayu.
Selain menjadi ikon karena letaknya yang berada di kawasan pusat bersejarah Malaysia, ia menyimpan sejarahnya sendiri. Dulu, kawasan ini merupakan jalan utama bagi aktivitas perdagangan komunitas Orang Jawa.
Pada 1889, jalan ini diperbaiki dan dinamai Jalan Jawa. Lantas ingatan apa yang tertinggal di sepanjang sudut-sudut jalan dalam memori kolektif masyarakat Malaysia ?
Ketika kebijakan populis Malaysia for Melayu menguat di awal kemerdekaan Malaysia, segala yang berbau asing diganti dengan wacana pro-Melayu. Nama Jalan Mounbatten warisan Inggris diubah menjadi Jalan Tun Perak pada 1961.
Jalan ini menjadi salah satu yang tertua dan membentuk batas antara wilayah China dan Melayu di Kuala Lumpur. Meski sudah berganti-ganti nama, masyarakat sekitar tetap mengingatnya sebagai Jalan Jawa.
Jalan Jawa adalah satu dari representasi komunitas Jawa membangun jejak demografi panjang di Tanah Melayu. Aliran manusia dari Jawa ke semenanjung telah berbilang abad.
Catatan pelayar Portugis, Eredia, menyebutkan bahwa setelah kekalahan Melaka dari Portugis tahun 1511, komunitas Jawa tetap diberi tempat oleh Portugis untuk melakukan aktivitas perdagangan di Semenanjung.
Mereka berbicara dalam bahasa yang sama seperti penduduk di Pahang, Johor, Lingga, Patani, dan Timur Sumatera.
Kedudukan geografis yang lebih dekat dengan kepulauan Indonesia, khususnya Pulau Sumatera dan Jawa, membuat penduduk semenanjung cenderung lebih terpengaruh oleh kebudayaan Indonesia dibanding kebudayaan Asia Tenggara daratan (Thailand dan Indochina).
Antropolog Belanda, P. Sarasin, menyebut satu juta tahun yang lalu Semenanjung Melayu adalah bagian dari Jawa dan keduanya berasal dari rumpun yang sama.
Kehadiran Orang Jawa di semenanjung muncul lagi dalam sensus penduduk Singapura tahun 1825, menunjukkan bahwa sebagian besar Orang Jawa menetap di antara 1.746 orang Hindia-Belanda.
Orang Jawa terkenal setia terhadap tuannya. Mereka ramai diminati sebagai pekerja untuk tauke-tauke China. Sebagian lain bekerja sebagai petani subsisten seperti halnya orang Melayu.
Pada masa pra-kolonial, istilah Melayu muncul pertama kali dalam catatan harian seorang peziarah Buddha, I- Tsing, dalam A Record of the Buddist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago.
Ia melukiskan bahwa Melayu telah berubah menjadi Shilifosi (Sriwijaya) sekitar 689-695 Masehi. Dari catatan I-Tsing dapat dipahami bahwa Sriwijaya (sekarang Sumatera) merupakan bagian dari dunia Melayu.
Portugis lah yang pertama menciptakan batas tajam antara Melayu dan Nusantara (Jawa).
Orang Melayu dan Orang Jawa
Sebelumnya, pedagang-pedagang Arab memanggil semua penduduk Nusantara dengan sebutan Orang Jawi. Mereka tidak membedakan antara Orang Melayu dan Orang Jawa. Keduanya dianggap penduduk lokal semenanjung.
Dari kalangan Melayu, Syed Abdullah bin Abdul Hamid Al-Edrus dalam editorial Majalah Qalam edisi pertama menggunakan istilah dunia Melayu untuk komunitas Muslim di semenanjung. Ia memasukkan Muslim Jawa sebagai bagian dari bangsa Melayu.
Dunia Melayu yang dibayangkan Edrus sebagai komunitas Muslim, sesuai dengan bunyi konstitusi Malaysia.
Seorang Melayu didefinisikan sebagai: "orang yang mengaku Muslim, biasanya berbicara bahasa Melayu, sesuai dengan kebiasaan Melayu.” (The Malaysia Federal Constitution, 1964:103).
Sejarawan Wang Gungwu menggambarkan Orang Jawa mendapat tempat khusus di hati masyarakat Melayu. Mereka mengakui Orang Jawa sebagai “Migran serumpun” karena memeluk kepercayaan yang sama dengan Orang Melayu sebagai Muslim, serta berbicara dalam bahasa Melayu.
Sebaliknya, Orang China dan India di Malaysia sebagai "imigran tak serumpun" karena mereka memiliki latar belakang budaya yang sepenuhnya berbeda.
Pegawai sipil kolonial Inggris, Sir Richard Winstedt, dalam tulisannya tahun 1921 mengasosiasikan Orang Melayu sebagai penduduk yang tinggal di wilayah semenanjung dan Riau-Lingga (Sumatera).
Pernyataan ini dibantah oleh Sejarawan Melayu, Abdul Hadi. Ia keberatan jika Melayu dibatasi oleh penduduk yang tinggal di semenanjung dan Sumatera. Tanah Melayu lebih luas, meliputi Jawa, Kalimantan, dan Sumatera.
Jejak pengaruh komunitas peranakan Jawa-Melayu juga ditandai dengan munculnya berbagai surat kabar awal abad ke-20. Utusan Melayu, sebuah penerbitan berkala yang ditulis dalam aksara Jawi (Arab-Jawa) dan berbahasa Melayu didirikan tahun 1907. Media ini memperjuangkan suara komunitas Muslim Jawa di Singapura, yang kini menjadi minoritas.
Lanskap publikasi Jawi lain yang berpengaruh mengusung identitas peranakan Jawa-Melayu adalah Al-Imam, sebuah surat kabar berbahasa Melayu-Jawi yang didirikan oleh Syed Sheikh Al-Hadi tahun 1906.
Beberapa artikel di Al-Imam sebenarnya adalah terjemahan dari ide-ide di Al-Manar, surat kabar yang menyuntikkan perubahan sosial bagi kalangan Arab di Mesir. Al-Imam dianggap salah satu surat kabar Melayu transnasional paling awal.
Melayu Tanpa Jawa
Kini Orang Melayu diidentikkan dengan penduduk Melayu di Malaysia. Orang Jawa tidak pernah dianggap menjadi bagian dari Melayu. Sebaliknya, Orang Melayu tidak pula merasa menjadi bagian dari Nusantara (Indonesia).
Perceraian komunitas Jawa dan Melayu dimulai sejak Inggris mengkolonisasi wilayah Semenanjung.
Perjanjian London 1824 yang dikenal sebagai Treaty of Commerce and Exchange Between Great Britain and Netherlands memberi legislasi untuk membelah batas wilayah Semenanjung Melayu dengan Hindia Belanda.
Berdasarkan pasal 9 dan 10, pihak Inggris setuju menyerahkan semua pusat perdagangannya di Sumatera, dan tidak akan membuat perjanjian dengan pemimpin lokal setempat.
Sebaliknya, Belanda menyerahkan Malaka dan kawasan semenanjung kepada Inggris dan tidak akan melakukan perjanjian dengan pemimpin lokal. Perjanjian ini telah menggeser konteks dunia Melayu yang baru berdasar struktur identitas sipil dan teritorial versi kolonial.
Inggris sengaja menciptakan rekayasa populasi dari masyarakat monoetnis menjadi masyarakat multietnis melalui aktivitas buruh perkebunan dan pertambangan. Mula-mula Inggris menciptakan ruang dan kondisi baru untuk mendatangkan arus imigran China dan India.
Mereka yang sangat berbeda dalam adat, budaya, dan bahasa ini kemudian menetap menjadi bagian dari penduduk di wilayah Semenanjung. Mereka menggantikan keberadaan komunitas Orang Jawa.
Mulai awal abad ke-20, percobaan pengambilan buruh dari Jawa menghadapi banyak masalah. Belanda juga melarang Orang Jawa didatangkan ke semenanjung dan serawak.
Belanda merasa cemas karena Hindia-Belanda sendiri masih memerlukan tenaga buruh Jawa.
Semboyan semacam Indie Verloren, rampspoed geboren (Hindia hilang, malapetaka menjelang) tepat melukiskan nilai Jawa sebagai daerah penyumbang pendapatan terbesar mereka. Inggris mengganti buruh Jawa dengan buruh China dan India. Pembatasan ini membuat aktivitas buruh-buruh Jawa semakin berkurang.
Pembagian wilayah administrasi oleh pemerintah kolonial tidak hanya membelah Orang Melayu dan Orang Jawa secara relasi sosial, tetapi juga memutus relasi fungsional keduanya.
Kehadiran Orang Jawa secara pasti makin dilupakan. Dunia Melayu hanya didefinisikan secara eksklusif atas tiga ras besar: Melayu, China, dan India. Rekayasa populasi yang dilakukan Inggris ini sekaligus mengeluarkan identitas Orang Jawa sebagai bagian dari Dunia Melayu.
Selama kurun 1907-1936, tercatat lonjakan imigran Cina dari 12.402 ribu jiwa menjadi 7.08.404 jiwa.
Sementara kenaikan buruh India pada periode yang sama juga mengalami lonjakan sebesar 73.538 jiwa (Annual Reports of the Straits Settlement 1855-1941: 102).
Salah satu penyebab dominasi buruh China atas India adalah kerja-kerja mereka disukai oleh pemerintah Inggris. Mereka dianggap lebih murah dan memiliki daya juang lebih. Sebaliknya, Orang Jawa dan Melayu dianggap pemalas.
Hingga tahun 1934, sebanyak 73.798 buruh India juga hijrah ke tanah Melayu (Colonial Labor and Administration, 1960: 68). Mereka direkrut dengan sistem kontrol kangany (pemimpin buruh).
Melalui pengaruhnya di desa-desa, kangany menyediakan kapal besar dan komisi untuk setiap tenaga kerja yang direkrut ke Malaya.
Rekayasa populasi juga didukung oleh kebijakan Kaisar Kanxi pada Abad ke-17. Ia mencabut Undang-Undang pelarangan Orang China berdagang ke luar negeri yang dikenal dengan Haijin Policy. Hal ini mendorong pedagang-pedagang China melakukan eksodus ke kawasan Semenanjung
Ketika pemerintah Kerajaan Brooke mengeluarkan ordonansi tanah dan membuka hutan pada Juni 1863, Undang-undang ini menjadi dasar legislasi hak orang China untuk menyewa tanah negeri dengan pembayaran yang murah.
Hingga beberapa tahun masa sewa, tanah itu boleh dibeli sebagai kepemilikan. Melalui jasa perlindungan seorang Indentures, Orang China berhasil menguasai tanah-tanah penduduk Melayu.
Selain mengubah komposisi demografi, struktur dan hak previlese Sultan dalam sistem kerajaan Melayu juga mulai dihancurkan.
Meskipun Inggris tidak berusaha mengekstraksi adat istiadat Melayu, salah satu ciri paling menonjol dari administrasi kolonial adalah pengabaiannya terhadap daerah pedesaan tempat sebagian besar penduduk Melayu bermukim. Fosilisasi ini menyebabkan penglibatan aktivitas perekonomian Orang Melayu pun semakin terbatas.
Politik kolonial Inggris tidak segera membantu masyarakat Melayu memahami tempat mereka dalam lingkungan kapitalistik yang semakin berubah.
Orang Melayu umumnya tidak senang diperintah juga tidak berminat bekerja untuk Inggris. Lonjakan kebutuhan akan tenaga kerja yang tidak dapat dipenuhi oleh penduduk Melayu diisi oleh imigran China dan India.
Lambat laun, komunitas non-Melayu telah menguasai tanah-tanah orang Melayu. Secara berangsur angsur, jumlah mereka lebih banyak dibanding penduduk Melayu.
Kerajaan Inggris pada akhirnya membatasi imigran China dan India pada 1953. Pembatasan ini sudah sangat terlambat bagi Orang Melayu yang telah banyak kehilangan akses mempertahankan reservasi lahan-lahan mereka dari non-Melayu.
Kini, masih banyak komunitas peranakan Jawa yang tersebar di Malaysia. Johor Bahru menjadi salah satu wilayah yang masih kental mempertahankan budaya Jawa.
Peranakan Jawa tetap eksis dan diakui sebagai bagian dari Orang Melayu di Malaysia.
Mereka mengambil peran dalam pembangunan Malaysia. Mantan wakil perdana menteri Zahid Hamidi, misalnya. Ia adalah keturunan asli Jawa yang terbilang sukses berkarir di bidang pemerintahan.
Di beberapa wilayah Sabah juga telah banyak keturunan Orang Jawa yang memegang tampuk kepemimpinan negeri di Malaysia.
* Peneliti Sejarah Relasi Indonesia-Malaysia. Alumnus Master Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2019
Selain menjadi ikon karena letaknya yang berada di kawasan pusat bersejarah Malaysia, ia menyimpan sejarahnya sendiri. Dulu, kawasan ini merupakan jalan utama bagi aktivitas perdagangan komunitas Orang Jawa.
Pada 1889, jalan ini diperbaiki dan dinamai Jalan Jawa. Lantas ingatan apa yang tertinggal di sepanjang sudut-sudut jalan dalam memori kolektif masyarakat Malaysia ?
Ketika kebijakan populis Malaysia for Melayu menguat di awal kemerdekaan Malaysia, segala yang berbau asing diganti dengan wacana pro-Melayu. Nama Jalan Mounbatten warisan Inggris diubah menjadi Jalan Tun Perak pada 1961.
Jalan ini menjadi salah satu yang tertua dan membentuk batas antara wilayah China dan Melayu di Kuala Lumpur. Meski sudah berganti-ganti nama, masyarakat sekitar tetap mengingatnya sebagai Jalan Jawa.
Jalan Jawa adalah satu dari representasi komunitas Jawa membangun jejak demografi panjang di Tanah Melayu. Aliran manusia dari Jawa ke semenanjung telah berbilang abad.
Catatan pelayar Portugis, Eredia, menyebutkan bahwa setelah kekalahan Melaka dari Portugis tahun 1511, komunitas Jawa tetap diberi tempat oleh Portugis untuk melakukan aktivitas perdagangan di Semenanjung.
Mereka berbicara dalam bahasa yang sama seperti penduduk di Pahang, Johor, Lingga, Patani, dan Timur Sumatera.
Kedudukan geografis yang lebih dekat dengan kepulauan Indonesia, khususnya Pulau Sumatera dan Jawa, membuat penduduk semenanjung cenderung lebih terpengaruh oleh kebudayaan Indonesia dibanding kebudayaan Asia Tenggara daratan (Thailand dan Indochina).
Antropolog Belanda, P. Sarasin, menyebut satu juta tahun yang lalu Semenanjung Melayu adalah bagian dari Jawa dan keduanya berasal dari rumpun yang sama.
Kehadiran Orang Jawa di semenanjung muncul lagi dalam sensus penduduk Singapura tahun 1825, menunjukkan bahwa sebagian besar Orang Jawa menetap di antara 1.746 orang Hindia-Belanda.
Orang Jawa terkenal setia terhadap tuannya. Mereka ramai diminati sebagai pekerja untuk tauke-tauke China. Sebagian lain bekerja sebagai petani subsisten seperti halnya orang Melayu.
Pada masa pra-kolonial, istilah Melayu muncul pertama kali dalam catatan harian seorang peziarah Buddha, I- Tsing, dalam A Record of the Buddist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago.
Ia melukiskan bahwa Melayu telah berubah menjadi Shilifosi (Sriwijaya) sekitar 689-695 Masehi. Dari catatan I-Tsing dapat dipahami bahwa Sriwijaya (sekarang Sumatera) merupakan bagian dari dunia Melayu.
Portugis lah yang pertama menciptakan batas tajam antara Melayu dan Nusantara (Jawa).
Orang Melayu dan Orang Jawa
Sebelumnya, pedagang-pedagang Arab memanggil semua penduduk Nusantara dengan sebutan Orang Jawi. Mereka tidak membedakan antara Orang Melayu dan Orang Jawa. Keduanya dianggap penduduk lokal semenanjung.
Dari kalangan Melayu, Syed Abdullah bin Abdul Hamid Al-Edrus dalam editorial Majalah Qalam edisi pertama menggunakan istilah dunia Melayu untuk komunitas Muslim di semenanjung. Ia memasukkan Muslim Jawa sebagai bagian dari bangsa Melayu.
Dunia Melayu yang dibayangkan Edrus sebagai komunitas Muslim, sesuai dengan bunyi konstitusi Malaysia.
Seorang Melayu didefinisikan sebagai: "orang yang mengaku Muslim, biasanya berbicara bahasa Melayu, sesuai dengan kebiasaan Melayu.” (The Malaysia Federal Constitution, 1964:103).
Sejarawan Wang Gungwu menggambarkan Orang Jawa mendapat tempat khusus di hati masyarakat Melayu. Mereka mengakui Orang Jawa sebagai “Migran serumpun” karena memeluk kepercayaan yang sama dengan Orang Melayu sebagai Muslim, serta berbicara dalam bahasa Melayu.
Sebaliknya, Orang China dan India di Malaysia sebagai "imigran tak serumpun" karena mereka memiliki latar belakang budaya yang sepenuhnya berbeda.
Pegawai sipil kolonial Inggris, Sir Richard Winstedt, dalam tulisannya tahun 1921 mengasosiasikan Orang Melayu sebagai penduduk yang tinggal di wilayah semenanjung dan Riau-Lingga (Sumatera).
Pernyataan ini dibantah oleh Sejarawan Melayu, Abdul Hadi. Ia keberatan jika Melayu dibatasi oleh penduduk yang tinggal di semenanjung dan Sumatera. Tanah Melayu lebih luas, meliputi Jawa, Kalimantan, dan Sumatera.
Jejak pengaruh komunitas peranakan Jawa-Melayu juga ditandai dengan munculnya berbagai surat kabar awal abad ke-20. Utusan Melayu, sebuah penerbitan berkala yang ditulis dalam aksara Jawi (Arab-Jawa) dan berbahasa Melayu didirikan tahun 1907. Media ini memperjuangkan suara komunitas Muslim Jawa di Singapura, yang kini menjadi minoritas.
Lanskap publikasi Jawi lain yang berpengaruh mengusung identitas peranakan Jawa-Melayu adalah Al-Imam, sebuah surat kabar berbahasa Melayu-Jawi yang didirikan oleh Syed Sheikh Al-Hadi tahun 1906.
Beberapa artikel di Al-Imam sebenarnya adalah terjemahan dari ide-ide di Al-Manar, surat kabar yang menyuntikkan perubahan sosial bagi kalangan Arab di Mesir. Al-Imam dianggap salah satu surat kabar Melayu transnasional paling awal.
Melayu Tanpa Jawa
Kini Orang Melayu diidentikkan dengan penduduk Melayu di Malaysia. Orang Jawa tidak pernah dianggap menjadi bagian dari Melayu. Sebaliknya, Orang Melayu tidak pula merasa menjadi bagian dari Nusantara (Indonesia).
Perceraian komunitas Jawa dan Melayu dimulai sejak Inggris mengkolonisasi wilayah Semenanjung.
Perjanjian London 1824 yang dikenal sebagai Treaty of Commerce and Exchange Between Great Britain and Netherlands memberi legislasi untuk membelah batas wilayah Semenanjung Melayu dengan Hindia Belanda.
Berdasarkan pasal 9 dan 10, pihak Inggris setuju menyerahkan semua pusat perdagangannya di Sumatera, dan tidak akan membuat perjanjian dengan pemimpin lokal setempat.
Sebaliknya, Belanda menyerahkan Malaka dan kawasan semenanjung kepada Inggris dan tidak akan melakukan perjanjian dengan pemimpin lokal. Perjanjian ini telah menggeser konteks dunia Melayu yang baru berdasar struktur identitas sipil dan teritorial versi kolonial.
Inggris sengaja menciptakan rekayasa populasi dari masyarakat monoetnis menjadi masyarakat multietnis melalui aktivitas buruh perkebunan dan pertambangan. Mula-mula Inggris menciptakan ruang dan kondisi baru untuk mendatangkan arus imigran China dan India.
Mereka yang sangat berbeda dalam adat, budaya, dan bahasa ini kemudian menetap menjadi bagian dari penduduk di wilayah Semenanjung. Mereka menggantikan keberadaan komunitas Orang Jawa.
Mulai awal abad ke-20, percobaan pengambilan buruh dari Jawa menghadapi banyak masalah. Belanda juga melarang Orang Jawa didatangkan ke semenanjung dan serawak.
Belanda merasa cemas karena Hindia-Belanda sendiri masih memerlukan tenaga buruh Jawa.
Semboyan semacam Indie Verloren, rampspoed geboren (Hindia hilang, malapetaka menjelang) tepat melukiskan nilai Jawa sebagai daerah penyumbang pendapatan terbesar mereka. Inggris mengganti buruh Jawa dengan buruh China dan India. Pembatasan ini membuat aktivitas buruh-buruh Jawa semakin berkurang.
Pembagian wilayah administrasi oleh pemerintah kolonial tidak hanya membelah Orang Melayu dan Orang Jawa secara relasi sosial, tetapi juga memutus relasi fungsional keduanya.
Kehadiran Orang Jawa secara pasti makin dilupakan. Dunia Melayu hanya didefinisikan secara eksklusif atas tiga ras besar: Melayu, China, dan India. Rekayasa populasi yang dilakukan Inggris ini sekaligus mengeluarkan identitas Orang Jawa sebagai bagian dari Dunia Melayu.
Selama kurun 1907-1936, tercatat lonjakan imigran Cina dari 12.402 ribu jiwa menjadi 7.08.404 jiwa.
Sementara kenaikan buruh India pada periode yang sama juga mengalami lonjakan sebesar 73.538 jiwa (Annual Reports of the Straits Settlement 1855-1941: 102).
Salah satu penyebab dominasi buruh China atas India adalah kerja-kerja mereka disukai oleh pemerintah Inggris. Mereka dianggap lebih murah dan memiliki daya juang lebih. Sebaliknya, Orang Jawa dan Melayu dianggap pemalas.
Hingga tahun 1934, sebanyak 73.798 buruh India juga hijrah ke tanah Melayu (Colonial Labor and Administration, 1960: 68). Mereka direkrut dengan sistem kontrol kangany (pemimpin buruh).
Melalui pengaruhnya di desa-desa, kangany menyediakan kapal besar dan komisi untuk setiap tenaga kerja yang direkrut ke Malaya.
Rekayasa populasi juga didukung oleh kebijakan Kaisar Kanxi pada Abad ke-17. Ia mencabut Undang-Undang pelarangan Orang China berdagang ke luar negeri yang dikenal dengan Haijin Policy. Hal ini mendorong pedagang-pedagang China melakukan eksodus ke kawasan Semenanjung
Ketika pemerintah Kerajaan Brooke mengeluarkan ordonansi tanah dan membuka hutan pada Juni 1863, Undang-undang ini menjadi dasar legislasi hak orang China untuk menyewa tanah negeri dengan pembayaran yang murah.
Hingga beberapa tahun masa sewa, tanah itu boleh dibeli sebagai kepemilikan. Melalui jasa perlindungan seorang Indentures, Orang China berhasil menguasai tanah-tanah penduduk Melayu.
Selain mengubah komposisi demografi, struktur dan hak previlese Sultan dalam sistem kerajaan Melayu juga mulai dihancurkan.
Meskipun Inggris tidak berusaha mengekstraksi adat istiadat Melayu, salah satu ciri paling menonjol dari administrasi kolonial adalah pengabaiannya terhadap daerah pedesaan tempat sebagian besar penduduk Melayu bermukim. Fosilisasi ini menyebabkan penglibatan aktivitas perekonomian Orang Melayu pun semakin terbatas.
Politik kolonial Inggris tidak segera membantu masyarakat Melayu memahami tempat mereka dalam lingkungan kapitalistik yang semakin berubah.
Orang Melayu umumnya tidak senang diperintah juga tidak berminat bekerja untuk Inggris. Lonjakan kebutuhan akan tenaga kerja yang tidak dapat dipenuhi oleh penduduk Melayu diisi oleh imigran China dan India.
Lambat laun, komunitas non-Melayu telah menguasai tanah-tanah orang Melayu. Secara berangsur angsur, jumlah mereka lebih banyak dibanding penduduk Melayu.
Kerajaan Inggris pada akhirnya membatasi imigran China dan India pada 1953. Pembatasan ini sudah sangat terlambat bagi Orang Melayu yang telah banyak kehilangan akses mempertahankan reservasi lahan-lahan mereka dari non-Melayu.
Kini, masih banyak komunitas peranakan Jawa yang tersebar di Malaysia. Johor Bahru menjadi salah satu wilayah yang masih kental mempertahankan budaya Jawa.
Peranakan Jawa tetap eksis dan diakui sebagai bagian dari Orang Melayu di Malaysia.
Mereka mengambil peran dalam pembangunan Malaysia. Mantan wakil perdana menteri Zahid Hamidi, misalnya. Ia adalah keturunan asli Jawa yang terbilang sukses berkarir di bidang pemerintahan.
Di beberapa wilayah Sabah juga telah banyak keturunan Orang Jawa yang memegang tampuk kepemimpinan negeri di Malaysia.
* Peneliti Sejarah Relasi Indonesia-Malaysia. Alumnus Master Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2019