Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Indonesia (UI) Jimly Asshiddiqie mengatakan pemerintah harus melakukan proses deradikalisasi yang ketat bagi warga negara Indonesia eks simpatisan Negara Islam Irak dan Syam (ISIS) yang ingin kembali.
"Jadi ini satu agenda serius. Kalau mereka ingin kembali lagi, ada syarat-syaratnya, termasuk tes. Jadi jangan cuma selembar kertas (pernyataan)," kata Jimly usai menemui Wakil Presiden Ma'ruf Amin di Kantor Wapres Jakarta, Selasa.
Jimly mengatakan cara paling mudah untuk menerima kembali WNI eks ISIS itu adalah dengan melakukan screening atau penyaringan lewat pernyataan untuk bersedia setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
"Yang paling mudah itu ya di-screening, apakah dia mau jadi WNI sesuai dengan hukum di Indonesia atau tidak. Kalau dia bersedia, berarti ada kesadaran ingin menjadi WNI dengan aturan konstitusional yang kita miliki. Tidak boleh lagi dia ikut perang untuk negara lain," kata Jimly.
Namun, tambah mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu, penandatanganan pernyataan itu harus diikuti dengan pembinaan deradikalisasi yang ketat supaya ideologi radikal para eks simpatisan ISIS itu benar-benar pudar.
Pemerintah juga perlu memberikan efek jera bagi eks simpatisan ISIS itu dengan mencabut paspor dan status kewarganegaraan mereka dari Indonesia.
"Saya rasa perlu ada tes khusus. Untuk tindakan yang sifatnya mendidik, memang sebaiknya kalau terbukti mereka itu ikut perang untuk pasukan perang negara lain, itu sudah memenuhi syarat untuk dicabut paspornya," kata Jimly.
Setelah dicabut hak kewarganegaraannya, kata dia, eks simpatisan ISIS yang ingin kembali menjadi WNI bisa diberikan haknya dengan mengikuti berbagai tes dan pernyataan untuk setia kepada NKRI.
"Cabut dulu paspornya. Nanti urusan belakangan kalau dia ingin kembali lagi," kata Jimly yang juga Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2020