Tapaktuan, 16/2 (ANTARA Aceh) - Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Aceh Selatan mengaku kewalahan dalam melakukan penanganan setiap kali terjadi bencana alam karena peralatan pendukung sangat terbatas khususnya alat berat (beco) yang sampai saat ini belum tersedia.

Seperti kejadian bencana alam banjir dan tanah longsor yang terjadi baru-baru ini, langkah penanganan harus membutuhkan waktu selama beberapa jam untuk memindahkan tumpukan tanah di atas badan jalan baru arus transportasi bisa normal kembali.

“Seperti kejadian tanah longsor yang menimbun badan jalan di atas Gunung Alue Krit perbatasan Kecamatan Sawang dengan Meukek Senin pekan lalu, tumpukan tanah baru bisa kami pindahkan setelah memakan waktu tujuh jam dan lalu lintas bisa normal kembali pukul 02.00 WIB dinihari,” kata Kepala BPBD Aceh Selatan, Erwiandi S Sos M Si di Tapaktuan, Senin (16/2).

Butuh waktu lama memindahkan tumpukan tanah itu, ujar Erwiandi, karena BPBD Aceh Selatan sampai sekarang belum memiliki alat berat beko. Dinas yang memiliki alat berat di Aceh Selatan hanya Dinas BMCK dan Kantor Kebersihan.

“Untuk mendapatkan alat berat ini, BPBD Aceh Selatan harus berkoordinasi dulu dengan Dinas terkait, sehingga butuh poses dan waktu. Makanya penanganan bencana seperti tanah longsor agak lambat,” kata Erwiandi.

Di dampingi Sekretaris BPBD, T Muhasibi S Sos M Si, Erwiandi menyatakan, dengan kondisi Aceh Selatan yang tergolong daerah sangat rawan bencana di Provinsi Aceh, ketersediaan alat berat beco sangat dibutuhkan oleh BPBD Aceh Selatan agar penanganan bencana dapat tertangani segera atau secepat mungkin.

Menurutnya, untuk memperoleh alat berat beco tersebut karena tidak mampu tertampung dalam APBK, maka berbagai upaya telah dilakukan pihaknya bersama dengan Bupati Aceh Selatan HT Sama Indra SH untuk melobi alat berat itu baik sumber APBA maupun APBN.

“Untuk sumber APBN sebenarnya pada tahun 2015 Aceh Selatan sudah dapat bantuan alat berat melalui BNPB yakni satu unit escapator dan mobil dumtruck, tapi sangat di sayangkan secara tiba-tiba anggaran untuk pengadaan itu oleh pihak BNPB di coret oleh anggota DPR RI,” sesalnya.

Sedangkan melalui APBA, lanjut Erwiandi, pihaknya telah melobi melalui salah seorang anggota DPRA yang berasal dari Aceh Selatan, bernama Hendriyono yang duduk di Komisi IV.

“Meskipun Hendriyono yang duduk di komisi IV tidak membidangi BPBD, tapi dia telah menyatakan kesanggupannya untuk mengupayakan pengalokasian anggaran sumber APBA untuk pengadaan satu unit alat berat beco untuk Aceh Selatan,” sebut Erwiandi.

Erwiandi menambahkan, kebutuhan alat berat beko dalam rangka penanganan bencana alam di Aceh Selatan memang sangat dibutuhkan. Tidak hanya untuk kebutuhan memindahkan tumpukan tanah longsor yang kerap menimbun badan jalan lintasan Nasional, alat berat beko juga sangat di butuhkan untuk penanganan banjir seperti untuk normalisasi Sungai dan saluran-saluran pembuang yang berada dalam pemukiman penduduk.

Sebab, kata Erwiandi, penyebab utama sehingga Aceh Selatan rawan banjir dikarenakan banyak sungai dan saluran drainase di daerah itu sudah tersumbat serta dangkal sehingga perlu di normalisasi kembali.

Untuk langkah normalisasi sungai, kata Erwiandi, telah dilakukan oleh BPBD Aceh Selatan sejak tahun 2014. Titik – titik lokasi yang telah dinormalisasi itu di antaranya adalah Sungai Krueng Kluet yang berlokasi mulai dari Desa Koto Indarung Kecamatan Kluet Tengah sampai Pulo Kambing dan Kampung Paya Kecamatan Kluet Utara. Di samping itu, juga telah di normalisasi Sungai Labuhan Haji dan Sungai Meukek.     

“Biaya yang digunakan untuk menormalisasi sungai-sungai tersebut sepenuhnya ditanggung melalui anggaran CSR PT Bank Aceh dan BPJS,” sebut Erwiandi.

Sedangkan pada tahun 2015, sambung Erwiandi, pihaknya berencana kembali akan melanjutkan pelaksanaan program pencegahan banjir di Aceh Selatan dengan cara membangun tebing di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) masing –masing yakni Sungai Krueng Kluet yakni di Lawe Melang Koto Indarung, Sungai Meukek dan Sungai Krueng baru Labuhan Haji.  

“Untuk membangun tebing di sepanjang DAS tersebut, akan menggunakan dana sumber APBN tahun 2015 sebesar Rp5,5 miliar. Namun karena dana tersebut turunnya secara bertahap maka pembangunan tebing DAS itu pun dilakukan secara bertahap,” paparnya.

Kendala lainnya yang dihadapi BPBD Aceh Selatan dalam menangani bencana alam selama ini adalah, masih terbatasnya ketersediaan tenaga relawan, sebab tenaga relawan BPBD yang tersedia di masing-masing kecamatan sekarang ini hanya berjumlah dua orang.

“Itupun murni statusnya relawan suka rela, sebab sampai sekarang belum di SK kan dan juga belum mempunyai pos anggaran untuk membayar honor mereka,” ujar Erwiandi.

Oleh sebab itu, kata Erwiandi, agar maksimalnya penanganan bencana alam di Aceh Selatan pihaknya meminta kepada seluruh masyarakat setempat, jika sewaktu-waktu terjadi bencana alam di wilayahnya masing-masing agar jangan segan-segan memberitahukan kepada petugas BPBD di Tapaktuan, sehingga langkah penanganan dapat segera diberikan.  

Di bagian lain, Erwiandi menjelaskan terkait dengan penanganan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana tanah longsor dan banjir yang terjadi beberapa waktu lalu, BPBD Aceh Selatan telah menurunkan petugas ke lapangan untuk mendata jumlah kerugian yang di alami masyarakat termasuk jumlah kerusakan infrastruktur.

Untuk langkah rehap rekon, kata Erwiandi pihak BPBD Aceh Selatan hanya menangani dalam kapasitas tanggap darurat sedangkan untuk pembangunan infrastruktur yang rusak secara permanen akan di lakukan oleh SKPD terkait sesuai bidangnya masing-masing.

“Dalam konteks ini BPBD akan mengambil peran hanya sebagai pihak yang bertanggungjawab sebagai koordinator penanganan bencana, sedangkan untuk eksekusi terakhir di lapangan akan dilakukan langsung oleh masing-masing Dinas terkait,” ucapnya.

Untuk penanganan tanggap darurat, sambungnya, pihak BPBD Aceh Selatan kemungkinan besar akan menggunakan anggaran Biaya Tidak Terduga (BTT) tahun 2015 yang telah dianggarkan dalam APBK.

Pewarta:

Uploader : Salahuddin Wahid


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2015