Politisi Partai Nasional Demokrat (NasDem) Kabupaten Aceh Tamiang Tri Astuti mengunjungi Ayu Ningsi (10), seorang bocah penyandang disabilitas yang ditinggal kedua orang tuanya di Dusun Jawa, Desa Rantau Pauh, Kecamatan Rantau.

"Jadi Ayu ini sejak masih balita dititipkan oleh orang tuanya tempat bude atau uwak perempuan di Desa Rantau Pauh. Sekarang dia sudah beranjak belia diurusi oleh bude-nya yang kehidupannya serba terbatas," kata Tri Astuti di Karang Baru, Aceh Tamiang, Sabtu.

Menurut Ketua Special Olympics Indonesia (SOIna) Kabupaten Aceh Tamiang ini, secara kasat mata Ayu mengalami disabilitas mengarah kejenis autis dan cerebral palsy dengan ciri-ciri anaknya tidak fokus dan seperti lumpuh layu. Tapi pastinya perlu pemeriksaan dari dokter.

"Dia (Ayu Ningsi) kondisinya tidak bisa jalan. Kalau jalan harus dipapah," ucap Tri Astuti.

Tri Astuti mengetahui nasib bocah disabilitas malang tersebut dari warga setempat. Kemudian pada Rabu (27/7) politisi perempuan ini bersama rekannya menyambangi tempat tinggal Ayu dengan membawa bantuan matras tempat tidur. 

"Kita mendengar Ayu Ningsi selama ini tidur dilantai beralas busa. Jadi saya berinisiatif kasih kasur baru untuk dia," tuturnya.

Disamping itu Tri Astuti mengaku prihatin saat melihat kondisi keluarga Ibu Faridah/bude yang mengurus Ayu sejak bayi. Pasalnya, selain miliki empat orang anak, Faridah adalah seorang janda yang tidak mempunyai penghasilan tetap.

Biaya untuk makan sehari-hari dia hanya mengandalkan warung jualan sarapan pagi dan menjadi tukang cuci. Namun Faridah tetap kuat dan sabar menghidupi lima orang anak satu diantaranya keponakan yang mengalami keterbelakangan mental.

"Saya melihat beban Ibu Faridah cukup berat. Kabarnya pun dia sudah tidak jualan lagi karena kehabisan modal," ujar lirih anggota Komisi IV DPRK Aceh Tamiang ini.

Tri Astuti yang konsen di lembaga pemerhati kaum difabel ini (SOIna) menyebutkan, untuk kebutuhan tetap Ayu Ningsih yang harus disediakan yaitu pampers untuk buang air kecil dan BAB. Ayu juga butuh kursi roda dan terapi supaya bisa jalan.

"Meskipun sudah terlambat Ayu harus rutin diterapi. Tapi kembali lagi soal biaya, jangankan terapi untuk makan sehari-hari Ayu dan empat anaknya ibu Faridah harus banting tulang sendirian," ungkap legislator perempuan ini.

"Kita berencana akan bantu modal jualan bu Faridah supaya bisa menghasilkan pendapatan sehari-hari bagi keluarganya," tambah Tri Astuti.

Dari catatan lembaga SOIna Aceh Tamiang angka Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) di Kabupaten Aceh Tamiang tergolong tinggi. Merujuk data BPS 2021 total PMKS mencapai 12.128 jiwa terdiri dari 21 klasifikasi jenis.

"Penyumbang ketiga tertinggi PMKS di Aceh Tamiang adalah jenis kelompok disabilitas dengan jumlah 1.884 jiwa," pungkas Tri Astuti.

Ditemui terpisah Faridah (49) mengatakan pada 24 Juli 2022 kemarin usia Ayu Ningsih genap 10 tahun. Dia sudah ditinggal pergi kedua orang tuanya saat usia masih satu tahun dalam kondisi baru sakit parah.

"Selama hampir 10 tahun ini adik saya itu tidak pernah pulang menengok keadaan anaknya Ayu. Sebenarnya saya sudah tidak sanggup, tapi namanya keluarga mau gimana lagi, ya," kata Faridah.

Diceritakan Faridah saat Ayu berusia delapan bulan tubuhnya mengalami panas tinggi, kemudian oleh mamak-nya dikusok supaya hilang demamnya, namun siap kusok Ayu langsung kejang-kejang. Selang beberapa hari kemudian bayi perempuan itu pun koma selama hampir satu bulan.

"Jadi Ayu bukan disabilitas dari lahir, pada umur delapan bulan dia normal seperti anak bayi lainnya. Dampak step/demam itu dia tidak bisa jalan dan bicara normal sampai besar," ulasnya.

Selama koma, lanjut Faridah, Ayu dirawat di salah satu rumah sakit Kota Langsa. Saat itu sang ibu masih ada disisi anak pertamanya itu.

"Kami tidak menyangka Ayu sadar dari koma. Tapi setelah itu dia ditinggal oleh orang tua. Bapak sama mamaknya sudah pisah, jadi Ayu dititip sama saya," kata dia.

Sejauh ini Faridah mengaku pernah terhubung berkomunikasi melalui telepon oleh adiknya, namun dia enggan pulang kampung untuk melihat anaknya. "Adik saya itu tidak pernah pulang dan tidak pernah kirim uang untuk kebutuhan anaknya di sini," ujarnya.

Saat ini Faridah harus tegar menanggung sendirian beban keluarga. Mereka tinggal disebuah rumah mungil berukuran tipe 36. Bahkan adik dan anak-anaknya juga numpang kumpul di rumah sempit tersebut. Janda tulang punggung keluarga ini sangat bersyukur masih ada orang yang perhatian dengan kondisi hidup mereka.

"Kami sangat terimakasih, karena jangankan untuk beli tempat tidur, untuk makan saja payah," katanya.

Semenjak tidak jadi tukang cuci pakaian lagi dan usaha jualannya gulung tikar, kini Faridah butuh pekerjaan apa saja yang penting menghasilkan. Modal jualan terpaksa ia korbankan untuk membayar praktek kerja lapangan (PKL) anaknya jelang tamat SMA. Namun di tengah keterbatasan itu Faridah masih memikirkan kesehatan Ayu Ningsih agar bisa jalan normal. Dia berencana akan rontgen tubuh Ayu Ningsih di rumah sakit untuk mengetahui penyakitnya.

"Ayu sempat kami bawa terapi sekitar tiga kali di RSUD Aceh Tamiang pakai surat rujukan. Tapi selain tidak sanggup biaya transportasi, waktu saya juga tidak ada harus pulang pergi Rantau-Kuala Simpang. Saya kan, harus kerja untuk makan anak-anak," jelasnya.

Sementara itu dari pemerintahan Kampung Rantau Pauh, Faridah hanya mendapat bantuan sosial (program keluarga harapan (PKH) yang diterima setiap tiga bulan sekali Rp800 ribu atau tergantung jumlah anak yang masuk tanggungan.

"Kami hanya dapat bantuan PKH, lainnya tidak ada. Tanggungan kami tinggal dua orang anak, Ayu walaupun disabilitas sudah kami masukan tidak pernah keluar. Tapi sudah berapa bulan ini belum keluar bantuan PKH itu," kata Faridah.

Pewarta: Dede Harison

Editor : Heru Dwi Suryatmojo


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2022