Banda Aceh (ANTARA) - Membahas tentang penyandang disabilitas adalah membicarakan sebuah kompleksitas yang menuntut pemahaman dan kolaborasi yang baik antara pemerintah, organisasi non-pemerintah, komunitas, masyarakat secara umum dan juga penyandang disabilitas itu sendiri.
Kemudian mengapa hal ini penting diperhatikan secara serius oleh berbagai pihak?
Selain dikarenakan alasan hak asasi, penyandang disabilitas adalah bagian dari masyarakat yang pantas menerima kesejahteraan sosial. Mereka miliki potensi yang belum tergali, dan ini penting untuk mengurangi diskriminasi dan stigma yang sering dilekatkan pada mereka. Sehingga, menaruh perhatian kepada para difabel tidak hanya membantu mereka secara individu, tetapi juga meningkatkan inklusi, dan dapat mengangkat kehidupan masyarakat secara keseluruhan.
Mari kita bahas terlebih dahulu, apa saja fasilitas difabel (different abilities- sebutan lain untuk penyandang disabilitas) di tempat publik khususnya trotoar jalan yang merupakan tantangan awal dari mobilitas para difabel. Trotoar yang ramah disabilitas dibangun dengan beberapa desain yang dapat mendukung aksesibilitas dan keselamatan bagi para difabel.
Berikut beberapa fasilitas yang disediakan hingga sebuah trotoar jalan disebut inklusif.
- Guiding Block, merupakan blok pemandu berupa jalur bertekstur khusus berwarna kuning di trotoar. Biasanya dalam bentuk garis-garis atau titik bulat yang dapat dirasakan dengan kaki atau tongkat. Ini dapat membantu penyandang tunanetra dalam navigasi.
- Ramp, yakni jalur dengan permukaan miring yang ringan yang menghubungkan antara trotoar dengan jalan. Sehingga dapat memudahkan pengguna kursi roda untuk naik turun trotoar dengan aman.
- Bollard, fasilitas ini memiliki beberapa jenis yang berbeda-beda bentuknya. Ada yang dipergunakan di trotoar ada pula di pergunakan di pelabuhan kapal yang biasanya digunakan sebagai tambatan tali kapal. Namun bollard yang di bahas disini adalah bollard di trotoar yang mana biasanya terbuat dari beton, logam atau bahan kuat lainnya yang biasanya berwarna hitam dipadu kuning atau sebaliknya. Fungsi dari bollard sendiri adalah sebagai pembatas trotoar dengan jalan, agar motor tidak memasuki trotoar namun kursi roda bisa melaluinya dan menjaga keamanan pejalan kaki.
- Konstruksi trotoar khusus, yakni tepi Trotoar yang rata dan hanya sedikit menurun di area penyeberangan agar dapat memudahkan akses kursi roda dan alat bantu jalan lainnya.
- Area Istirahat, fasilitas di sepanjang trotoar jalan ada baiknya menyediakan kursi untuk beristirahat. Baik di gunakan oleh penyandang disabilitas setelah lelah berjalan maupun pejalan kaki lainnya.
- Rambu dan Informasi Aksesibel, fasilitas pada trotoar dilengkapi pula dengan rambu dan petunjuk-petunjuk jalan yang dengan menggunakan teks yang besar, braille, maupun gambar. Ini untuk membantu difabel tunanetra dan intelektual.
- Lampu Lalu Lintas dengan Sinyal Suara, fasilitas di lampu lalu lintas yang dilengkapi dengan sinyal suara akan membantu penyandang tunanetra waktu tepat untuk menyeberang.
Lalu, sudahkah Banda Aceh menjadi Kota yang ramah disabilitas jika dilihat dari segi fasilitas publik yang disediakan?
Setelah melakukan observasi di pusat Kota Banda Aceh pada November 2024, sepanjang jalan protokol dari Simpang Mesra hingga Simpang Lima masih sangat sedikit didapati fasilitas publik yang mendukung penyandang disabilitas. Bahkan dapat dikatakan pusat Kota Banda Aceh masih belum mendekati kata inklusif difabel.
Namun, untuk setiap halte bus yang ditemukan disana sudah menyediakan fasilitas ramah disabilitas seperti ramp dan bollard di sekitarnya. Hanya ada segelintir halte bus yang kecil yang tidak menyediakannya. Namun sebagian besarnya sudah menyediakan ramp.
Ditemukan pula bollard disekitar sana, namun tidak merata dan lebarnya tidak bisa dilalui oleh kursi roda, hanya muat untuk pejalan kaki. Dan untuk trotoarnya sendiri juga belum dapat dikatakan inklusif dan ramah disabilitas karena tidak rata dan tidak memenuhi syarat ramah disabilitas.
Erlina Marlinda, Program Manager di Lembaga CYDS (Children and Youth Disabilities for Change), memberikan pendapatnya mengenai inklusifitas Kota Banda Aceh ini. Sebagai seorang yang juga penyandang disabilitas fisik, Erlina menceritakan bahwa aksesibilitas di Kota Banda Aceh belum terpenuhi secara maksimal.
“Sebenarnya penyediaan aksesibilitas sudah disediakan sama pemerintah. Hanya saja keberfungsiannya yang tidak maksimal sebenarnya,” kata Erlina.
Jefri dan Salman, seorang Teman Tuli yang kini bekerja sebagai waiters di sebuah cafe di Banda Aceh menyatakan, secara umum, sudah ada peningkatan dalam pembangunan ramah disabilitas di Banda Aceh. Namun, masih banyak fasilitas publik yang belum sepenuhnya aksesibel, seperti trotoar yang tidak rata, gedung-gedung yang kurang dilengkapi ramp, dan transportasi umum yang belum ramah kursi roda.
“Pemerintah perlu meningkatkan kesadaran masyarakat tentang disabilitas melalui sosialisasi yang lebih intensif. Selain itu, perlu adanya regulasi yang lebih tegas tentang aksesibilitas bagi penyandang disabilitas di semua fasilitas publik. Khusus untuk teman tuli, perlu adanya peningkatan jumlah penerjemah bahasa isyarat, baik di instansi pemerintah maupun swasta,” tulis Jefri dalam wawancara tertulis.
Menurut Salman, disabiitas itu ada banyak jenisnya, dan memiliki kebutuhan yang berbeda.
“Sepertinya masih belum ramah disabilitas. Disabilitas itu kan banyak ya, untuk orang yang tidak bisa melihat, belum ada tempat umum atau jalan yang ramah untuk orang yang tidak bisa melihat. Sedangkan teman tuli seperti kami, kami alhamdulillah masih bisa menyesuaikan dengan yang ada, karena kalau kami terkendala komunikasi, kami bisa atasinya dengan menulis apa yang ingin kami katakan untuk teman dengar," demikian Salman melalui wawancara tertulis.
Ketika ditanyai perihal kebijakan atau fasilitas apa yang menurut mereka harus disediakan pemerintah, Erlina menjawab, “ Qanun Disabilitas.”
Di dalam proses pembangunan, menjadi poin yang krusial bagi pemerintah untuk melibatkan semua pihak yang ada, khususnya disabilitas. Karena ada harapan dan kebutuhan yang berbeda dari mereka, maka dari merekalah yang lebih memahami akan kondisi dan kebutuhan mereka.
“Ketika proses pembangunan itu tidak melibatkan semua pihak, bukan hanya disabilitas tetapi juga anak, perempuan, lansia, itu semua harus dilibatkan. Karena kalau tidak dilibatkan itu pasti akan ada hak yang tertinggal nantinya," kata Erlina.
Untuk masyarakat sendiri, Erlina berharap untuk jangan hanya melihat disabilitas itu dari fisik mereka saja dan mengenaralisasikan sebagai ketidakmampuan. Namun, lihatlah mereka sebagai orang yang memiliki kemampuan yang terkunci karena keterbatasannya. Sehingga, peran masyarakat tersebut adalah bagaimana agar bisa menjadi dan memberi dukungan pada inklusifitas disabilitas.
Sedangkan, Jefri menyampaikan, “Kami teman tuli memiliki potensi yang sama seperti orang lain. Kami ingin berkontribusi pada masyarakat. Oleh karena itu, kami berharap masyarakat dapat menerima kami dengan baik dan memberikan kesempatan yang sama”.
Menurut Salman, pemerintah seharusnya bisa memberikan kebijakan bahwa setiap pekerjaan boleh menerima teman-teman Tuli seperti mereka, bahkan teman-teman difabel lainnya juga.
"Karena kami juga membutuhkan kesempatan kerja yang sama seperti teman dengar yang lainnya," demikian Salman.
Penulis: Masyittah Amiza, mahasiswa Komunikasi USK Banda Aceh