Banda Aceh (ANTARA) - Kepolisian adalah wajah terdekat negara bagi warga sehari-hari. Dalam konsepsi klasik Max Weber, polisi merupakan pemegang utama monopoli kekerasan sah negara, sehingga kualitas demokrasi sebuah bangsa tidak hanya ditentukan oleh pemilu, tetapi juga oleh bagaimana institusi kepolisian dijalankan.
Literatur modern sepakat bahwa struktur, kewenangan, dan pola pengawasan polisi adalah indikator mendasar apakah sebuah demokrasi benar-benar bekerja atau sekadar berfungsi secara prosedural.
Ketika struktur polisi terlalu terpusat, pengawasan sipil melemah, dan fungsi-fungsi koersif menumpuk dalam satu institusi, maka demokrasi menghadapi risiko distorsi kekuasaan yang sulit dikoreksi. Inilah titik krusial yang tampak menonjol dalam konteks Indonesia saat ini.
Anomali Tata Kelola Kepolisian Demokratis
Polri menempati posisi unik dalam lanskap internasional. Ia memegang konsentrasi kewenangan paling luas dibanding hampir semua negara demokrasi modern. Polri menggabungkan fungsi penegakan hukum, keamanan dalam negeri, intelijen keamanan, administrasi publik (dari SIM, STNK, hingga SKCK), pengawasan digital, dan kontrol sosial dalam satu struktur vertikal yang terpusat. Model single national police seperti ini sudah ditinggalkan oleh negara-negara demokratis karena dianggap berisiko menciptakan konsentrasi kekuasaan yang terlalu besar.
Baca juga: Wapres sebut skandal harus jadi dorongan percepat reformasi Polri
Perbandingan internasional dalam bahan kajian menunjukkan beberapa fakta penting ketika sejumlah negara seperti, Inggris membagi kepolisian menjadi 43 otoritas lokal dengan pengawasan langsung warga melalui Police and Crime Commissioners. Jerman memecah kepolisian ke dalam 16 Landespolizei, sementara tingkat federal hanya bertugas dalam fungsi terbatas. Jepang menerapkan Public Safety Commissions yang sepenuhnya dipimpin warga sipil sebagai mekanisme oversight publik.
Sementara Amerika Serikat memiliki lebih dari 17.000 lembaga polisi yang tunduk pada pemerintahan lokal, dewan daerah, serta pengadilan federal dan Australia, Selandia Baru membentuk Independent Police Conduct Authorities dengan kewenangan investigatif penuh. Sedangkan Kanada memberikan kekuasaan kepada Civilian Review and Complaints Commission untuk mengambil alih kasus aparat federal.
Kesimpulan kunci dari perbandingan tersebut jelas, tidak ada satu pun negara demokrasi maju yang menyerahkan seluruh fungsi koersif negara kepada satu lembaga tunggal tanpa mekanisme fragmentasi kekuasaan. Inilah alasan mengapa dalam literatur tata kelola keamanan, Polri dipandang sebagai outlie lebih absolut daripada polisi negara demokratis, tetapi lebih terpusat daripada polisi negara otoritarian regional tertentu.
Mengapa Indonesia Justru Berbeda
Evolusi kepolisian Indonesia sebagai proses panjang yang membentuk struktur, karakter, serta kultur institusional Polri saat ini. Lintasan sejarah itu menunjukkan bahwa apa yang kini terlihat sebagai konsentrasi kewenangan, hierarki komando yang sentralistik, serta model operasi yang bercorak koersif bukanlah hasil kebetulan, melainkan konsekuensi logis dari perjalanan politik negara.
Struktur Polri hari ini merupakan hasil akumulasi sejarah, bukan kecelakaan desain. Warisan kolonial membentuk kepolisian sebagai alat kontrol, bukan pelayanan publik. Pada era Orde Baru, Polri dipermiliterisasi dan berfungsi menjaga stabilitas rezim. Setelah reformasi, Polri memang dipisah dari TNI, tetapi tidak mengalami pembenahan mendasar, justru kewenangannya terus diperluas.
Hubungan antara elite politik dan Polri juga bersifat simbiotik. Pemerintah membutuhkan stabilitas, sementara Polri mendapat ruang memperkuat posisi dan memperbesar struktur. Akibatnya, Indonesia memilih arah berbeda dari banyak negara pasca-otoritarian, ketika negara lain membatasi kekuasaan polisi dan memperkuat pengawasan independen, Indonesia justru memperluas mandat Polri mulai dari penegakan hukum, penanganan terorisme, keamanan digital, hingga intelijen.
Konsentrasi kewenangan ini tidak diimbangi mekanisme akuntabilitas yang kuat. Pengawasan internal tetap berada dalam rantai komando, sementara pengawasan eksternal lemah. Hasilnya, Polri tumbuh sebagai institusi besar dengan yurisdiksi luas, namun dengan pengawasan demokratis yang minim. Proses historis dan pilihan politik inilah yang menjelaskan mengapa struktur Polri hari ini begitu kuat, sentralistis, dan sulit direformasi secara mendalam.
Baca juga: Pakar harap Kapolri tingkatkan reformasi kultural Polri

Tiga Pilar Demokrasi yang Tidak Terpenuhi
Kepolisian sebagai salah satu institusi paling krusial dalam demokrasi modern. Dalam teori governance kontemporer, ada tiga prinsip yang menjadi fondasi agar kekuasaan kepolisian tetap terkendali dan berfungsi melindungi warga negara yaitu fragmentasi kekuasaan, pemisahan fungsi koersif dan intelijen, serta pengawasan sipil yang independen. Namun ketika ketiga prinsip ini diukur dalam konteks Indonesia, hasilnya menunjukkan jarak yang signifikan antara teori dan praktik.
Prinsip pertama, fragmentasi struktur kekuasaan, mengandaikan bahwa kewenangan kepolisian harus tersebar dan tidak terpusat pada satu aktor tunggal. Tujuannya sederhana yaitu mencegah konsentrasi kekuasaan yang dapat membuka peluang penyalahgunaan. Dalam banyak negara demokratis, fragmentasi ini diwujudkan melalui sistem kepolisian lokal, pembagian kewenangan antarlevel pemerintahan, atau pemisahan fungsi administratif dan operasional. Di Indonesia, pola yang terjadi justru sebaliknya. Struktur Polri dirancang sangat sentralistis, dengan garis komando vertikal yang mengalir langsung dari pusat ke wilayah. Model ini menghasilkan konsentrasi kekuasaan besar pada pimpinan nasional, serta minimnya ruang kontrol dari tingkat daerah. Sentralisasi ini tidak hanya berdampak pada cara kerja, tetapi juga pada kultur institusi yang lebih responsif terhadap pusat kekuasaan daripada terhadap kebutuhan masyarakat lokal.
Prinsip kedua, pemisahan antara fungsi koersif dan intelijen, merupakan standar dasar demokrasi modern untuk mencegah lembaga keamanan bertindak tanpa batas. Secara teoretis, fungsi koersif penegakan hukum, pemeliharaan ketertiban harus terpisah dari aktivitas intelijen yang bersifat pengumpulan informasi sensitif. Ketika kedua fungsi ini digabung dalam satu institusi tanpa batas yang jelas, risiko pelanggaran hak warga meningkat. Di banyak negara, fungsi intelijen domestik berada di lembaga tersendiri atau diawasi ketat oleh badan legislatif. Di Indonesia, pemisahan ini tidak berjalan efektif. Selain berada dalam kerangka yang sama, fungsi intelijen kepolisian terus diperluas melalui berbagai regulasi baru, termasuk ruang operasi di ranah digital. Hasilnya adalah tumpang tindih kewenangan dan hilangnya batas operasional yang seharusnya melindungi warga dari tindakan sewenang-wenang.
Prinsip ketiga, oversight sipil yang independen, adalah mekanisme penyeimbang yang memastikan bahwa kekuasaan kepolisian tetap berada dalam kendali demokrasi. Pengawasan independen biasanya ditempatkan di luar rantai komando, memiliki kewenangan investigatif, dan dapat menindaklanjuti laporan masyarakat tanpa campur tangan institusi yang diawasi. Dalam praktik internasional, lembaga semacam ini menjadi kunci untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan, mengusut pelanggaran etik, dan memastikan kepolisian tetap akuntabel. Di Indonesia, pengawasan sipil belum mencapai standar tersebut. Lembaga pengawas seperti Kompolnas memiliki mandat terbatas, tidak memiliki kewenangan investigatif penuh, dan bergantung pada informasi dari Polri sendiri. Akibatnya, fungsi oversight lebih bersifat administratif ketimbang substantif.
Baca juga: AJI serukan perangkat desa lapor polisi jika diperas oknum mengaku wartawan
Ketika prinsip demokrasi modern ini fragmentasi kekuasaan, pemisahan fungsi, dan pengawasan independen tidak berjalan, terbentuklah kondisi di mana kepolisian memiliki kewenangan luas, struktur sentralistis, serta ruang operasi yang minim kontrol sipil. Konsekuensi langsungnya adalah ketidakseimbangan antara kekuatan institusi dan perlindungan terhadap warga negara.
Halaman selanjutnya: perubahan Polri
