Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Safaruddin menilai kemiskinan di Aceh juga merupakan dampak dari faktor pendidikan sehingga pembangunan di daerah Tanah Rencong itu harus didukung dengan sumber daya manusia (SDM).
"Pendidikan merupakan lokomotif pembangunan infrastruktur, jika tidak dibarengi dengan SDM maka tidak bisa dikatakan satu daerah itu punya kemajuan," kata Safaruddin di Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya), Jumat.
Safaruddin melihat dinamika sosial di Aceh saat ini pada persentase kemiskinan masih menjadi pekerjaan rumah (PR) besar pemerintah dalam menjawab tantangan dari anggaran yang dimiliki Aceh saat ini, baik di APBA maupun APBK.
Anggaran otonomi khusus yang didapat Aceh saat ini, Safaruddin menjelaskan, pada 2022 akan dikurangi 1 persen dari 2 persen yang diterima dari Dana Alokasi Umum (DAU) APBN, dan berakhir dikucurkan pemerintah pusat pada 2027 mendatang.
“Jika terjadi pengurangan, maka APBA Aceh akan berkisar Rp9 hingga Rp 12 triliun. Bayangkan saja, Rp 16,9 triliun itu Aceh tidak mampu menjawab tantangan kemiskinan dan tantangan ekonomi, bagaimana kalau tinggal Rp9 triliun. Jadi selagi ada, maka harus manfaatkan dan dikelola dengan baik," ujarnya.
Kata Safaruddin, jika Aceh ke depan tidak lagi memiliki dana Otsus, maka Aceh tidak bisa berbuat apa-apa dan tidak bisa melakukan peningkatan sumber daya manusia, karena sebagian besar APBA itu beban belanja rutinnya adalah gaji pegawai dan operasional para pejabat fungsional dan struktural.
Jika tidak dilakukan perubahan pengelolaan anggaran, maka Aceh tidak akan mampu menjawab tantangan-tantangan ini.
Tingginya akan kemiskinan di Aceh, kata Safaruddin, dikarenakan alokasi anggaran Aceh terlalu besar, sedangkan penduduknya di Aceh kecil. Sehingga dinilai, persentase untuk meningkatkan kemajuan, baik pendidikan maupun ekonomi, tidak mampu memberikan kebaikan dari anggaran Rp 16 triliun lebih yang dimiliki Aceh.
“Jadi fenomena kemiskinan ini apakah banyak orang miskin, itu tidak, tapi nilai angka. Hal ini diukur dari nilai angka Rp 16 triliun dari penduduk 5 juta itu tidak berbanding lurus," kata Safaruddin.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2021
"Pendidikan merupakan lokomotif pembangunan infrastruktur, jika tidak dibarengi dengan SDM maka tidak bisa dikatakan satu daerah itu punya kemajuan," kata Safaruddin di Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya), Jumat.
Safaruddin melihat dinamika sosial di Aceh saat ini pada persentase kemiskinan masih menjadi pekerjaan rumah (PR) besar pemerintah dalam menjawab tantangan dari anggaran yang dimiliki Aceh saat ini, baik di APBA maupun APBK.
Anggaran otonomi khusus yang didapat Aceh saat ini, Safaruddin menjelaskan, pada 2022 akan dikurangi 1 persen dari 2 persen yang diterima dari Dana Alokasi Umum (DAU) APBN, dan berakhir dikucurkan pemerintah pusat pada 2027 mendatang.
“Jika terjadi pengurangan, maka APBA Aceh akan berkisar Rp9 hingga Rp 12 triliun. Bayangkan saja, Rp 16,9 triliun itu Aceh tidak mampu menjawab tantangan kemiskinan dan tantangan ekonomi, bagaimana kalau tinggal Rp9 triliun. Jadi selagi ada, maka harus manfaatkan dan dikelola dengan baik," ujarnya.
Kata Safaruddin, jika Aceh ke depan tidak lagi memiliki dana Otsus, maka Aceh tidak bisa berbuat apa-apa dan tidak bisa melakukan peningkatan sumber daya manusia, karena sebagian besar APBA itu beban belanja rutinnya adalah gaji pegawai dan operasional para pejabat fungsional dan struktural.
Jika tidak dilakukan perubahan pengelolaan anggaran, maka Aceh tidak akan mampu menjawab tantangan-tantangan ini.
Tingginya akan kemiskinan di Aceh, kata Safaruddin, dikarenakan alokasi anggaran Aceh terlalu besar, sedangkan penduduknya di Aceh kecil. Sehingga dinilai, persentase untuk meningkatkan kemajuan, baik pendidikan maupun ekonomi, tidak mampu memberikan kebaikan dari anggaran Rp 16 triliun lebih yang dimiliki Aceh.
“Jadi fenomena kemiskinan ini apakah banyak orang miskin, itu tidak, tapi nilai angka. Hal ini diukur dari nilai angka Rp 16 triliun dari penduduk 5 juta itu tidak berbanding lurus," kata Safaruddin.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2021