Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak periode Januari-Juli 2020 tercatat ada 4.116 kasus kekerasan pada anak di Indonesia. Sebanyak 2.556 anak di antaranya menjadi korban kekerasan seksual.
Gebrakan awal 2021 pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2020 tentang tata cara pelaksanaan tindakan kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, rehabilitasi, dan pengumuman identitas pelaku kekerasan seksual terhadap anak, dinilai lamban.
"Walau terkesan lamban, tapi saya mengapresiasi langkah pemerintah yang serius menangani masalah kekerasan seksual kepada terus meningkat," kata Anggota DPRK Aceh Tamiang Jayanti Sari di Kuala Simpang, Sabtu.
Jayanti berpendapat, PP ini muncul bukan tanpa alasan penting. Sanksi-sanksi diberikan juga beragam, mulai dari sanksi hukum sampai sanksi sosial seperti pengumuman identitas pelaku.
"PP ini tujuannya untuk efek jera agar pelaku merasakan dosanya ketika dia berada di tengah masyarakat," sebut Anggota Komisi I DPRK Aceh Tamiang membidangi perlindungan masyarakat ini.
Menurutnya, pro dan kontra tentang kebijakan pemerintah dengan mengeluarkan PP Nomor 70/2020 terjadi di kalangan masyarakat maupun ulama.
"Seperti penolakan para ulama Aceh, contohnya yang memandang bahwa banyak solusi yang bisa ditempuh selain kebiri, misalnya penjara seumur hidup," papar Jayanti Sari.
Pendapat lain disampaikan alumni Doktor Administrasi Publik Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang, Neni Sriwahyuni. Ia menilai peraturan pemerintah tersebut merupakan awal titik terang atas kesungguhan pemerintah dalam melihat persoalan yang ada di tengah masyarakat.
"Namun, saya merasa PP ini bukan menjadi solusi menyeluruh dalam menyelesaikan persoalan kekerasan seksual anak. Saya lebih mendorong pemerintah menerapkan hukuman maksimal bagi pelaku dan memberikan konsling untuk penyembuhan kejiwaaan," kata Neni Sriwahyuni menyarankan.
Tidak dapat dipungkiri, menurut dia, rata-rata para pelaku kasus ini merupakan orang yang juga pernah mengalami tindak kekerasan seksual, sehingga hal tersebut menjadi faktor pendorong mereka melakukan perbuatan serupa.
"Kami berharap pemerintah jangan hanya fokus dalam pemberian hukuman bagi para pelaku, namun mencari akar permasalahan yang sesungguhnya atas persoalan tersebut," kata Neni Sriwahyuni.
Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Kabupaten Aceh Tamiang Syahrizal menegaskan pihaknya tetap mengacu Fatwa MPU Aceh Nomor 02 Tahun 2018 bahwa kebiri kimia haram hukumnya.
Menurut dia, hukum kebiri juga melanggar hak asasi manusia (HAM) karena telah menghalangi hak orang lain menambah keturunan.
"Allah SWT menganugerahkan manusia itu termasuk di antaranya syahwat nafsu. Jadi, kalau itu dihilangkan berarti menolak kodrat manusia," papar Syahrizal.
Syahrizal menyebutkan hukuman ideal untuk seorang pedofil adalah penjara seumur hidup atau diasingkan.
"Kami tetap sepakat bahwa pelaku diberikan peluang untuk bisa menyalurkan syahwatnya kepada pasangan sahnya, walaupun dia diasingkan," demikian Syahrizal.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2021
Gebrakan awal 2021 pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2020 tentang tata cara pelaksanaan tindakan kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, rehabilitasi, dan pengumuman identitas pelaku kekerasan seksual terhadap anak, dinilai lamban.
"Walau terkesan lamban, tapi saya mengapresiasi langkah pemerintah yang serius menangani masalah kekerasan seksual kepada terus meningkat," kata Anggota DPRK Aceh Tamiang Jayanti Sari di Kuala Simpang, Sabtu.
Jayanti berpendapat, PP ini muncul bukan tanpa alasan penting. Sanksi-sanksi diberikan juga beragam, mulai dari sanksi hukum sampai sanksi sosial seperti pengumuman identitas pelaku.
"PP ini tujuannya untuk efek jera agar pelaku merasakan dosanya ketika dia berada di tengah masyarakat," sebut Anggota Komisi I DPRK Aceh Tamiang membidangi perlindungan masyarakat ini.
Menurutnya, pro dan kontra tentang kebijakan pemerintah dengan mengeluarkan PP Nomor 70/2020 terjadi di kalangan masyarakat maupun ulama.
"Seperti penolakan para ulama Aceh, contohnya yang memandang bahwa banyak solusi yang bisa ditempuh selain kebiri, misalnya penjara seumur hidup," papar Jayanti Sari.
Pendapat lain disampaikan alumni Doktor Administrasi Publik Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang, Neni Sriwahyuni. Ia menilai peraturan pemerintah tersebut merupakan awal titik terang atas kesungguhan pemerintah dalam melihat persoalan yang ada di tengah masyarakat.
"Namun, saya merasa PP ini bukan menjadi solusi menyeluruh dalam menyelesaikan persoalan kekerasan seksual anak. Saya lebih mendorong pemerintah menerapkan hukuman maksimal bagi pelaku dan memberikan konsling untuk penyembuhan kejiwaaan," kata Neni Sriwahyuni menyarankan.
Tidak dapat dipungkiri, menurut dia, rata-rata para pelaku kasus ini merupakan orang yang juga pernah mengalami tindak kekerasan seksual, sehingga hal tersebut menjadi faktor pendorong mereka melakukan perbuatan serupa.
"Kami berharap pemerintah jangan hanya fokus dalam pemberian hukuman bagi para pelaku, namun mencari akar permasalahan yang sesungguhnya atas persoalan tersebut," kata Neni Sriwahyuni.
Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Kabupaten Aceh Tamiang Syahrizal menegaskan pihaknya tetap mengacu Fatwa MPU Aceh Nomor 02 Tahun 2018 bahwa kebiri kimia haram hukumnya.
Menurut dia, hukum kebiri juga melanggar hak asasi manusia (HAM) karena telah menghalangi hak orang lain menambah keturunan.
"Allah SWT menganugerahkan manusia itu termasuk di antaranya syahwat nafsu. Jadi, kalau itu dihilangkan berarti menolak kodrat manusia," papar Syahrizal.
Syahrizal menyebutkan hukuman ideal untuk seorang pedofil adalah penjara seumur hidup atau diasingkan.
"Kami tetap sepakat bahwa pelaku diberikan peluang untuk bisa menyalurkan syahwatnya kepada pasangan sahnya, walaupun dia diasingkan," demikian Syahrizal.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2021