Forum The Southeast Asia Breast Cancer Symposium (SEABCS) kelima yang berlangsung pada akhir Juli hingga awal Agustus lalu, menghasilkan sejumlah rekomendasi penting di antaranya yakni perlunya regulasi penanganan dan pengobatan kanker payudara di masa pandemi COVID-19.

Selain itu, ada juga rekomendasi perawatan yang lebih terintegrasi dan berpusat pada pasien, serta menekan angka kematian akibat kanker payudara. WHO melalui Global Breast Cancer Initiative (GBCI) pada Maret 2021 lalu, menargetkan angka kematian akibat kanker payudara menjadi sebesar 2,5 persen per tahun sampai tahun 2040.

Menurut Data Globocan 2020, kanker payudara di Indonesia merupakan kanker paling banyak pada perempuan dengan proporsi 16,6 persen dari total kasus kanker, terdapat 65.858 kasus baru dan 22.430 kematian pada tahun 2020.

Diperkirakan jumlah kematian maupun kasus baru akan terus naik hingga tahun 2040, bila tidak dilakukan upaya dari hulu hingga hilir, dan tanpa didukung regulasi yang jelas.

Ning Anhar, dari Yayasan Kanker Payudara Indonesia (YKPI) dan juga Wakil Ketua Penyelenggara SEABCS ke-5 menjelaskan, untuk mencapai target WHO tersebut maka dibutuhkan upaya ekstra keras dan kerjasama dari berbagai pihak yang melibatkan ahli di bidang kesehatan, dokter ahli onkologi, organisasi yang bergerak di bidang kanker payudara, pemerhati, serta pemangku kebijakan dari berbagai negara.

"Ada tiga pilar yang direkomendasikan dalam tatalaksana kanker payudara yakni promosi kesehatan untuk deteksi dini, diagnosis kanker payudara, dan tatalakasana kanker payudara yang komprehensif," ujar Ning Anhar dalam keterangan resminya dikutip pada Jumat.

Kolaborasi dan regulasi sangat penting dalam mempercepat target WHO, mengingat pandemi COVID-19 membuat program penurunan kematian akibat kanker payudara melambat.

Ning Anhar juga mengatakan salah satu advokasi mendesak untuk pemerintah adalah segera mengeluarkan peraturan atau panduan vaksin untuk pasien kanker payudara dengan persayaratan tertentu.

"Yayasan Kanker Payudara Indonesia menghimbau agar pemerintah bisa mengeluarkan rekomendasi yang pasti terkait vaksinasi pada pasien kanker. Ini juga upaya untuk menurunkan angka kematian pasien kanker payudara," katanya.

Terkait hal ini, dr. Walta Gautama ST, Sp.B (K) Onk, Ketua Perhimpunan Ahli Bedah Onkologi Indonesia (PERABOI) menyebutkan target ini makin sulit dicapai karena sebagian besar pasien datang dalam stadium 3-4, terlebih di masa pandemi ketika terjadi penurunan kedatangan pasien ke pelayanan kesehatan secara signifikan.

Selain itu, akibat merebaknya varian delta yang sangat menular, banyak tenaga medis yang terinfeksi sehingga pelayanan pada pasien kanker payudara terganggu. Komunikasi antara dokter dan pasien juga mengalami kendala karena dilakukan secara daring melalui telemedisin.

"Ini tidak pernah bisa maksimal, karena tidak semua praktik atau profesi bisa dilakukan dengan telemedisin. Saat pemeriksaan perlu melihat langsung klinis pasien, meraba, memegang. Foto pun tidak bisa mewakili sepenuhnya, sehingga kesulitan," ujar dr. Walta.

"Kalau saya pribadi daripada salah diagnostik, lebih baik tunda dulu hingga kondisinya memungkinkan. Bila dipaksakan bisa membahayakan pasien," lanjutnya.

Selain itu COVID-19 juga memperburuk kondisi pasien kanker. Angka kematian orang normal akibat COVID-19 di dunia sekitar 3-5 persen.

Jika pasien kanker terkena COVID-19, maka angka kematiannya menjadi 26-28 persen. Ini juga terjadi di RSK Dharmais dari Maret 2020-Februari 2021, di mana angka kematian pasien kanker yang terinfeksi COVID-19 mencapai 22 persen.

"Jalan keluarnya adalah vaksin. Berdasarkan temuan PERABOI, dari 200 pasien kanker yang divaksin, KIPI hanya ditemukan pada 2-3 orang, itu pun tidak berat," ujar dr. Walta.

Penanganan kanker payudara lebih multidisiplin
Dr. Kardinah SpRad(K) dari Indonesian Women Imaging Society (IWIS) juga mencatat sejumlah hasil dari SEABCS ke-5. Salah satu yang paling penting adalah kolaborasi dengan American Society Clinical Oncology (ASCO) untuk membuat standar tatalaksana pasien kanker payudara yang lebih multidisiplin di Indonesia.

Menurut dr. Kardinah, bentuk konkret kolaborasi ini berupa pertukaran narasumber atau training yang sesuai dengan program ASCO. Selain itu pengembangan artificial intelegent (AI) dalam breast imaging, diagnotsik, maupun skrining.

"Dengan mengikutsertakan profesi, bisa menjadi perluasan wawasan sehingga dokter spesialis tidak terfokus pada satu bidangnya saja. Penanganan pasien kanker payudara stadium lanjut harus multidisiplin dengan mengedepankan komunikasi yang efektif antara pasien dan dokter. Saat ini paradigma pengobatan berubah, di mana pasien berhak mengetahui apa yang terjadi dalam dirinya," ujar dr. Kardinah.

Ketua YKPI Linda Agum Gumelar menekankan perlunya rangkaian program yang berkesinambungan, dimulai dari kebijakan, pelaksanaan di tingkat Fasilitas Kesehatan Primer hingga Tersier dan tenaga profesi kedokteran agar upaya penurunan kanker payudara stadium lanjut dapat terlaksana dan memberikan hasil yang nyata.

"Kerjasama internasional, regional, dan tingkat nasional merupakan penguatan bersama untuk memerangi kanker payudara," kata Linda.

Sementara itu, PERABOI sangat mengapresiasi suksesnya acara SEABCS ke-5. Forum ini mampu mengumpulkan para ahli kanker payudara dari seluruh dunia dengan pengalaman panjang di bidangnya dari berbagai negara.

SEABCS 2021 diikuti oleh 1.248 peserta yang didominasi oleh penyintas kanker payudara dan pendamping, komunitas kanker payudara, dokter, serta tenaga medis dari berbagai negara. SEABCS ke-6 akan diselenggarakan pada tahun 2022 di Pilipina.

Secara singkat dapat disimpulkan bahwa regulasi penanganan dan pengobatan kanker payudara di masa pandemi COVID-19. Untuk itu, olaborasi dan regulasi sangat penting mengingat pandemi COVID-19 membuat program penurunan kematian akibat kanker payudara melambat.


 

Pewarta: Maria Cicilia

Editor : Heru Dwi Suryatmojo


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2021