Islamabad, Pakistan (ANTARA Aceh) - Pakistan merencanakan eksekusi terhadap seorang penyandang disabilitas yang oleh pegiat Hak Asasi Manusia disebut menempatkan angka mendekati angka 300 orang yang digantung dalam waktu kurang dari satu tahun dan Amnesti Internasional mengecam Islamabad dengan memberikan "cap memalukan atas penyiagaan algojo terburuk di dunia".

Eksekusi terhadap Abdul Basit, seorang pria lumpuh yang dihukum dalam kasus pembunuhan pada 2009, telah tertunda beberapa kali setelah beberapa kelompok HAM menunjukkan kepedulian kepada pengguna kursi roda yang akan menginjak tiang gantungan.

Seorang penjaga penjara kepada Kantor Berita AFP mengonfirmasikan bahwa tindakan itu akan dijadwal lagi, Rabu (25/11) pagi.

"Keluarganya sudah diberi tahu," kata petugas yang tidak bersedia menyebutkan namanya itu dengan menambahkan bahwa pertemuan terakhir antara Basit dan kerabatnya dilaksanakan Selasa.

Komisi Hak Asasi Manusia Pakistan mengatakan bahwa Perdana Menteri Nawaz Sharif memutuskan upaya untuk tetap melakukan eksekusi, dengan menambahkan bahwa pihak berwenang di penjara masih menunggu jawaban dari pemerintah mengenai proses hukum gantung itu.

Dalam pernyataannya, Selasa, Amnesti Internasional mengatakan bahwa eksekusi di Pakistan telah dilakuan terhadap 299 orang sejak hukuman mati diberlakukan lagi setelah pembunuhan massal yang dilakukan militan Taliban di sekolahan di Peshawar, Desember lalu.

"Pakistan dalam waktu dekat telah mengeksekusi 300 orang sejak moratorium eksekusi dicabut, cap memalukan atas penempatan algojo terburuk di dunia," katanya.

Pada bulan Oktober saja terdapat 45 orang yang dieksekusi, hal ini membuat bulan paling mematikan sejak moratorium tersebut dicabut.

Tidak ada angka resmi. Kelompok hak asasi manusia Reprieve kepada Kantor Berita AFP, Selasa, mengatakan bahwa dengan demikian maka orang yang tewas akibat eksekusi telah mencapai angka 300, sementara beberapa aktivis lokal menyebut di bawah angka 260.

"Semangat Pakistan melanjutkan eksekusi merupakan penghinaan terhadap hak asasi manusia dan bertentangan dengan tren global mengenai hukuman mati," kata Direktur Penelitian Amnesti Internasional Wilayah Asia Selatan, David Griffiths.

"Bahkan bila pihak berwenang masih mengekesekusi Abdul Basit, pria lumpuh, Pakistan masih akan mengeksekusi beberapa orang dalam satu hari."
    
Tidak ada bukti eksekusi "tanpa belas kasihan" melakukan apa pun untuk melawan kaum ekstremis di negara tersebut, katanya menambahkan.

Kelompok hak asasi manusia juga menduga bahwa banyak eksekusi terjadi setelah proses pengadilan yang tidak memenuhi standar keadilan yang berlaku secara internasional.

Mengkhawatirkan

Pakistan mengakhiri enam tahun moratorium hukuman mati tahun lalu sebagai bagian dari tindakan keras terhadap militan Taliban yang menembaki 150 orang, sebagian besar anak-anak, di sebuah sekolah yang dikelola militer di wilayah pergolakan di bagian barat laut.

Pembunuan massal mengejutkan dan membuat marah seantero negeri yang sudah terkoyak oleh serangan ekstremis selama satu dekade.

Ekesekusi mati awalnya diberlakukan hanya untuk mereka yang dihukum karena kasus terorisme, namun pada bulan Maret pemerintah memperluas hukuman bagi semua pelanggaran hukum.

Para pendukung berargumentasi bahwa hukuman mati hanya satu-satunya cara efektif untuk menghukum aksi militan di negara tersebut.

Namun para pengamat mengatakan bahwa sistem hukum tidak adil, dengan penyiksaan oleh polisi merajalela dan korbannya kaum miskin, sedangkan sebagian besar orang yang dihukum gantung tidak terkait dengan tuduhan teror.

"Negara menghukum gantung pelaku kejahatan kecil, sedangkan orang yang diketahui sebagai teroris masih berada di penjara," kata Asma Jahangir, aktivis hak asasi manusia dan pengacara kepada Kantor Berita AFP, Selasa.

Penelitian terkini yang dilakukan Institut Kajian Untuk Perdamaian Pakistan juga menyarankan bahwa kematian tidak menjerakan kaum militan yang "berkomitmen mati karena perbuatan mereka".

Data dari Amnesti Internasional membawa Pakistan berada pada jajaran negara dengan banyaknya algojo di dunia pada 2015.

Pada 2014 sebayak 607 orang dihukum mati di 22 negara, menurut pernyataan Amnesti Internasional, meskipun angka itu tidak memasukkan Tiongkok, di mana jumlah orang yang dihukum mati mencapai ratusan, namun dianggap oleh pihak berwenang sebagai rahasia negara.

(UU.M038/M007)

Pewarta:

Uploader : Salahuddin Wahid


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2015