Banda Aceh 13/5 (Antaraaceh) - Pemilu legislatif 2014 telah berlalu, rakyat sudah menunaikan kewajibanya dan itu perlu mendapat apresiasi positif dari semua kalangan, terutama negara dan para pihak penyelenggara pemilu.
Terlepas dari masih banyaknya angka Golput dalam Pileg 2014 kemarin, rakyat mesti dihargai. Walau kemudian kita bertanya kemana rakyat mesti mengadu masalah hidup setelah Pemilu 9 April 2014 lalu, tentu jawaban tetap sama, sama saja seperti yang dulu, boleh disebut tiada perubahan yang berarti.
Dan rakyatpun harus kembali menjadi ‘alat’ untuk memilih presiden, walau sebagian besar rakyat tidak mengenal dengan baik semua bakal calon presiden, hanya pencitraannya dan retorika di media.
Sangat disayangkan memang, KPU pusat baru menetapkan hasil pleno suara secara nasional pada tanggal 9 Mei 2014, yang mestinya 6 Mei 2014 sesuai aturan KPU No. 6 tahun 2013 tentang Tahapan dan Jadwal Pemilu Legislatif.
Sehingga tingkat kepercayaan rakyat terhadap proses pemilu dari awalnya memang sudah minim, ditambah lagi ketika rakyat memahami banyaknya kelemahan dan kekurangan dalam proses pemilu kemarin dan pleno penetapan hasil secara nasionalpun mesti diperpanjang.
Sekarang rakyatpun kembali akan mengikuti proses pilpres 2014, sepertinya tidak ada ruang ‘istirahat’ sejenak bagi rakyat untuk sekedar tidak terlibat dalam proses politik, begitu dekatnya waktu.
Gonjang ganjing wacana koalisi partai politikpun memenuhi cakrawala alam sadar dan bawah sadar rakyat. Mulai dari diskusi warungkopi sampai ke ruang-ruang seminar, dengan berbagai bentuk komunikasi, dari komunikasi lansung, komunikasi bermedia baik konvensional maupun newmedia.
Koalisi Pragmatisme
Diskusi politik warung kopi dan ruang-ruang seminar begitu pesat yang disokong oleh media massa memenuhi ruang publik tentang bagaimana peta dan skema koalisi yang akan dibangun oleh para partai politik jelang pilpres 2014.
Menarik memang melihat dinamika koalisi parpol dalam proses pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden, tuntutan 25% suara populer atau 20% suara elektoral telah memaksa terbukanya ruang komunikasi politik, lobi-lobi politik dengan berbagai bentuk dan cara bahkan terkadang nihil etika dan norma yang terjadi antar parpol dalam membentuk koalisi.
Walau koalisi yang sebenarnya baru akan dimulai setelah hasil resmi pemungutan suara pemilihan legislatif 9 Mei 2014.
Wacana proses koalisi partai politik sampai saat ini, yang disayangkan masih bersifat sesaat, bersifat administratif untuk memenuhi syarat minimal 25 persen suara nasional atau 20 persen perolehan kursi DPR, yang terjadi tarik ulur kepentingan, bargaining tawaran posisi-posisi kekuasaan, bahkan terkesan transaksional tanpa dilandasi ideologi kebangsaan dengan kesamaan visi berbangsa dan bernegara. koalisi masih berbasis kebutuhan elektoral, mengamankan kekuasaan masih bersifat pragmatis.
Koalisi pragmatis seperti itu dapat disebut masih mengutamakan orientasi elektoral, bukan ideologi atau program; masih bersifat transaksional berupa materi atau jabatan; dan pilihan koalisi berlandaskan pengamanan kursi kekuasaan.
Kalau ini yang terjadi, bagi yang akan menang menjadi presiden dan wakil presiden tentu akan disibukkan dengan urusan menjaga relasi antara anggota koalisi untuk memenuhi libido anggota koalisi.
Yang terjadi adalah koalisi sebatas bagi-bagi jatah menteri, bukan bentuk kesepahaman bersama dalam membangun negara bangsa.
Membangun koalisi ideologis kebangsaan
Dalam proses koalisi partai politik jelang pilpres 2014, mestinya belajar dari sejarah, bahwa kalau hanya koalisi pragmatis yang dikedepankan negara ini tidak akan pernah maju dalam peradabannya. Koalisi semacam ini telah memberikan efek, kurang efektif bahkan tidak produktif dalam membangunan, menumbuhkan rasa nasionalisme dalam  berbangsa dan bernegara.
Koalisi ideologi kebangsaan, mesti didasarkan pada tujuan hidup dalam berbangsa - bernegara. Dengan tidak melupakan hakikat manusia sebagai khalifah dimuka bumi yang dibekali keinginan, kebutuhan, cita-cita, nilai-nilai yang dimuliakan, serta akal, budi dan daya untuk mewujudkan semua itu.
Demi memperbesar daya manusia untuk lebih mampu mewujudkan segenap keinginan, kebutuhan dan cita-cita, maka membangun negara sebagai tempat atau wahana untuk bekarya sekaligus tempat tinggal berdiam yang semestinya tenteram menikmati jerih karya upaya.
Negara hasil karya ini semestinya menjadi pranata sebagai prestasi peradaban manusia untuk tujuan-tujuan fitrahnya, yang diselenggarakan dengan nilai-nilai ketuhanan, keadilan, peradaban, kebersamaan yang kemudian mengkristalkan kesadaran mengenai mutlaknya azas kedaulatan rakyat. Negara merupakan organisasi manusia yang dibentuk yang menjalankan dan menghidupkannya pun adalah manusia itu sendiri.
Karena manusia sebagai pusat yang melahirkan, menjalankan dan menghidupkan negara, maka manusianya yang harus paham akan hakikat dirinya.
Perlu kita memahami dengan baik dan benar, nusantara ini merupakan kepulauan besar di tengah persilangan Samudra Hindia dan Samudra Pasifik, dan dihuni oleh manusia-manusia yang berlatar belakang etnik, agama, suku, dan bangsa yang beragam mampu merekonstruksi identitasnya sebagai sebuah negara-bangsa.
Koalisi seperti ini tidak akan meninggalkan jati diri bangsa negara, identitas keindonesia, akar budaya yang mendasari identitas bangsa negara, termasuk pemahaman sejarah terbentuknya negara bangsa ini sejak zaman kerajaraan-kerajaraan nusantara. Nusantara ini adalah ruang komposisi etnis dan kultural yang dibentuk oleh budaya tempatan dan pendatang. Dasar budaya yang turun-temurun dan menempel pada masing-masing komunitas harus dipertahankan.
Itu adalah endapan sejarah yang tidak mungkin hilang. Negara bangsa ini cukup kaya, 300 kelompok etnik, lebih 700 bahasa dan dialek mendiami negara ini; bangsa terkaya bahasa lokal kedua di dunia setelah Papua Nuigini.
Koalisi dengan landasan pemahaman kebangsaan, kenegaraan, keberagaman, nasionalisme yang baik, akan mampu menciptakan negara pasca pilpres 2014 dalam menterjemahkan Negara bukan hanya dari kacamata Jakarta, tapi mampu melihat negara dari dari pedalaman Aceh, Papua, Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, Maluku, maluku utara, NTT, NTB dan daerah-daerah lain. Mampu menterjemahkan setiap program dalam penghayatan kehidupan bersama, berbangsa, berbudaya, beragama.
Negara yang jauh dari prilaku membantai rakyatnya, intimidasi, pengusiran, pengasingan, intoleransi dan ketidakadilan, yang dilancarkan dengan menggunakan kekuasaan negara, dan ini sudah menimpa begitu banyak manusia di nusantara ini.
Sistem pembangunan keliru selama ini yang dijalankan oleh negara telah membuahkan ketimpangan yang lebar, segelintir warga telah meninkmati hasil pembangunan ekonomi yang membawa mereka kedalam kehidupan modern di tengah rakyat kebanyakan yang masih hidup dalam taraf sangat rendah dan yang tanpak tidak manusiawi atau mirip ‘kotoran’ yang melekat di baju modernitas yang penuh hedonisme dan etnosentrimse,  bahkan kotoran yang harus hapus dari muka bumi.
Negara yang mampu menangkap, budaya bisu dari rakyat yang tersisih atau yang tidak terangkut kereta pembangunan dan perberadaban. Negara yang mampu melihat anak-anak negeri yang kurus ringkih duduk dengan pandangan mata yang kosong,  pandangan tanpa keinginan dan harapan; mereka bukan anak-anak yang melenggang di Mall-Mall, plaza-plaza gemarlap sebagai ciri kota  modern atau sedang  kursus komputer-bahasa asing, mereka bahkan tidak tercatat sebagai murid sekolah, tidak juga sedang memasak dengan riang sebab tidak ada yang bisa dibeli, anak-anak semacam ini sangat banyak terdapat di Aceh, Papua, Kalimantan, sumatera, Maluku, Malut, Sulawesi, NTB, NTT dan tidak kurang juga di daerah-daerah lain.
Adalah daerah yang kendati kekayaan alamnya setiap hari dapat memberikan kemewahan dan kemajuan hidup bagi segelintir orang hingga ke negeri-negeri yang jauh disana.
Artinya mesti dilihat secara cermat dan cernih, kerentanan demi kerentanan tampak terus hadir di tengah proses pergulatan Indonesia ini menjadi negara bangsa.
Kerentanan yang bersifat klasik tidak hanya terkait dengan kontestasi cita-cita ideologi dan politik kebangsaan semata. Kerentanan juga terus datang dari faktor kesenjangan struktur ekonomi, kelas sosial, keagamaan, kesenjangan pusat daerah, identitas, kebudayaan dan sebagainya.
Dikhawatirkan kembali negeri ini bisa jadi terancam mengalami keruntuhan, disintegrasi bangsa negara, runtuh solidaritas sosial, kesenjangan sosial melebar, kepercayaan publik hilang, krisis ekonomi melanda, konflik sosial vertikal dan horizontal, korupsi merajalela, hilangnya nasionalisme kebangsaan yang akhirnya mengalami krisis multidimensi yang sulit diobati.
Koalisi ideologis kebangsaan yang mampu masuk kedalam ranah kognitif publik, terbukti ranah ini arena yang strategis dalam membangun negara bangsa atau bahkan dapat merusaknya. Sehingga dibutuhkan sistem politik, sistem pemerintahan yang mampu melayani kepentingan publik.
Dalam ranah kognitif publik ini direproduksi nilai-nilai kebangsaan dan kenegaraan. Sehingga negara tidak terjebak dalam tarikan kepentingan politik elite dan kepentingan pemodal, baik dari dalam dan luar, tidak terseret dalam skenario kapitalisme domestik dan kapitalisme global.
Negara dan publik tidak mudah terseret dalam arus budaya komersialisme dan konsumerisme. Ideologi kebangsaan kenegaraan mesti mampu bertarung dengan konsumerisme dan kapitalisme global.
Mengingat begitu kuatnya tarikan nilai-nilai konsumerisme global, intervensi kekuatan kapitalisme global yang dapat menenggelamkan ideologi kebangsaan.
Mesti dipahami, ketika negara lemah dalam ideologi kebangsaan dan kenegaraan, bisa menjadi kehilangan arah bahkan lumpuh, negara menjadi lemah, sistem politik, sistem ekonomi, dan sistem sosial, sistem budaya tidak lagi mampu memenuhi kepentingan rakyatnya.
Kuatnya ideologi identitas kebangsaan dan kenegaraan akan mampu melahirkan negara yang kuat, negara dapat terus dikembangkan dalam mencapai cita-cita negara-bangsa. Semoga.

Pewarta:

Editor : Salahuddin Wahid


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2014